Viral Siswa Membawa Celurit: Ada Apa Dengan Pendidikan Kita?
Baru-baru ini viral video seorang siswa membawa celurit ke sekolah lantaran tidak terima HP nya disita. Dalam video tersebut terlihat seorang remaja menggantungkan celurit di telapak tangannya. Sambil berjalan mendekat ia mengayunkan senjata tajam itu ke arah sekolah. Tiba di depan mulut pintu, keluar seorang guru dengan melempar handphone ke lantai menuju arah remaja tersebut. Sambil berkata “Bawa pulang handphonemu, dan jangan kembali lagi ke sekolah ini”.
Peristiwa ini tentu bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Banyak peristiwa nyata yang sangat merobek jati diri orang Indonesia yang secara geografis terletak di belahan bumi bagian timur dengan budaya santunnya. Tentu peristiwa ini nyata, bukan tajuk sinetron atau prolog film kartun.
Adalah hal yang menghebohkan warga khususnya warga Yogyakarta yang terjadi pada hari Rabu 13 September 2019. Seorang siswa membawa benda tajam berupa celurit karena tidak terima handphone disita oleh sang guru. Handphone siswa itu disita karena ia bermain game online di sekolah, menurut pengakuan sang guru. Aksi penyitaan handphone tersebut merupakan hukuman yang diberikan oleh guru kepada siswa supaya timbul efek jera karena tidak sepantasnya sekolah yang merupakan tempat menuntut ilmu digunakan sebagai tempat bermain game online.
Namun tidak demikian persepsi yang ditangkap oleh siswa tersebut. Ia tidak terima karena hukuman penyitaan handphone tersebut merupakan hal yang menyakiti hatinya. Alhasil, ia pulang ke rumah dan menodongkan senjata tajam berupa celurit ke arah sang guru. Sang guru berteriak melemparkan handphone ke lantai menuju arah siswa tersebut, “bawa pulang, gausa sekolah disini lagi”. Tentu saja banyak masyarakat yang kaget melihat kejadian tersebut. Bukan malah meminta maaf atas kelakuan yang melanggar aturan, malah mengancam nyawa sang pengajar.
Mengapa ini terjadi? Bukankah seharusnya hubungan siswa dan guru harmonis dalam bingkai pendidikan akhlak dan pendidikan ilmu pengetahuan? Sekolah merupakan tempat menimba wawasan pengetahuan dan belajar untuk menerapkan etika dan moral. Semua siswa yang belajar di sekolah mempunyai potensi untuk tidak beretika. Guru sebagai kontrol harus mengendalikan atmosfir moral siswa supaya terkendali. Selain itu, lingkungan pergaulan juga faktor terbesar kenakalan siswa menular.
Kemajuan zaman mengancam budaya moral santun di negeri ini.Bukan hanya siswa yang membawa senjata tajam alih-alih menodongkan kepada guru, sebelumnya juga terjadi peristiwa amoral yakni anak kandung yang menendang kepala ibunya yang sedang sakit. Kejadian-kejadian tidak menyenangkan tersebut akan selalu terkenang karena terdapat dokumentasi berupa video yang diunggah di sosial media.
Video berkonten tak santun itu diharapkan mampu menjadi pelajaran bagi banyak masyarakat agar tetap melestarikan budaya sopan santun dan mengedepankan akhlak, dan serta tidak untuk ditiru. Menjadi pukulan telak bagi khalayak umum akibat kejadian-kejadian yang merusak nurani itu. Apakah sekolah gagal mematangkan aspek moral yang aplikatif? Atau lingkungan sumber terkikisnya budaya moral?
Pada akhirnya semua harus berbenah. Peningkatan pendidikan dalam sekolah yang harus semakin matang dan sesuai dengan kebutuhan di setiap zaman. Selain orang tua juga memegang peran penting demi terwujudnya perilaku sopan dan santun dan menghindari perilaku-perilaku yang tak wajar.