Seperti Apakah Matahari yang Tenggelam Hari Itu dan Empat Kisah Lainnya
Seperti Apakah Matahari yang Tenggelam Hari Itu?
Para pelayat sedang menabur abu di laut. Seikat seruni yang hampir layu terbawa ke ujung samudra, bersama perahu kayu dan para pembaca doa. Gita pujian terdengar seperti lagu kesedihan. Sudah dua kemarau suara tangis terdengar dari laut itu.
“Kau tahu, Tuan. Kita adalah selasang ruh yang sedang menari-nari di panorama yang biru, berdansa di bawah lampu gantung yang cahayanya mulai menua.”
Setelah dansa kami yang begitu singkat, tak ada tepuk yang riuh. Lalu ia bercerita tentang kerinduan daun-daun akan sentuhan air hujan, tentang kobaran api yang membakar hutan, tentang kabut asap yang menyesakkan dada, tentang demo di hampir seluruh kota, hingga polemik di panggung atas yang membuat sayap ibu pertiwi kian patah.
“Kau tahu, di dunia ini ada banyak hal yang sedang patah. Semoga tidak untuk kaki-kaki kita, agar kita tetap bisa berdansa,” begitu katanya.
“Teruntuk kaki-kaki. Terima kasih sudah menemani perjalanan kami sejauh ini, telah menopang tubuh kami sekuatmu, dan mengantar kami ke kampung halaman yang baik,” tambahku.
Tak ada seorang pun yang tahu, tentang kami yang suka berdansa dan menyanyikan lagu kesedihan di tepi laut ini. Lagu yang kami nyanyikan seperti nafas, seperti nadi. Seperti luka, seperti sembuh.
Kami pun saling tersenyum dan kembali menikmati sore yang tak habis-habisnya. Seperti apakah matahari yang tenggelam hari itu? ~
Saat Kita Batal Menonton Senda Tari
Hari ini kita batal menonton senda tari. Kita tak bisa melihat geliat tubuh manusia yang bercerita tanpa suara, kecuali suara musik yang diputar dari ruang yang jauh, hanya beresonasi beberapa desimal.
“Kita bisa pergi lain kali dan kita akan lebih banyak belajar,” katamu sambil meminum secangkir kopi tubruk dan merekam setiap nafas tempat itu di kepala dan kameramu.
Aku menghitung detak jam di samping lukisan perempuan Sunda yang memakai kebaya putih lengkap dengan sanggul dan bunga seruni di kelopak tangannya. Perempuan yang duduk termangu di atas sisa potongan pohon kelapa. Tatapannya kosong tertiup semilir angin laut, seperti tak mengerti apa hal yang membuat dunia begitu menakutkan di usianya saat ini. Perempuan yang telah dibekukan waktu, senyumannya terasa sumir.
Kau pernah bilang, kalau untuk tahu tentang manusia lain, kita harus mengenalnya bukan hanya menilai dari persepsi yang paling dangkal. Karena manusia dilengkapi dengan patahan-patahan waktu, dilengkapi dengan perangai baik-buruk, dan dengan dirinya yang tidak sempurna.
Sekarang aku mengerti. Perjalanan bersama pun tak selalu menyenangkan. Seperti hari ini, kita batal menonton senda tari kesukaanmu. Namun pada akhirnya kita saling memahami. Sesekali pula kelak kita akan kehabisan beras di dapur untuk kita masak. Kita akan menatapi meja tanpa makanan. Kita akan saling menatap, kemudian aku akan berkata dengan lembut seperti, “Tuan Putriku, engkau cantik sekali malam ini,” atau “Boleh aku mencium bibirmu?”
Kita pun saling melempar senyum. Begitulah cara kita saling menguatkan.
Kita saling menguatkan dengan berbagi banyak buku untuk kita baca. Kita akan menatanya di rak bercat putih yang kita letakkan di samping tempat tidur. Kemudian kita saling bercerita tentang bagaimana buku-buku yang kita genapkan.
Tidak ada cinta yang sempurna, pun tak ada pasangan yang sempurna, yang selalu bisa saling membahagiakan sepanjang waktu. Adakalanya, kita akan menjadi sangat menyebalkan dan tidak sependapat dalam berbagai hal. Tapi cinta kita akan mendewasa sepanjang waktu kita bersama: yang fana adalah waktu, cinta kita abadi.
Seperti yang senantiasa kau yakini, bahwa di alam semesta ini tercipta sesuatu yang paling panas dan bercahaya namun tak membuat seseorang menjadi abu. Dan itulah cinta. ~
Sebuah Berita di Koran Hari Ini
Suatu pagi, ia mendapati lelaki itu duduk sendiri di salah satu kursi pada meja segi empat dengan dua kursi yang saling berhadapan. Saat itu, kursi yang lain sudah kosong ditinggal oleh pemiliknya pergi.
Sebuah berita di koran hari ini, kapal yang membawa istri lelaki itu tenggelam. Belum diketahui duduk perkara tenggelamnya kapal itu. Kapal itu tenggelam di laut yang pernah diceritakan oleh istrinya. Laut yang baik namun menyimpan begitu banyak kesedihan, demikian katanya.
Lelaki itu merapikan kegetiran dan berkali-kali menelepon nomor yang tidak aktif. Langkahnya hilang. Matanya memerah. Sembap. Sesuatu yang hangat mengalir sebagian, menyentuh cangkir kopinya yang telah dingin.
Dalam partitur-partitur yang menyatu dengan garis lengkung yang samar, lelaki itu mencoba bertahan. Detak nafasnya berdenting di atas sebuah koran yang ia genggam.
Suatu pagi, saat beberapa orang petugas mengantar tubuh seorang perempuan ke rumah, ia melihat seorang lelaki sedang menulis. Suara pena yang menggema di lorong-lorong beku dan huruf-hurufnya luka. Kemudian bayangannya menari pada lampu gantung yang cahayanya mulai menua. Bersama seekor kucing putih yang menggigil dan suara sirine ambulans yang semakin jauh. Seorang perempuan yang merawat telah berpesan pada kucing itu, untuk tidak membiarkan lelaki itu menangis sepeninggalnya. Ia melihat suaminya itu memeluk sebuah peti yang terbujur. Miliknya.
Perempuan itu terbaring seorang diri di ruang yang dinding-dindingnya terlilit oleh dimensi. Ia tahu betul, suaminya adalah lelaki dengan doa-doa yang paling cemas.
Tahun-tahun sesudah ini akan menjadi semakin hening bagi lelaki itu. Lelaki itu kembali menyisir ingatan-ingatan yang sudah seperempat abad lebih ia larung bersama istrinya. Hanya lelaki itu yang memeluk ingatan dengan kesedihan yang purba. Dua kemarau, tangisnya membasahi bumi. ~
Suatu Pagi di Musim Kemarau
Suatu pagi di musim kemarau, sepasang kaki membawamu pergi. Tahu-tahu engkau sudah sampai di stasiun, barangkali karena kepalamu dipenuhi dengan pikiran-pikiran.
Tak ada seseorang yang menemanimu, hanya sunyi yang menyusup di kuku. Tak ada pelukan hangat dan genggaman tangan. Kepergian selalu meninggalkan luka-luka yang sama.
Engkau duduk di salah satu kursi tunggu dan mulai mengenang segalanya secara hati-hati.
Di Stasiun Tangerang, puluhan orang berlalu-lalang. Sebagian dalam langkah-langkah lambat, sebagian bergegas seperti mengejar sesuatu yang mudah lepas. Kau pikir, sebagaimana dirimu, tiap orang di stasiun ini pasti mempunyai kisah sedih masing-masing. Kisah-kisah yang akan membuat pemiliknya merasa jemu dengan kehidupan dan serasa ingin melompat ke semesta lain.
Melarikan diri dan melompat ke semesta lain? Apakah itu yang sedang kau inginkan? Tidak, cepat-cepat kau menggeleng. Kau hanya ingin menenangkan diri sekaligus menata ingatan rapi-rapi. Kau mengira tidak ada waktu yang tepat untuk melakukan itu selain saat ini.
Tak akan ada yang bisa memahami peristiwa itu sebaik dirimu sendiri. Dan kalaupun ada sesuatu yang harus diselamatkan, tentu saja itu adalah perasaanmu sendiri.
Dua kereta datang bersamaan dari dua arah yang berbeda. Persis ketika jubelan orang keluar dari gerbong serupa telur-telur ikan, kau memikirkan tentang kepergian. Seseorang baru saja pergi dan keping-keping ingatan tentangnya menyerbumu seperti segerombolan orang yang keluar dari kereta.
“Ehm, hai, Kak. Boleh saya memperkenalkan diri?” Suara itu membuyarkan lamunanmu.
“Oh, i, iya, tentu saja boleh.” Engkau tampak gagap waktu itu.
“Aisya Anzalia.” Ia mengulurkan tangan mungilnya kepadamu. Suaranya, kau ingat betul, halus. Kelembutannya itu menjadi kekhasan, semacam ciri yang membuatmu selalu mudah untuk mengingatnya. Kau menyambut ulurannya dan memperkenalkan nama.
Di mana peristiwa itu terjadi?
Matamu mencari plang stasiun, mengeja huruf-huruf tanpa suara. Tentu saja di sini. Di stasiun ini. Kejadian itu belum lama dan bukan sesuatu yang mudah dilupakan. Pertemuan pertama, kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, perpisahan; semuanya adalah hal yang sulit untuk dilupakan. Kau mengamininya dan mulai mencari letak tisu di dalam tas kecilmu.
Tidak ada tisu di dalam tasmu. Kau luput membawanya. Kau juga tidak sempat membelinya dalam perjalanan tadi. Barangkali kau memang tidak pernah mempersiapkan apa pun untuk menghadapi momen ini. Kau mengembuskan napas.
Engkau bergegas masuk ke dalam gerbong kereta. Kemudian duduk di kursi dengan nomor yang sudah kau pesan, di bawah sinar matahari yang menyusup dari balik jendela kaca. Kereta melaju dengan lambat. Membawamu ke sebuah kota yang dekat dengan laut. Tempat seseorang yang menjadi ingatanmu itu dimakamkan.
Suara kereta yang sudah begitu sering kau hafal menembus angin. Di luar jendela, ranting-ranting pohon delima jatuh bersama ranggas daun dari pohon sawo yang batangnya sudah mati. Engkau gugu dalam diam, bersama potret seseorang yang beku. Engkau kembali menatap pohon-pohon yang semakin cepat meninggalkanmu, seperti tak ada ujung, tak memiliki tepian. Seperti rasa cintamu yang begitu dalam pada seseorang dan kesedihan yang lahir karena kepergiannya. ~
Pusara
Suatu sore, lelaki itu mendapati dirinya menangis saat melakukan kunjungan ke maqbarah. Ia duduk sendiri di lantai yang dingin dengan wajah ia tundukkan. Saat itu, semua lantai sedang kosong dari para peziarah.
Seekor kucing putih berusia lima tahun sedang berjaga di sana. Kucing itu diam saja melihat lelaki itu yang datang dengan tatapan menunduk. Ia kemudian ikut duduk di samping lelaki itu, di lantai yang dingin. Seorang perempuan yang telah merawatnya berpesan padanya, agar tidak membiarkan lelaki itu menangis.
Di tempat yang tak jauh dari pusara, lelaki itu membaca sebuah tulisan yang pernah ditulis oleh seseorang.
“Kau tahu, Tuan, aku sedang rindu seseorang. Rindu sekali…” ~ Laut yang baik.
Lelaki itu selalu tak kuasa menahan air mata. Ia kemudian bertanya pada udara di sekitarnya.
“Bagaimana kabar Tuan putri di sana? Seperti apa kehidupan itu bagimu? Serumit itukah? Atau sesederhana engkau bisa memahaminya?”
Lelaki itu sebenarnya tipikal orang yang pikirannya cukup rumit. Maka dari itu, ia suka belajar dan memahami orang-orang yang pikirannya sederhana. Menurutnya, pemahaman seseorang yang sederhana terbentuk dari cara ia memahami dirinya sendiri.
Ia hanya tidak menyukai gemerlap dan kebisingan; saat warna-warna dan kekosongan terlihat seperti bumerang waktu. Ia suka menenggelamkan dirinya pada buku-buku tua, atau pada ingatan usia, seperti yang dilakukannya saat ini, yang kerap membawanya pada dunia yang tak bersuara. Kau tahu, di sanalah ia bisa mendengar banyak suara-suara yang tersurat untuknya.
Kau tahu, tidak semua yang ia rasakan dan alami mesti diketahui oleh banyak orang, seperti yang biasa dilakukan orang-orang di media sosial. Sebab, setiap orang mempunyai kesunyiannya masing-masing. Ia cukup merekam dan mengabadikan semua peristiwa itu lewat catatan yang ia simpan dalam gawainya, lalu menjadikannya sebuah cerita yang syahdu, sekalipun tak semua orang bisa memahami jalan pikirannya.
Orang-orang selalu bertanya pada lelaki itu, sebuah prinsip dan keyakinan akan melahirkan apa? Barangkali tidak melahirkan apapun, atau mungkin akan membuat ia semakin banyak kehilangan. Kehilangan keinginan demi keinginan. Tapi ia tahu betul, itu pilihannya sejak awal. Tanpa ia mengerti mengapa ia memilih jalan yang sulit di antara jalan-jalan yang membuatnya lebih merasa nyaman untuk berada di sana. Tapi ia selalu yakin dengan prinsip itu. Kehilangan demi kehilangan itu akan tergantikan oleh sesuatu yang membahagiakannya, kelak.
Dalam setiap pertemuannya dengan waktu dan segala peristiwa, ia tahu Tuhan sedang memberikannya kesempatan untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Selagi ruh masih bersemayam di kandung badan, belum terlambat untuk senantiasa bersyukur dan mengumpulkan kebaikan-kebaikan. Waktu tidak memberinya izin untuk menyia-nyiakannya. Ia selalu ragu masih ada hari esok. Masih meragukan malam akan menepati janjinya, kalau besok pasti pagi. Karena bisa saja besok adalah pekat.
Pada suatu kelak, lelaki itu akan tersenyum mengetahui balasan dari kesabaran dan kebaikan-kebaikan. Ia menjadi tahu mengapa orang-orang bisa hidup dengan prinsip dan keyakinan. Hanya saja, setiap orang terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meyakini segala sesuatunya. Perjalanan ini membuat pikirannya menjadi lebih sederhana untuk memahami, seperti apa kehidupan itu baginya. Perjalanan ini membuatnya semakin lebih dekat dengan dirinya. ~
(Untuk cinta yang tak pernah mati).
Ditulis sepanjang tahun 2019.
Mukhammad Fahmi.