Didi Kempot: Colonial Mentality dan Perihnya Patah Hati
SUKMA.CO – Teringat, ketika Saya masih kecil lagu Stasiun Balapan yang fenomenal didengarkan hingga sampai kota saya di selatan Sulawesi. Tentu saja, terpapar terus menerus lagu Didi Kempot yang berbahasa Jawa membuat saya ingat iramanya, tetapi lupa lafalnya. Kalau bahasa kaula muda sekarang; lali rupane, ileng rosone (lupa wajahnya, ingat rasanya).
Nyaris menghilang satu dekade, pemilik lagu Stasiun Balapan kembali hadir di permukaan. Ia mencuri segala sorot media informasi dari budaya pop yang tengah berkembang saat itu. Twitter, instagram, youtube hingga televisi nasional berlomba-lomba menanyangkan sosok Didi Kempot secara ekslusif.
Saya tidak tahu apakah ada musisi tradisional seperti Didi Kempot, seingat saya yang masih seperempat abad ini, Pakde Didi merupakan musisi yang menguasai panggung nasional, namun tetap dengan kearifan lokal. Ia selalu bangga dengan identitas budaya Indonesia, khususnya Jawa.
Baca Juga: Menelisik Gaya Pengasuhan Keluarga Sky Castle dalam Perspektif Psikologi
Didi Kempot seolah menunjukkan bahwa kesenian adalah bahasa universal meski dibawakan dengan bahasa apa pun. Musik adalah senjata yang sukses digunakan oleh Didi Kempot untuk memutus mentalitas kolonial (colonial mentality) yang menjajah beberapa generasi bangsa ini.
Menurut paham psikologi, colonial mentality internalisasi inferioritas etnis atau budaya yang dirasakan oleh suatu kelompok yang pernah dijajah, mentalitas seperti ini membuat sebagian kita menilai budaya penjajah lebih unggul daripada nilai yang dimilikinya sendiri.
“Musik adalah senjata yang sukses digunakan oleh Didi Kempot untuk memutus mentalitas kolonial (colonial mentality) yang menjajah beberapa generasi bangsa ini”
Didi Kempot menunjukkan kepada publik bahwa budaya Indonesia tidaklah lebih rendah dari budaya bangsa lain. Ia yakin budaya Indonesia yang kaya bisa diterima oleh bangsa lain. Keyakinan tersebut bukan isapan jempol semata. Budaya dan musik membawa Didi Kempot melanglang buana keberbagai negara, termasuk Suriname dan Balanda yang begitu mengapresiasi dirinya.
Godfather of the Broken Heart
Saya yang saat ini sudah paham sedikit berbahasa Jawa akhirnya betul-betul bisa menikmati alunan musik campursari sekaligus tersayat akan perihnya lirik-lirik dari Didi Kempot. Tak ada definisi yang pas menggambarkan sakit yang dinikmati dengan berjoget selain kata ambyar. Ambyar menggambar semua perasaan yang luruh dalam pilu yang nikmat.
Baca juga: Tekstual dan Taqlid Buta, Mahasiswa Beresiko Terpapar Radikalisme
Jika kebanyakan musisi lainnya menjadikan patah hati sebagai kepiluan, Lord Didi, julukan dari para fans, menampilkan patah hati sebagai wujud dari kekuatan cinta. Mata kita dibuka bahwa hanya yang benar-benar cinta yang bisa patah hati, oleh sebab itu patah hati merupakan kebanggaan yang tidak boleh membuat kita menye-menye, sebaliknya patah hati membuat kita melompat lebih bahagia.
Ketika media mulai menjuluki LordDidi dengan julukan lain ‘Godfather of the Broken Heart’, tanpa ragu saya sepakat, ia layak mendapatkannya. Patah hati dan Lord Didi memang dua mata pisau yang tak terpisahkan. Bahkan beberapa teman penulis menyebutkan bahwa Didi Kempot adalah patah hati itu sendiri.
Hari ini Lord Didi membuat kita terbangun dengan kondisi ambyar. Bagaimana pun pedihnya kita harus kuat menerima kenyataan sang Maesro telah berpulang. Lord Didi seolah telah mempersiapkan hari ini dengan sebuah petuah;
“Sing uwis ya uwis, lara ati oleh. Ning tetep kerjo lho ya, sebab urip ora iso diragati nganggo tangismu.”
“Yang sudah biar sudah, sakit hati boleh. Tapi tetap bekerja lho ya, karena hidup tidak bisa dibiayai pake tangismu.”
Perasaan ambyar jangan sampai membuat kita patah arang.
Selamat berpulang Didi Kempot, engkau abadi dalam karyamu.