Secangkir Sendu (Part 1)
Ketika bercerita panjang lebar, matanya berkaca-kaca, tiba-tiba saja sahabatku ini berkata “semoga dia menderita.” sembari menatap ponsel yang berisikan foto perempuan itu.
Ku lihat satu per-satu bulir air mata menetes di pipinya. Ah, bagaimana bisa lelaki serapuh itu ketika hatinya terluka. Dari sekian tahun mengenalnya, untuk pertama kalinya aku melihat Rafi menangis di hadapanku.
Aku masih terdiam di hadapannya. Lalu dia tertunduk. Menyeka setiap tetes air mata yang mengalir.
“Sudah, tenangkan hatimu”. Bisikku pelan padanya.
“Harusnya ini tidak perlu terjadi,” Serunya.
Langit-langit cafe menjadi saksi hancurnya hati sahabatku kala itu. Benar saja, lelaki memang tidak mudah menangis, namun jika sudah benar-benar terluka, hatinya berdarah.
Gerimis menambah sendu suasana sore itu. Ditambah lagi semilirnya angin yang merasuk hingga ke ruas-ruas tubuhku.
“Padahal aku sudah menyiapkan semuanya, sudah ku katakan untuk menungguku sebentar lagi,” Tambahnya tiba-tiba.
Aku tak banyak bicara, hanya berusaha mendengar setiap keluh kesahnya.
Hari berangsur petang. Di sudut cafe itu. Bersama secangkir sendu. Rafi, lelaki cerdas yang ku lihat begitu kokoh, pada akhirnya tumbang jua karena cinta. Perempuan yang dicintainya….. (bersambung)