Gen Z, Benarkah Lebih Sadar Akan Masalah Kesehatan Mental?
Sukma.co — Individu yang lahir dari tahun 1997 hingga 2012 disebut sebagai Gen Z menurut para ahli dan demografi. Generasi ini adalah generasi pertama yang sepenuhnya dibesarkan dengan internet dan smartphone. Di tengah gempuran teknologi yang semakin maju menyebabkan mereka berisiko tumbuh di usia stres dan kecemasan yang meningkat. Gen Z sebagai generasi yang diwajibkan bekerja keras agar dapat mencapai impian di tengah ketatnya persaingan. Maka dari itu, Gen Z rentan akan permasalahan kesehatan mental, namun bukan berarti generasi sebelumnya tidak memiliki masalah kesehatan mental, tetapi mengapa isu mental health sangat banyak dibicarakan untuk sekarang ini?
Isu kesehatan mental pada zaman dahulu dianggap sebagai hal yang tabu sehingga jarang dibicarakan dan dipedulikan, khususnya di Indonesia. Psikolog maupun psikiater kurang dianggap dan belum dikenal pada zaman dulu. Stigma buruk masyarakat membuat individu yang mempunyai masalah kesehatan mental menyepelekan dan tidak menyadari bahwa dirinya sakit. Menurut American Psychological Association, sebanyak 45% Gen Z memiliki kesehatan mental sangat baik. Sedangkan 55% tercatat memiliki kesehatan mental yang buruk. Fakta ini juga didukung oleh isu-isu kesehatan mental yang paling sering dibicarakan khususnya untuk Gen Z. Mengapa demikian?
Usia Gen Z yang masih tergolong usia muda sudah diharuskan atau dipaksa beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan dunia. Perkembangan dunia yang berlangsung sangat cepat sehingga, adanya tuntutan, tekanan, dan tantangan yang besar. Penelitian dari American Psychological Association (APA) mengatakan bahwa penyebab utama adalah stres kronis yang dirasakan oleh Gen Z. APA mencatat bahwa Gen Z lebih besar untuk menerima pengobatan atau menjalani terapi sebesar 37% dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Gen Z juga lebih cenderung melaporkan kesehatan mental mereka sebanyak 27% dibandingkan dengan generasi sebelumnya yang cenderung kecil sebesar 15%.
Gen Z memiliki banyak alasan untuk merasa lebih stres dibanding dengan generasi sebelumnya. Stres yang dialami berkaitan erat dengan psikologis seperti kecemasan dan depresi. Menurut laporan APA, 91% responden Gen Z melaporkan mengalami gejala fisik atau psikologis akibat stres. Penyebab dari stres tersebut adalah uang atau pekerjaan sebesar 64%, hutang 33%, perumahan 31%, dan kelaparan 28%. Dari jumlah tersebut, hanya setengahnya yang melaporkan bahwa mereka melakukan cukup untuk mengelola stres mereka. Selain itu, peningkatan stres juga karena ketakutan tentang masa depan secara umum.
Gen Z juga merupakan generasi pertama yang terpapar konten yang berpotensi berbahaya melalui media sosial di usia muda. Penelitian dari Universitas College London memaparkan bahwa Gen Z lebih banyak atau cenderung melukai diri sendiri, memiliki citra tubuh yang lebih buruk, melewatkan tidur, kelebihan berat badan, dan mengalami depresi. Selain itu, pandemi covid-19 juga sangat berdampak pada kesehatan mental Gen Z, sebanyak 37% orang dewasa Gen Z melaporkan sangat stres tentang pandemi berjuang untuk membuat keputusan dasar; 50% berjuang untuk membuat keputusan besar dalam hidup, sedangkan millenial memiliki waktu yang lebih sulit dengan pengambilan keputusan.
Sebanyak 45% Gen Z mengaku bahwa mereka tidak tahu bagaimana caranya mengelola stres terkait pandemi yang dirasakan. Adanya perkembangan globalisasi yang sangat tinggi menyebabkan Gen Z menjadi lebih terbuka dan peduli tentang kesehatan mental mereka. Gen Z lebih membuka diri menerima masalah kesehatan mental secara umum, dan bagaimana mengelola stres. Alasan apa yang menyebabkan Gen Z lebih terbuka tentang kesehatan mental? Ada beberapa alasan yang dapat menjawab pertanyaan ini, misalnya adanya peningkatan kesadaran akan kesehatan mental dan pemberian informasi di media sosial seperti gerakan publik oleh individu-individu yang berbicara tentang perjuangan kesehatan mental sehingga dapat mengurangi stigma negatif.
Faktor ini mendorong dan memudahkan Gen Z untuk berani menyuarakan secara terbuka tentang masalah kesehatan mental mereka. Gen Z lebih memahami, tidak ingin tertahan, dan terjebak oleh kesehatan mental karena mereka ingin merasa lebih baik. Terlebih, Gen Z hidup di zaman perawatan terhadap kesehatan mental sudah semakin berkembang dan tidak dianggap sebagai hal tabu. Sehingga sangat wajar jika seseorang mendapatkan perawatan untuk masalah psikologis. Media sosial juga berperan penting dalam menormalkan masalah psikologis dan mengurangi stigma negatif diantara generasi z dan generasi sebelumnya. Gen Z memiliki dukungan sosial yang tinggi yang tidak dimiliki oleh generasi lainnya. Gen Z terbiasa berbicara secara terbuka tentang kesehatan mental. Hal ini membawa perubahan besar terhadap generasi lainnya untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental diri sendiri dan orang lain.
Efek dari kesadaran kesehatan mental Gen Z mengakibatkan terbentuknya pola asuh yang mereka impikan terhadap anak-anak mereka dimasa depan. “Gen Z jauh lebih sadar akan masalah kesehatan mental dan lebih mampu mengartikulasikannya daripada orang tua mereka,” jelas Rebecca Rialon Berry, Ph.D., Profesor Rekanan Klinis Departemen Psikiatri Anak dan Remaja di NYU Langone Health di New York City. Mereka beranggapan bahwa orang dewasa atau orang tua harus mampu mengembangkan regulasi emosi dan dapat mengajarkan hal itu kepada anak-anak mereka.
Seperti kata Compton “Orang dewasa muda yang mencari pengobatan sebelum memiliki anak besar kemungkinan akan menjadi orang tua yang sehat secara emosional”. Hal ini diakibatkan karena sebagian besar anak-anak akan melihat perilaku dan perspektif sehat yang ditunjukkan oleh orang tua mereka. Akibat pola pikir yang sudah terbentuk sejak sekarang, Gen Z dapat diprediksi lebih siap untuk menjadi orang tua. Kesadaran dan pendekatan Gen Z terhadap kesehatan mental dapat memiliki pengaruh positif pada pola asuh mereka dengan menjadi sehat secara emosional dan komunikasi yang terbuka. Gen Z dapat membentuk generasi masa depan agar dapat memahami, menerima, dan berusaha untuk mengatasi masalah kesehatan mental diri sendiri.
Penulis: Fransina Maria Janet Kora, mahasiswi Program Studi Psikologi Fakultas psikologi Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah.
Editor: Faatihatul Ghaybiyyah, M.Psi.