Semangat Bahagia dan Membahagiakan dari Penyintas Kanker
Semakin baik seorang menerima diri, maka semakin baik pula penyesuaian diri yang berpengaruh kepada aspek semangat bahagia penyintas kanker.
SUKMA.CO “Saya itu kadang merasa aneh kalah orang-orang mendoakan saya sembuh, padahal saya tidak pernah berdoa agar sembuh”
Demikian tutur Ibu Helena kepada kami (saya, istri dan ayah Wasis). Ini hal yang tidak biasa yang pernah saya dengar. Tidak lazim. Ibu Helena rupanya sadar betul dan ikhlas atas apa yang terjadi pada beliau merupakan takdir Tuhan. Ia yakin dan percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik, sehingga sadar kanker otak yang ia derita pasti ada hikmah dibaliknya.
Ibu Helena barangkali ingin terus bermanfaat kepada sesama meski dua pertiga otak beliau telah ditumbuhi kanker, bukan kesembuhan. Beliau hanya ingin terus bahagia dan bisa membagikan kebahagiaannya pada sesama.
“Karena kanker otak ini, minimal saya tahu saya punya otak”, kelakar Ibu Helena.
Baca juga : Menangkal dan mengenali ciri-ciri toxic bermedia sosial
Ketangguhan Psikologis
David W. Johnson dalam teori penerimaan diri (self acceptance) mengemukakan jika kita dapat menerima realita yang ada pada diri kita dengan lapang dada, maka penerimaan diri kita akan baik. Sedangkan semakin baik seorang dapat menerima dirinya, maka semakin baik pula penyesuaian diri dan penyesuaian sosialnya kepada sesama. Bahkan tidak jarang para pakar menyebutkan penerimaan diri bukan hanya masalah berdamai dengan diri sendiri atau mempermudah bermasyarakat, tetapi merupakan psikoterapi terbaik.
Sebuah riset yang dilakukan Najam ul Hasan Abbasi, Seema Gul dan Maryam Khurshid (2017) berjudul Self-Acceptance and Life Satisfaction Among Breast Cancer Patients of Islamabad menemukan ada hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dan kepuasan hidup. Kepuasan hidup itu berasal dari perasaan menikmati pengalaman-pengalaman terjadi dengan perasaan penuh kegembiraan.
“Hidup itu berharga namun bukan milik kita yang harus dipertahankan”
Satu hal yang menarik dalam perbincangan kami dan Ibu Helena yaitu pengalamannya yang berkesan sehingga memunculkan penerimaan diri yang hebat. Ibu Helena sampai bilang pengalamannya saat menjadi jurnalis dan aktivis, membuatnya merasa masih lebih baik yang ia alami saat ini daripada yang harus ia alami di masa lalu. Ia menceritakan bagaimana ia melihat secara langsung kejadian Kudatuli atau ‘Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli’ tepat pada 27 Juli 1996.
Komnas HAM mencatat 5 orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang pada kejadian Kudatuli. Satu di antara orang yang diduga kuat dihilangkan usai peristiwa itu adalah Wiji Thukul, penyair dan aktivis.
Pengalaman kerja lapangan yang ‘mengerikan’ seperti itu membuat Ibu Helena tangguh secara psikologis.
“Makanya saya selalu bilang anak muda itu harus aktif. Ikut kegiatan pramuka, pecinta alam, jurnalistik dan sebagainya. Biar pengalamannya kaya”.
Keikhlasan dalam Bertuhan
“Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu,” seperti dikatakan Bunda Maria saat ia diberitahu akan mengandung Yesus.
Demikian Ibu Helena menceritakan kepada kami tentang nilai dalam ketuhanan yang ia yakini sebagai seorang Katolik taat. Mempercayakan diri kepada takdir Tuhan terkadang membawa seseorang mampu melompati logika banyak orang, sebab ia tidak memiliki kehendak melawan keadaan, sebaliknya menerima segala takdir yang kadang tidak logis bagi sebagian orang.
Sikap ikhlas menerima takdir Tuhan, mempunyai peran positif dalam menurunkan ekspektasi hingga tidak punya beban pikiran. Sebaliknya, karena sudah ikhlas apa pun yang terjadi, malah mengurangi beban pikiran, hasilnya meningkatkan imunitas dan mental yang stabil.
Saya membayangkan pergulatan psikologis karena kanker Ibu Helena sudah selesai dengan kondisi emosional yang menyenangkan. Beliau telah menerima dengan tidak menunjukkan adanya tekanan, sehingga ia bisa memilih fokus lain dan melakukan yang terbaik untuk dirinya.
“Hidup itu berharga namun bukan milik kita yang harus dipertahankan. Oleh karena itulah, aku tidak pernah berdoa minta kesembuhan. Aku berdoa agar dalam situasi apapun, penderitaan sekalipun, aku tetap menjadi kegembiraan dan harapan bagi dunia”, demikian Ibu Helena menjelaskan keikhlasan kepada kami lewat laman facebook.
Sebuah penyataan yang perlu kita renungkan bersama.