Menelaah Kembali Makna Kerja Kelompok atau Pekerja Kelompok?
Sukma.co – Kegiatan kerja kelompok atau mengerjakan tugas yang dilaksanakan secara berkelompok merupakan salah satu kegiatan belajar yang sudah familiar. Sistem belajar seperti ini bertujuan untuk membangun rasa tanggung jawab, mampu memecahkan masalah, menguatkan jalinan interaksi dengan rekan, dan dapat menemukan jalan keluar atas persoalan yang dibahas dalam tim sehingga menguatkan rasa sosial dan solidaritas. Pembelajaran di perkuliahan juga menerapkan kegiatan kerja kelompok. Peran dosen hanya sebagai fasilitator sedangkan mahasiswa dituntut untuk mampu belajar dan memahami materi secara mandiri. Metode ini dikenal dengan student centered learning (SCL).
SCL atau student centered learning berarti pembelajaran yang berpusat pada siswa. UU Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 menjelaskan pada sebuah pasal yang secara tersirat memerintahkan metode SCL ini dalam aktivitas pembelajaran. Ayat tersebut berbunyi “Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.” Metode ini menekankan belajar mandiri kepada siswa atau mahasiswa, baik untuk menemukan materi yang menunjang pembelajaran, menemukan jawaban atas pertanyaan, dan bahkan menjelaskan materi kepada teman-teman sesama pelajarnya yang lain. Tenaga pengajar tidak lagi menjelaskan dan cukup mengevaluasi serta melakukan perbaikan atas apa yang dipahami oleh pelajar, dan pelajaran disampaikan oleh siswa kepada siswa, atau mahasiswa kepada mahasiswa. Metode ini cukup baik untuk menajamkan kemampuan berpikir para pelajar dan mengasah intelektual karena pelajar harus bertanggung jawab atas ilmu yang didapatkan serta membagikan kepada sesama pelajar atau mahasiswa.
Namun faktanya, dalam pelaksanaannya metode ini masih memiliki beberapa kekurangan. Terlebih di masa pandemi, di mana pembelajaran dilakukan dengan jarak jauh (PJJ), para siswa atau mahasiswa baru masih banyak yang belum mengenali teman sekelasnya sendiri. Mereka belum memahami watak dan karakteristik satu sama lain yang secara tidak langsung mengakibatkan kurang maksimal dalam aktivitas belajar bersama atau mengerjakan tugas secara bersama-sama. Jangankan untuk menjelaskan atau mengerjakan tugas secara kelompok, memahami materi untuk pribadi sendiri saja memerlukan waktu yang lama.
Pada kegiatan belajar kelompok, beberapa mahasiswa mengaku menjadi carrier atau pembawa. Maksud dari pembawa di sini adalah merekalah yang menopang tugas di atas tangan dan pikiran mereka. Sementara itu, anggota kelompok yang lain membentuk fenomena social loafing atau anggota kelompok yang hanya bermalas-malasan karena merasa ada anggota lain yang lebih mampu untuk mengerjakan dan menuntaskan tugas mereka. Bahkan sudah ada penelitian yang menitikkan pada kejadian ini.
Maximilien Ringelmann seorang profesor asal Perancis yang melakukan penelitian eksperimen menggunakan pendekatan psikologi sosial. Hasil eksperimen ini dikenal dengan ringelmann effect. Ringelmann effect ditemukan setelah dilakukan penelitian dengan cara percobaan menarik tali yang dilakukan oleh sebuah kelompok. Saat beberapa orang ditambahkan ke dalam kelompok tersebut, kinerja mereka justru menurun. Mereka melonggarkan kekuatannya karena ada anggota lain yang membantu. Pada percobaan lain saat di pabrik tepung, semakin banyak pria yang ditambahkan ke pabrik, pria-pria sebelumnya justru semakin santai dan mengandalkan anggota yang baru bergabung.
Pertambahan anggota kelompok yang berdampak pada penurunan kinerja disebabkan anggota kelompok cenderung mengerahkan tugas kepada orang yang dinilai lebih mampu dan lebih dapat diandalkan untuk mengerjakan tugas atau pekerjaan kelompok. Anggota kelompok juga menganggap orang tersebut bisa menutupi kelambanan dirinya. Anggota kelompok yang membebankan tugas kelompok pada anggota lain dikenal dengan istilah social loafing. Social loafing hanya menjadi beban atas orang lain, kehadirannya tidak dibutuhkan karena tidak bisa memberikan bantuan dan hanya menjadi beban, merasa dirinya bisa santai karena ada orang lain yang dinilai mampu untuk mengerjakan pekerjaannya. Anggota kelompok yang berperan social loafing biasanya egois, hanya bergantung atas anggota kelompok, dan tidak memberikan kontribusi apapun.
Berdasarkan pengalaman dari beberapa mahasiswa, anggota kelompok yang banyak berkontribusi mendapatkan nilai yang sama dengan anggota yang tidak berkontrubusi pada kelompok. Padahal dalam pengerjaan tugasnya, terdapat ketimpangan peran antaranggota. Ada anggota yang lebih banyak berusaha dalam mengupayakan yang terbaik untuk tugas kelompok mereka. Sebaliknya, ada anggota yang pasif dan kurang berkontribusi pada kelompok. Sayangnya, tidak banyak pengajar yang peduli atau paham dengan bagaimana proses tugas itu dikerjakan dan lebih melihat bagaimana hasil dari tugas itu diselesaikan.
Para tenaga pengajar diharapkan bisa memantau dengan saksama bagaimana proses pengerjaan tugas yang diberikan. Bukan hanya melihat hasil yang dikumpulkan atau dipresentasikan namun juga proses pengerjaan. Idealnya, anggota kelompok satu sama lain harus berusaha maksimal untuk berkontribusi terhadap penyelesaian tugas yang diberikan. Bagaimanapun hasilnya, kerja sama yang baik dan seimbang harus dilaksanakan sehingga tidak ada kecemburuan sosial atau rasa lelah yang dipendam.
Penulis : Salwa Merta Althifannida
Editor : Setyani Alvinuha