Seorang Lelaki yang Menulis Riwayat Hidupnya Sendiri (Part II)
“Aku ini perempuan, Man. Aku tak mungkin terus menggantungkan masa depanku yang tidak pasti padamu,” ketus sang kekasih.
Diam-diam, Roman memahami keresahan kekasihnya. “Yakinlah. Suatu saat, aku akan menikahimu.”
“Tetapi kapan?” tagih sang kekasih. “Kalau keadaanmu begini-begini saja, mana mungkin kita akan menikah? Apa kau sanggup menghidupiku? Apa kau sanggup menghidupi anak-anak kita kelak?”
“Bersabarlah,” melas Roman. “Aku tak akan mengkhianati janjiku kepadamu. Tetapi aku mohon, bersabarlah.”
“Sudah!” tegas sang kekasih. “Mulai hari ini, kau tak usah mencari-cari aku lagi,” pungkasnya, lalu pergi, sembari mengusap air mata di pipinya.
Roman hanya terdiam dengan perasaan kacau, sambil memandang kekasihnya yang semakin menjauh, hingga lenyap di balik mobil pribadinya.
Setelah pertengkaran itu, perasaan Roman kepada sang kekasih, masih tetap sama. Tak membenci, juga tak menyerah demi penyatuan mereka di masa depan. Untuk itu, Roman mulai berjuang keras demi menggapai kehidupan yang mapan. Ia kembali mengirimkan lamaran kerja kepada sejumlah perusahaan, atau kepada tepat-tempat usaha yang menawarkan gaji yang menjamin.
Tetapi berulang kali mencoba, Roman tak juga memperoleh pekerjaan yang sepantasnya untuk gelar sarjananya. Ia selalu kalah dalam persaingan. Mau tak mau, Roman kembali bertahan sebagai penjaga toko buku milik seorang sahabat baiknya, meski dengan upah yang seadanya. Setiap hari menjual buku untuk memberikan penghasilan kepada para penulis, meski ia sendiri tak mendapatkan apa-apa dari aktivitas menulisnya selama ini.
Hingga akhirnya, di tengah nasib yang terus menjebaknya di dalam dunia aksara, cita-cita lamanya pun kembali bersemi. Roman ingin berjuang lagi untuk mencatatkan namanya di halaman-halaman kertas. Tetapi kini, tak sekadar ingin menjadi seorang penulis koran, tetapi ia ingin menjadi seorang penulis buku. Roman sungguh ingin memberikan pembuktian kepada kekasihnya bahwa ia adalah penulis handal yang bisa hidup mapan dari hasil menulis.
Akhirnya, dengan semangat yang menggebu-gebu, Roman berhasil menamatkan satu cerita panjang dalam format novel. Satu cerita yang tidak lain daripada kisah nyata tentang dirinya dengan kekasihnya. Satu cerita tentang seorang penulis melarat yang gagal mendapatkan hati seorang anak pejabat, hingga menguburkan cita-citanya sebagai penulis.
Di waktu-waktu kemudian, Roman lantas menawarkan naskah novelnya itu kepada sejumlah penerbit. Awalnya, dengan kepercayaan diri, ia menawarkan kepada penerbit-penerbit besar. Namun setelah mendapatkan penolakan demi penolakan, lalu menyasar penerbit-penerbit indi. Tetapi upaya itu pun, tidak juga membuahkan hasil. Para penerbit menilai bahwa cerita novelnya terlalu biasa, dan Roman belum punya nama sebagai penulis untuk menjamin kelarisan novelnya demi keuntungan bisnis.
Akhirnya, dengan semangat hidup yang redup untuk menggapai jalan penghidupannya sebagai penulis, Roman berbagi keluh kesah kepada sahabat baiknya, sang pemilik toko buku, yang juga merupakan penulis yang patah semangat untuk mencatatkan namanya di gelanggang para penulis cetak.
“Bagaimana menurutmu? Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, meminta saran setelah menguraikan perkaranya, saat mereka tengah duduk berhadapan di dalam toko buku.
Sang sahabat yang telah membaca novelnya, kemudian menguraikan pendapatnya. “Aku rasa, novelmu cukup baik. Jauh lebih baik daripada kebanyakan novel terbitan terkini. Tetapi kalau aku boleh sarankan, kau memang perlu mencari dan meramu konflik cerita yang lebih baik lagi, juga menyusun ulang alurnya untuk memberikan kejutan yang lebih berkesan kepada para pembaca.”
Roman pun mengangguk-angguk, seolah menyadari sendiri persoalan itu. “Aku akan melakukan perbaikan.”
Sang sahabat lalu mendengkus, kemudian menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. “Tetapi zaman sekarang, naskah yang bagus saja, tidak menjamin bahwa sebuah karya akan diterbitkan. Kini, para penerbit lebih mementingkan persoalan nilai jual pada diri pribadi penulis ketimbang kualitas tulisan. Kalau kau bukan orang yang terkenal dan punya banyak pengikut di media sosial, kemungkinan besar penerbit akan enggan menerbitkan tulisanmu.”
Roman hanya mengangguk lesu dengan pemahaman yang sama.
“Lihatlah kenyataan sekarang. Banyak artis-artis dunia maya yang tiba-tiba menerbitkan buku dan dikenal sebagai penulis, padahal tulisan mereka sangatlah buruk. Atau lihatlah, banyak penulis karatan yang terpaksa membuat perkara di media sosial agar mereka terkenal dan tulisan mereka laku terjual,” sambung sang sahabat, lantas mendengus sinis.
Lagi-lagi, Roman hanya mengangguk-angguk atas kenyataan itu.
“Zaman sekarang, sensasi adalah modal periklanan yang sangat manjur, termasuk dalam dunia perbukuan. Kalau kau ingin punya nama sebagai penulis, buatlah sensasi, maka kau akan terkenal, dan bukumu akan laris, meski para pembaca akan mengutukmu setelah membaca halaman pertama,” ketus sang sahabat lagi, kemudian tertawa lepas. “Itulah sebabnya, aku akhirnya memilih menjadi penjual buku ketimbang berjuang menjadi penulis buku.”
Seketika, Roman turut tertawa, seperti menertawakan kenyataannya sendiri. Sesaat kemudian, ia pun meminta saran, “Jadi, apa yang sebaiknya aku lakukan di tengah keadaan yang seperti itu?”
Sejenak, sang sahabat tampak merenung-renung, kemudian menuturkan pandangannya, “Entahlah. Tetapi kalau kau terus berjuang dan tidak menyerah untuk menyempurnakan naskahmu, aku yakin, suatu saat, kau akan menemukan penerbit yang sejalan dengan idealismemu, yang akan membuat namamu besar karena karyamu memang berkualitas,” katanya, seakan bermaksud memberi semangat.
Roman pun mengangguk setuju dengan semangat yang lesu.
Hari demi hari setelah percakapan itu, atas idealismenya, Roman terus berjuang membenahi naskah novelnya. Berkali-kali membongkar dan menyusun kembali ceritanya, sembari menyisipkan pokok-pokok permasalahan yang baru. Tetapi hasil dari kerja kerasnya itu, ternyata belum juga membuat satu pun penerbit tertarik untuk menerbitkan naskahnya, seolah-olah ia memang belum berhasil menandaskan ceritanya secara menakjubkan.
Namun akhirnya, di tengah perjuangannya, kabar memilukan malah berembus sampai ke telinganya. Sebuah kabar yang menghancurkan ide pokok cerita novelnya yang telah lama ia susun sebaik mungkin. Satu kabar yang menginformasikan bahwa sang pujaan hatinya yang secara tidak tegas telah menjadi mantan kekasihnya, akan menikah dengan anak seorang pengusaha besar. Bahkan, undangan atas pernikahan itu, telah tersebar di media sosial.
Terang saja, perasaannya jadi hancur lebur. Roman merasa kehilangan semangat dan tujuan hidupnya. Tetapi di tengah kepedihan itu, amarah malah membentuk semangat dendamnya. Ia semakin bertekad untuk membuktikan dirinya sebagai penulis ternama. Ia berhasrat untuk membalas kekejaman sang mantan kekasih. Ia bernafsu untuk membuat perempuan itu menyesal seumur hidupnya, sebab telah mencampakkan dirinya seolah tak berharga.
Atas nama dendam yang berkobar di dalam hatinya, Roman kemudian menulis ulang naskah novelnya berdasarkan kenyataan yang telah ia saksikan perihal mantan kekasihnya dan merampungkan cerita itu sampai sepanjang napas hidupnya, hingga tak ada lagi harapan yang sanggup ia tuliskan untuk masa depan mereka. Roman menamatkan cerita itu dengan akhir yang memilukan atas dirinya sendiri, sebagai sebuah pembalasan yang manis untuk sang mantan kekasih.
Sampai akhirnya, Roman mewujudkan cerita novelnya demi menyempurnakan rencana pembalasannya. Pada satu hari yang cerah, di tengah aliran lalu lintas jalan raya, tubuhnya terempas jauh setelah tertabrak oleh sebuah mobil. Kepalanya terbentur di trotoar, dan ia mati seketika.
Pada hari itu juga, media massa, baik cetak mau pun elektronik, menuliskan dan menyebarkan berita tentang kematian tragisnya, bahwa seorang penulis telah mati bunuh diri setelah menabrakkan dirinya pada sebuah mobil yang dikemudikan oleh mantan kekasihnya, dan bahwa penulis itu meninggal setelah merampungkan cerita nyata tentang kisah cintanya sampai mati di dalam sebuah naskah novel yang tergeletak di samping jasadnya, beserta selembar wasiat agar naskah novel tersebut diterbitkan.
Sejak hari itu pula, perlahan-lahan, ia menjadi terkenal sebagai penulis atas kematiannya. Media massa dan media sosial, terus mengabarkan dan menggembar-gemborkan kematiannya ke seluruh penjuru angin. Sampai akhirnya, orang-orang menjadi penasaran atas naskah novel yang menceritakan kehidupan dan kematinannya secara utuh, hingga para penerbit mulai bersaing untuk mendapatkan hak atas penerbitannya.***
Baca Cerpen Ini Sebelumnya di Part I
Punulis: Ramli Lahaping. Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Alumni Fakultas Hukum Unhas. Berkecimpung di lembaga pers mahasiswa (LPMH-UH) selama berstatus sebagai mahasiswa. Aktif menulis blog . Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi).
Editor: Nur Jihan