Seorang Lelaki yang Menulis Riwayat Hidupnya Sendiri (Part I)
Sukma.co – Sudah banyak cerpen yang berhasil Roman tuliskan. Orang-orang bisa menemukannnya di dunia maya. Tepatnya, di blog pribadinya. Tetapi itu bukan pertanda bahwa Roman adalah penulis yang hebat. Paling banter, hanya pantas disebut sebagai penulis produktif. Pasalnya, ia tak juga mampu mencatatkan namanya di rubrik sastra pada koran-koran yang dipandang sebagai medan pembuktian kualitas.
Entah berapa kali sudah Roman mengirimkan tulisan cerpennya ke alamat surel media cetak. Ia tidak menghitungnya. Yang pasti, sudah sangat sering. Berawal sejak Roman mulai percaya diri atas karyanya sendiri setelah sekian lama berpraktik di dunia blog, dan meyakini bahwa cerpennya lebih baik ketimbang cerpen-cerpen yang dimuat di koran ternama.
Namun percobaan demi percobaan yang Roman lakukan untuk menggugah selera redaktur sastra koran, selalu saja gagal. Cerpen-cerpen yang ia kirimkan, hanya akan menganggur sampai masa waktu tunggu berakhir. Tak ada balasan berupa komentar atau catatan atas karya-karyanya melalui surat elektornik. Karya tersebut seolah tak memberikan kesan berarti kepada para redaktur.
Penolakan, atau bahkan mengabaian atas karyanya, tak berarti membuatnya rendah diri. Roman tetap yakin bahwa cerpennya lebih baik daripada cerpen-cerpen terbitan koran. Hanya saja, Roman merasa kalau ia tidak bisa memenuhi selera subjektif para redaktur. Roman yang begitu idealis pada genrenya, memegang rasional dan moral sebagai panduan disetiap tulisannya. Ia bahkan tak mau menulis cerita supranatural, atau cerita sensasional yang mengekploitasi unsur seksualitas.
Belum lagi bahwa sebagai penulis yang menempa diri secara otodidak, Roman sama sekali tak punya identitas kesusastraan yang dapat ia taruh di data dirinya. Pun, tak memiliki jaringan pertemanan dengan para penulis lain yang telah punya nama. Tidak terpenuhinya dua prasyarat itu, semakin membuat namanya tidak diperhitungkan oleh para redaktur.
Akhirnya, Roman menyerah untuk bertarung demi pembuktian. Roman tak ingin lagi berupaya untuk mencatatkan namanya di koran. Tetapi sebagai penulis yang menganggap karyanya bermutu, ia terus saja menulis, meski sekadar mengunggahnya di laman blog miliknya. Paling tidak, dengan begitu, masih bisa memberikan suguhan terbaiknya kepada para pembacanya yang entah siapa.
Menjadi seorang penulis blog untuk kesenangan semata, akhirnya membuat ia terus menyumbangkan karyanya tanpa mendapatkan apa-apa. Tidak ketenaran, apalagi materi. Tetapi sedari awal, Roman memang menyadari kehidupan penulis yang bersahaja. Karena itu, ia melakoni pekerjaan apa saja untuk bertahan hidup, sembari berusaha mendapatkan penghidupan yang pas untuk gelar sarjananya.
Nahasnya, di luar dunia penulisan, nasib ketersisihannya juga terjadi di dalam dunia percintaan. Perihal perempuan, ia hanyalah seorang lelaki pemendam yang akhirnya dipecundangi oleh lelaki lain dan juga dipecundangi oleh kepengecutannya sendiri. Ia hanyalah seorang penulis kesepian yang teramat pandai menamatkan cerita cinta secara mengagumkan, tetapi selalu gagal memulai kisah cintanya sendiri.
Hingga suatu hari, seseorang perempuan memberikan tanggapan atas karyanya di dunia maya. Perempuan itu membagikan unggahan cerpennya di Facebook, sembari menyertainya dengan komentar: Cerpen yang menarik. Sangat layak untuk dibaca. Sontak saja, perasaannya jadi berbunga-bunga. Apalagi, perempuan itu adalah teman seangkatan kuliahnya yang sedari dahulu ia idam-idamkan.
Tak ingin melewatkan kesempatan, Roman melakukan pendekatan. Mula-mula, ia memancing percakapan melalui kotak pesan. Lalu dengan begitu saja, mereka jadi asyik bertukar pendapat tentang bacaan-bacaan. Lantas perlahan-lahan, mereka saling terbuka dan nyaman mengulas cerita semasa kuliah. Sampai akhirnya, komunikasi yang searah membuat mereka bertemu kembali dan saling mengakrabi.
Waktu demi waktu bergulir. Hubungan mereka yang biasa-biasa saja sewaktu kuliah, perlahan-lahan menjadi spesial. Mereka semakin sering bersama, seolah-olah mereka saling membutuhkan untuk saling menyenangkan. Hingga akhirnya, dalam waktu yang singkat, mereka pun sepakat untuk mengikatkan diri sebagai pasangan kekasih.
Perlahan-lahan, perjalanan waktu membuat deru perasaan mereka semakin mereda. Mereka berbeda pandangan tentang masa depan, tentang ke mana cinta mereka akan berlabuh. Roman tampak tenang-tenang saja sembari menunggu keadaan yang baik untuk menikah, tetapi sang kekasih malah semakin meragukan kesiapan dan keseriusannya.
Sampai pada satu malam, ketika hendak pulang dari sebuah toko buku kecil tempatnya bekerja, Roman pun menjumpai kekasihnya di teras depan. Tanpa pikiran apa-apa, ia pun mendekati sang kekasih dan bertanya penasaran,
“Kenapa tiba-tiba kau ada di sini?”
“Apa kau lupa kalau hari ini adalah hari ulang tahunku?” sergah kekasihnya, dengan wajah memberengut.
Perasaan Roman pun tersentak atas kealpaannya. Tetapi ia berusaha menyembunyikan rasa bersalahnya dengan memampang sikap peduli.
“Mana mungkin aku lupa, Sayang?”
“Lalu kenapa kau tak mengucapkan apa-apa padaku? Kenapa kau tak memberikan kado apa-apa kepadaku? Apa kau sudah tak memedulikan aku?” cerocos sang kekasih, lantas memalingkan wajah.
Roman pun bergeser posisi untuk bertatapan dengan kekasihnya. “Bukan begitu, Sayang. Aku tentu sangat memedulikanmu,” kilahnya, dengan nada merayu.
“Tetapi sepanjang hari ini, aku sibuk menjaga toko. Kau tahu sendiri, kalau aku tak bekerja baik-baik, aku bisa dipecat, dan aku tak memiliki penghasilan lagi. Seharusnya kau bisa mengerti keadaanku.”
Sang kekasih malah menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah tak ingin mendengarkan alasan-alasan pembenar.
“Baiklah, sebagai kado dariku, kau boleh memilih buku apa saja di dalam toko. Biar aku yang menanggung,” tawar Roman.
Sang kekasih bergeming saja dengan raut wajah yang tampak memendam kekesalan.
“Oh, iya. Kalau kau mau bersabar, tiga hari ke depan, aku akan merampungkan bagian akhir cerita panjangku tentang kita. Aku akan mengunggahnya di blogku, dan kau bisa menganggapnya sebagai kado tambahan dariku,” bujuk Roman lagi, dengan wajah antusias, sambil membaca-baca emosi kekasihnya. “Aku yakin, kau pasti akan menyukai akhir cerita itu. Aku jamin.”
“Sudahlah! Aku tak perlu itu semua!” bentak sang kekasih, dengan tatapan nanar. “Apa kau hanya akan berurusan dengan buku-buku dan tulisan-tulisan ceritamu itu? Apa hanya itu yang kau anggap penting? Apa kau tak memikirkan tentang masa depan kita?”
Roman pun terkejut. Nyalinya menciut. Bersambung di part II ….
Baca Lanjutan Cerpen ini di >> Part II
Punulis: Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog . Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi).
Editor: Nur Jihan