Self Awereness untuk para Komenters dan Korban Body Shaming
Memang saya gemuk, tetapi jika terus dikata-katai, jengkel juga. Siapa pula yang pingin tubuhnya kurus, tetapi jikalau terus dikata-katai juga jengkel. Body shaming bergerak terus dalam berbagai hantu gaya hidup, tetapi tidak pernah menyoal tentang eksistensi tentang tubuh itu sendiri. Apa semua serba diguncang oleh aneka perangai bahan ujaran emosional, apalagi di era media sosial, citra tubuh menjadi amat sangat diunggulkan.
Sukma.co–Mungkin kita sudah sering kali mendengar istilah body shaming. Iya, istilah yang bikin para pendengar malas menjawab pertanyaan. Body shaming yang dikenal sebagai mengomentari fisik, penampilan atau citra diri seseorang baik dilakukan oleh orang lain atau kepada diri kita sendiri. Body shaming sendiri ada dua macam. Pertama, fat shaming. Yang mana fat shaming itu komentar negatif kepada orang-orang yang memiliki badan gemuk. Kedua, thin shaming. Yaitu komentar negatif kepada orang-orang yang memiliki badan kurus.
Seringkali, body shaming itu digunakan untuk bahan bercandaan saat bertemu dengan seseorang.
“Kok kamu gendutan ih?”
“Lihat deh, bulet banget pipimu udah kayak bakpo.”
“Kamu kurus banget sih?
Gak makan berapa minggu?”
“Keliatan gak bahagia banget kalo kurus gitu”
Atau “mengomentari soal kulit wajah/tubuh.”
Itulah pertanyaan alih-alih sekedar basa basi busuk. Niatnya sih untuk bahan bercandaan, tapi sudah menjadi beda konteks dari orang yang mendapat pertanyaan. Bukan baper, tapi lebih ke sensitif kalau ngomongin fisik. Dan bahkan bukan hanya perempuan saja korbannya, laki-laki pun bisa bad mood jika menyinggung soal fisik.
Berkomentar dengan dalih bercanda sering kali tidak membuat yang dikomentari ikut merasa senang. Rasa kesal, ingin mukul, ingin balik komentar dan ingin-ingin lainnya terasa sesak di dada. Menjadi orang yang sering dikomentari itu bisa merubah pribadi diri, bisa jadi mereka berubah menjadi pribadi yang kurang percaya diri akan bertemu dengan seseorang.
Bagaimana tidak, sudah puluhan kali mendapat komentar yang sama setiap kali bertemu. Usaha, sudah pasti dilakukan. Yang gemuk sudah pasti berusaha diet mati-matian untuk mendapat ukuran tubuh yang ideal. Begitu juga sebaliknya, yang kurus pun berusaha untuk melahap segala makanan agar terlihat gemuk seperti versi orang-orang katakan. Gemuk salah, kurus salah. Maunya apa toh?
Berbagai komentar yang ada, membuat orang yang dikomentari akan melakukan refleksi diri. Tentu. Mungkin dengan melihat kaca sambil bermonolog,
“Apa iya sih aku gendutan?”
“Apa iya sih begini ini kurus banget?”
“Kulitku kan aslinya emang coklat, aku kan Indonesia asli, gimana dong?”
Dari kegalauan batin itu bisa membuahkan dua hasil. Positif, menjadi semangat dalam diri untuk melakukan perubahan. Atau bisa jadi sebaliknya yang lebih membahayakan diri, negatif. Depresi hingga hilang kontrol diri.
Mencegah agar tidak depresi terkait body shaming, kita perlu meningkatkan self awereness. Dimana self awereness itu merupakan istilah dari kesadaran diri yang mana setiap individu memahami akan dirinya sendiri, bahwa setiap diri kita memiliki kekurangan dan kelebihan.

Bukan hanya orang yang dikomentari saja, orang yang berkomentar pun berkali-kali lipat perlu meningkatkan self awereness dalam dirinya juga. Ada tiga komponen dalam kesadaran diri (self awereness) yaitu self knowledge, world knowledge dan activation of knowledge, menurut Solso, 2008.
Dan bagi yang dikomentari soal body shaming, melihat diri bahwa dalam keadaan gemuk atau kurus tidak menghalangi untuk hidup lebih produktif dengan kelebihan yang kita miliki.
Self knowledge (pengetahuan diri) dimana para komenters dan orang yang dikomentari memahami dirinya sendiri. Sadar bahwa setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Maka sebelum mengomentari orang, lebih baik melihat diri sendiri terlebih dahulu, apakah sudah pantas berbicara sedemikan rupa sedangkan diri ini juga memiliki banyak sekali kekurangan (?). Dan bagi yang dikomentari soal body shaming, melihat diri bahwa dalam keadaan gemuk atau kurus tidak menghalangi untuk hidup lebih produktif dengan kelebihan yang kita miliki.
World knowledge (pengetahuan tentang dunia) dimana pengetahuan soal cantik itu nggak harus kurus dan sehat itu nggak harus gemuk perlu ditekankan dalam pikiran. Cantik tidak melulu soal ukuran begitu pula sehat. Seperti Ashley Graham. Dia merupakan plus size model. Karena kecantikannya membuat dia direkrut oleh salah satu agensi modeling pada saat dia berumur 13 tahun. Dan pada 2015 yang lalu, melalui campaign-nya “swim suit for all” menjadikan dia model plus size pertama yang tampil di majalah sport edisi pakaian renang.
Activation of knowledge (aktivitas pengetahuan) dimana individu menyadari akan tindakan-tindakan orang lain. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan perlu ucapan terimakasih kepada komenters. Dari mereka, kita bisa bersemangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi para komenters pun tidak boleh gengsi mengatakan kata maaf kepada orang-orang yang menjadi korbannya. Karena tidak menutup kemungkinan juga, apa yang sudah keluar dari mulut para komenters sudah banyak menyakiti perasaan si korban.
Self awereness dalam diri perlu ditingkatkan agar individu mampu bertahan hidup yang lebih besar dari lingkungan.
Di zaman sekarang, self awereness dalam diri perlu ditingkatkan agar individu mampu bertahan hidup yang lebih besar dari lingkungan. Mengingat zaman era sekarang kita tidak hanya hidup di dunia nyata, melainkan dunia maya yang tak kalah kejamnya dengan banyak pandangan stereotip yang bermunculan. Maka dari itu, mari sayangi diri dengan sadar akan diri sendiri terlebih dahulu.
Percayalah, pada dasarnya orang yang gemuk, kalau makan sedikit saja badan sudah terlihat mengembang. Begitu juga orang kurus, tidak makan sedikit sudah berasa berat badan berkurang puluhan kilo. Kalau Tuhan sudah memberi tubuh yang sedemikian rupa, kita sebagai umatnya harus mensyukurinya, bukan?