Tesis; Lakukanlah, Pasti Belajar
Sukma.co – Sungguh, saya tidak terlalu suka dengan kebijakan kampus tempat saya mendalami Psikologi Pendidikan. Ada kebijakan kurang bijak dalam menyusun tugas akhir, hingga saya memutuskan untuk ‘mengabdi’ di salah satu lembaga swadaya masyarakat, namun kemudian saya berpikir ulang; ketidaksukaan saya adalah peluang untuk berpikir “Baik, ini tantangan selanjutnya Saiful“.
Saya tidak punya pilihan mundur. Biaya pendidikan yang dikeluarkan serta harapan besar dari seorang Ibu untuk melihat putranya menjadi ‘Magister’, bukanlah hal mudah untuk saya acuhkan. Saya masih anak kecil yang takut dengan kata ‘durhaka’.
Meski tertatih, saya akhirnya menyelesaikan satu dari tiga tahapan ujian menuju seseorang dianggap ‘Magister’. Saya datang, saya lihat dan dosen berkata “Silahkan melanjutkan dalam proposal tesis variabel Flow ini” saat ujian komprehensif kemarin.
Saya tidak percaya, saya bisa melewati itu. Matakuliah telah selesai dengan nilai memuaskan, berpotensi lulus dengan cumlaude 😎. Kini masalah pasca hanya fokus menyelesaikan tesis. Kata ‘hanya’ di awal tesis untuk menguatkan diri 🙂
Suatu malam sepulang dari bedah buku ‘Tak Seiman, Tapi Sejalan’, saya berkontemplasi di atas tempat tidur. Otak saya berpikir keras tentang capaian-capaian saya selama dua tahun belakangan. Tentu banyak hal yang terjadi, namun pertanyaan mendasar muncul dan mendobrak kesadaran.
“Kemana saya berjalan?“
Dua tahun belakangan ini terlihat menggembirakan untuk dibayangkan. Berpindah dari Malang untuk melanjutkan pendidikan formal, lalu sempat pulang ke rumah dengan pertanyaan “Apa yang bisa saya lakukan di rumah? Kontribusi yang bisa saya lakukan apa?“
Waktu bergulir begitu saja, ketika kini pencapaian di luar ekspektasi terjadi; melakukan kelas penulisan (Juni, 2017), membuat komunitas sosial (Agustus, 2017), memfasilitasi dan berkontribusi dalam buku ‘Alter Ego’ (September, 2017), memahami perkuliahan pascasarjana (2017-2018), menerbitkan naskah buku ‘Tak Seiman, Tapi Sejalan’ (Desember, 2018), mengabdi di lembaga sosial (Oktober, 2018), hingga kemarin saya melakukan ujian komprehensif (Januari, 2019).
Tidak sekali pun saya merancanakan bisa melakukan itu semua. Saya hanya berpikir dua kata; masa muda. Masa muda yang diidentikkan fase produktif sekaligus difasilitasi dengan kobaran semangat dan fisik prima terlalu sayang jika hanya dilewati dalam zona nyaman; pacaran, bermain game online, stalking storie, menjadi anak dan mahasiswa yang ‘baik-baik’. Kita perlu gebrakan dan tantangan.
Tantangan membentuk saya menjadi lebih kuat dari yang saya bayangkan. Kadang gagal menyelesaikan tantangan, namun jika kita tidak mencoba artinya kita kehilangan kesempatan untuk bisa. Kehilangan kesempatan untuk naik level.
Dan
Kehilangan kesempatan menjadi anak muda yang produktif.