Riset Psikologi Mencoba Menjawab Alasan Mengapa Kita Menyukai Karakter Antagonis
Daftar Isi:
Beberapa Riset dalam Psikologi Mencoba Menjawab Alasan Mengapa Kita Menyukai Karakter Antagonis
Preambul
Apa yang membuat manusia menyukai karakter penjahat atau antagonis dalam sebuah karangan fiksi? Beberapa penjelasan dari riset psikologi memiliki penjelasannya. Sebelum masuk kesana, bayangkan dua film berbeda: film seri John Wick dan Star Wars. Jika diminta untuk menyebutkan masing-masing satu orang yang berperan menjadi villain di dua film tersebut, Anda mungkin akan menyebutkan “High Table” di film John Wick dan Darth Vader di film Star Wars? Tapi, kenapa para “High Table” menjadi villain? Kenapa bukan aktor utamanya, John Wick, yang menjadi villain?
Jika kita lihat lebih jauh pada dua karakter ini, baik John atau Vader mempunyai beberapa kesamaan. Selain mereka “dinas” menggunakan baju serba hitam, mereka juga membunuh banyak orang. Lalu kenapa John Wick tidak menjadi villain? Beberapa film lain seperti agen 007 “James Bond” juga serupa seperti John Wick nasibnya. Walau banyak membunuh orang, ia lebih dikenal sebagai pahlawan dibandingkan seorang penjahat. Mengapa demikian? Apakah karena mereka punya lisensi untuk membunuh? Atau karena “Double O Seven” adalah agen rahasia?
Sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana sebuah karakter dalam film disebut penjahat, kita harus mengerti terlebih dahulu apa definisi dari orang jahat itu sendiri. Seperti banyak riset dalam psikologi lainnya, definisi menjadi hal penting yang digunakan untuk menentukan sebuah tema riset. Beberapa tema dalam psikologi, misalnya, masih belum menemukan titik terang dan definisi yang konsensus. Sebagai contoh, tidak ada definisi yang pasti untuk tema internet addiction. Hal ini menjadikan tema tersebut sangat sulit untuk diteliti.
Begitu juga kasusnya pada “bad guy” atau orang jahat. Tidak ada kriteria konsensus untuk memberi seseorang label baik atau jahat. Pada umumnya, menentukan orang sebagai jahat dapat dilihat dari motivasi, pengalaman masa lalu, dan konsekuensi. Beberapa sepakat bahwa orang jahat merupakan mereka yang melanggar atau mengacukan aturan yang ada di masyarakat. Namun kesepakatan dalam “pelanggaran norma” ini pun tak luput dari masalah. Dalam La Casa De Papel misalnya, fans akan tetap terpukau pada kelompok perampok bank dan bukan pada polisi yang mencoba menghentikan aksi mereka (saya sendiri sangat terpikat dengan aksi Berlin). Padahal, dalam skenario lain, para polisi mungkin saja adalah orang baik atau pahlawan seperti Luke Skywalker.
Baca Juga: Membudayakan Meneliti dan Menerjemahkan Intuisi Sukses secara Rasional
Bagi banyak orang, baik John Wick, Berlin dan anggotanya, bukanlah seorang penjahat. Walau darah mengalir deras sebagai hasil dari tembakan John, ia tetap dianggap sebagai pahlawan. Pertanyaannya adalah, dari mana kita bisa mengambil kesimpulan demikian? Apakah tidak masalah melanggar norma masyarakat, seperti merampok bank, untuk tujuan resistensi dan menolak sistem kapitalis? Apakah tidak apa membunuh orang jika mereka membunuh anjing peliharaan dan mencuri Ford Mustang tahun 1969 milik kita?
Richard Keen, Monica L. McCoy, dan Elizabeth Powell dalam “Rooting for the Bad Guy: Psychological Perspectives” menjelaskan bahwa konstruk “orang jahat” sangatlah kompleks dan multi-dimensi. Pada satu dimensi, karakter antagonis mungkin adalah memiliki persona “bad guy” yang merusak norma sosial tanpa alasan yang jelas, sedangkan yang lain (seperti tim rampok Money Heist) mencoba merusak tatanan sosial karena aturan yang tidak adil. Richard Keen dan lainnya menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadikan kita mentolerir aksi dari karakter antagonis atau bahkan kita sampai menjagokan mereka. Kita akan membahas hal ini dengan berbagai contoh film popular.
Fundamental Attribution Error (FAE) dan Dampak Seringnya Terpapar Menjadikan Kita Menyukai Karakter Antagonis
Istilah FAE terdapat dalam pembahasan psikologi sosial yang berarti sebuah kecenderungan untuk menghubungkan perilaku orang lain dengan karakteristik internal mereka yang bertentangan dengan situasi saat itu. Gampangnya seperti ini: Pada film seri Spider-Man 1 dan 2, kita membenci sosok yang membunuh Ben Parker. Seketika kita berpikir, “Orang ini [yang membunuh Ben] adalah orang jahat”. Kita menyimpulkan demikian karena hanya melihat sedikit cuplikan dari Flint Marko yang menembak Ben. Tidak semua dari kita dibekali kemampuan untuk menduga, “apa yang melatar belakangi aksi Flint?”. Kita pun akhirnya meletakkan atribut jahat pada Flint. Pada Spider-Man 1 dan 2, kita tidak punya cukup informasi untuk memberikan label yang pas pada Flint selain orang jahat.
Bukan hanya Anda yang menganggap Flint sebagai orang jahat ketika menonton Spider-Man 1 dan 2. Peter Parker, sekaligus Spider-Man, ingin sekali menangkap dan menghakimi pembunuh Uncle Ben tersebut. Dengan demikian, dan berdasarkan contoh ini, orang akan cenderung melihat tokoh yang berperilaku buruk dalam sebuah film, adalah orang yang jahat. Dan karena alasan itu, karakter ini seharusnya tidak menarik perhatian berlebih.
Namun, menurut Richard, bukan begitu sebuah skenario film biasanya dimainkan. Saat Spider-Man 3 tayang, kita mengetahui alasan kenapa Flint Marko menembak Ben. Peristiwa tersebut merupakan ketidaksengajaan. Lebih lanjut, kita juga mengetahui alasan Flint merampok. Dan sama seperti Spider-Man, kita memaafkan pria yang akhirnya berubah menjadi Sandman tersebut.
Coba tengok dulu video ini barangkali Anda lupa adegan ketika Flint Marko mengaku bersalah dan tak punya pilihan pada saat membunuh Ben Parker.
Hal ini menjelaskan bahwa jenis atribusi yang kita buat untuk orang lain dipengaruhi oleh seberapa banyak kita memiliki informasi tentang karakter. Itulah mengapa kita sangat mentolerir aksi perampokan bank tim “Money Heist”, headshot John Wick, dan juga kekacauan yang ditimbulkan Joker di film terbarunya. Karena kita mendapatkan banyak sekali informasi untuk memahami kenapa mereka melakukan itu sehingga kita tidak menghakimi, “wah orang ini jahat”. Bandingkan tokoh tersebut dengan kasus Flint di atas. Tentu berbeda. Flint hanyalah orang asing yang menembak Ben dan tidak mendapatkan banyak porsi untuk berbicara. Hal ini tentu terkait pada dampak dari seringnya pemaparan.
Faktanya, menurut Richard dan lainnya, “hampir semua penelitian tentang kesalahan atribusi fundamental [FAE] berfokus pada bagaimana seseorang membuat atribusi tentang orang asing. Jika orang asing misterius muncul entah dari mana dan menyerang karakter yang kita kenal dan cintai, kemungkinan kita akan membuat kesalahan atribusi dasar [FAE]. Kita akan menganggap bahwa ia adalah orang jahat”. Mereka juga mengatakan bahwa berubahnya cara kita menilai seseorang karena mengetahui situasi yang melatarbelakangi perilakunya bukanlah hal baru. Beberapa penemuan psikologi tentang hal ini sudah sangat umum dibahas.
Baca Juga: Kiat Menjadi Peneliti Idaman, Workshop Istimewa dari Profesor UNHAS
Gagasan bahwa persepsi kita tentang orang lain berubah ketika mengetahui keadaan mereka terkait erat dengan konsep identifikasi. Jika seseorang berempati dan menempatkan diri kita pada posisi Darth Vader misalnya, kita akan berbagi perspektifnya dan mengidentifikasi dengan Anakin. Elemen lain yang juga penting dalam menentukan FAE adalah terkait durasi. Riset menunjukkan bahwa ketika orang membuat kesalahan atribusi dasar setelah sebuah peristiwa, kesalahan tersebut akan berkurang ketika ditanyai tentang peristiwa itu beberapa hari atau bulan kemudian.
Seperti yang telah kita bahas, porsi pemaparan juga menjadi penting (pahami lagi kasus Flint). Lebih mudahnya, semakin sering kita terpapar pada sesuatu, semakin kita akan menyukainya (mungkin ini juga yang mendasari peribahasa witing tresno jalaran saka kulina). Sebuah riset menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat dan potifi antara seberapa sering huruf muncul dalam Bahasa Inggris dengan seberapa suka para penutur Bahasa Inggris pada kata tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa, walau tak terhitung banyaknya John Wick menembak kepala orang, kita menyukainya. Sesederhana karena John Wick mempunyai porsi tayang lebih banyak.
Secara Diam-diam, Kita Menyukai Antagonis Karena Mereka Mencerminkan Siapa Kita
Alasan lain yang menjadikan kita suka pada tokoh antagonis adalah karena mereka karakter fiksi. Mengapa demikian? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rebecca J. Krause dan Derek D. Rucker mencoba menjelaskan hal ini. Studi yang mereka lakukan menggunakan data yang diambil dari CharacTour, sebuah aplikasi yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan tes kepribadian dan mencocokkannya dengan karakter fiksi yang paling mirip dengan mereka. Sebanyak 232.000 orang terdaftar dalam CharacTour dan 1.685 turut serta mengikuti eksperimen.
Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa partisipan cenderung menyukai tokoh yang mirip atau yang menyerupai mereka, baik itu protagonis atau antagonis. “Studi ini menunjukkan bahwa apa yang membuat karakter seperti Darth Vader berpotensi menarik bagi orang-orang bukanlah bahwa mereka adalah kebalikan dari siapa kita, tetapi bahwa mereka sebenarnya mungkin mencerminkan bagian dari siapa kita,” kata Krause pada Forbes.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa karena karakter seperti Darth Vader atau Joker adalah fiksi, menjadi aman untuk menyukai mereka walaupun sebenarnya para partisipan studi punya keserupaan dengan tokoh yang mereka pilih.
Manusia memiliki kecenderungan untuk terlihat sebagai orang yang baik. Kita akan mencoba menjauhi apapun yang membuat konsep diri terlihat buruk di mata orang lain. Konsekuensinya, kita menekan sifat buruk dan mengurungnya. Padahal jika mengacu beberapa teori psikoanalisa dan evolusionis, kita terlahir sebagai “orang jahat”. Hal-hal dalam masyarakatlah yang menekan keinginan untuk mewujudkannya.
Namun, fiksi memberikan jalan keluar. Ketika kita menyukai Darth Vader misalnya, kita merasa aman karena itu hanyalah fiksi. “Menariknya, karya ini menunjukkan bahwa pemirsa kehidupan nyata — dilindungi oleh tabir fiksi — mungkin tertarik pada penjahat ketika mereka mencerminkan aspek diri mereka sendiri” ucap Krause, penulis utama dalam makalah penelitian yang diberi judul “Can Bad Be Good? The Attraction of a Darker Self” pada Alison Escalante di laman Forbes. Intinya, ketika hal mengancam terkait konsep diri mereka dikurangi (dalam hal ini menggunakan fiksi), orang bisa tertarik pada karakter villain.
Paradoks
Jika kita membawa permasalahan ini lebih jauh, kita akan menemukan sebuah paradoks yang tampak jelas. Di satu sisi, untuk mengenali seorang penjahat lebih baik misalnya, kita butuh untuk bergaul dengan mereka lebih sering dan mendapatkan informasi lebih banyak. Namun di sisi lain, apakah hal ini benar untuk dilakukan? Maksudnya, apakah kita harus memahami dan mentolerir aksi terorisme, misalnya, dengan memahami dan bergaul lebih banyak bersama mereka?
Menjawab pertanyaan di atas termasuk gampang-gampang sulit. Hal ini terkait lagi dengan ambiguitas definisi atau pengoperasian istilah penjahat yang multi-dimensi. Maka, mungkin jawaban sebagai alternatif adalah kembali dengan melihat konteks orangnya.
Di satu sisi, adalah benar bahwa untuk mendapatkan gambaran penuh dari sebuah perilaku yang muncul, kita harus mengamati orangnya. Namun yang berbeda adalah langkah selanjutnya. Alih-alih mentolerir seseorang melakukan tindak teroris misalnya, kita mungkin bisa berperan untuk mendorong mereka memahami perspektif korbannya. Dengan saling memahami dan terus terpapar dua atau banyak lagi perspektif yang berbeda, mungkin saja pelaku teroris akan memahami bahwa apa yang dilakukannya (menebarkan aksi teror) bukanlah aksi heroisme sama sekali.
Walau contoh kita tentang terorisme sendiri masih belum memiliki, lagi dan lagi, karakteristik yang konsensus, mentolerir aksi yang menyerang kemanusiaan dengan kekerasan bukanlah cara yang layak untuk diperhitungkan.
Apa yang setidaknya dapat kita pelajari dari dua penjelasan ini untuk diterapkan di dunia nyata
Dunia fiksi memang sebagian besar terdiri dari hitam dan putih, baik dan jahat. Karakter, baik protagonis maupun antagonis, telah disusun sedemikian rupa untuk dibenci atau disayangi. Skenario telah disusun sebelumnya untuk membuat sebuah alur cerita menguntungkan pahlawan atau villain, tergantung jenis film yang dibuat. Walau kadang kita menemukan beberapa kasus karakter yang berada pada garis abu-abu (anti-hero), mereka juga nyata masih membawa pesan moral layaknya pahlawan atau tokoh protagonis. Namun bagaimana di dunia nyata? Apakah kita cukup memiliki kemampuan untuk memberi label seseorang jahat atau baik?
Banyak orang yang bilang bahwa fenomena yang terjadi di dunia nyata memang tampak lebih berwarna dibandingkan dunia fiksi. Saya cenderung setuju dengan argumen itu. Dan dari penjelasan teori dari penelitian psikologi di atas, kita mungkin bisa mengambil beberapa pelajaran untuk diterapkan di dunia nyata. Terutama hari ini, banyak sekali peristiwa yang menyangkut tentang baik dan buruknya seseorang.
Ketika memulai untuk bergaul, cobalah pahami seseorang dari konteks atau pahami bagaimana situasi, lingkungan, dan keadaan membentuk dirinya. Hal ini bisa jadi membantu kita untuk lebih sedikit menghakimi orang yang tidak kita kenal. Dan seperti yang telah dijelaskan di atas, ketika kita memiliki informasi yang lebih banyak tentang seseorang, kita mungkin bisa mengeliminasi perspektif yang buruk. Hal ini mungkin juga dapat menjadi pencegahan untuk diri kita melakukan perilaku rasis.
Selain itu, memberikan porsi yang cukup banyak untuk bergaul juga akan mengurangi cara pandang kita pada seseorang. Seringnya terpapar pada seseorang yang kita anggap aneh, akan mengurangi kesan aneh itu sendiri. Dengan memahami seseorang lebih dalam dan memberikan porsi waktu untuk bergaul dengan mereka, prasangka buruk pun bisa ditekan
Inilah alasan mengapa seseorang setidaknya memiliki teman akrab. Dengan seringnya terpapar dan menyelesaikan masalah bersama, dua orang yang berbeda, seiring berjalannya waktu akan menjadi sahabat. Walau mungkin di awal akan terdapat sedikit masalah atau konflik, hal ini bisa diselesaikan dengan menyamakan tujuan (atau sekedar hobi) dari mereka. Riset psikologi juga menjelaskan ini.
Anda (kita semua) memiliki orang yang kita takuti untuk dijadikan teman. Entah hal itu karena alasan perbedaan warna kulit, ras, agama, kepercayaan, adat, budaya atau lain hal yang berpotensi memisahkan.
The Fellowship of The Rings mengajarkan kita bahwa dengan satu tujuan bersama (menghancurkan Great Eye Sauron), berbagai jenis ras (Manusia, Elf, Dwarf, dan Hobbit) bisa membawa perdamaian. The Battle of Winterfell, peperangan antara A Knight of Seven Kingdom dengan Night King dan Pasukannya, juga mengajarkan kita bahwa berbagai ras (Dothraki, Unsullied) dan berbagai macam famili (Stark, Targaryen, Baratheon, Bolton, dan bahkan Lannister) bisa bersatu untuk mencapai tujuan bersama.
Sebagai penutup, kita mungkin masih takut bergaul dengan seseorang yang kita anggap sebagai orang jahat. Namun, ingat kata Master Yoda, “Fear is the path to the dark side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering”.
Hallo! Ini merupakan artikel pertama saya di Sukma. Tinggalkan komentar jika Anda memiliki ide lain terkait gagasan atas tulisan yang saya angkat. Jika ingin berinteraksi lebih lanjut, temui saya di Twitter. Selain di sini, saya juga menulis beberapa artikel di laman web lain yang meliput tentang sains (beberapa bulan belakangan saya membahas COVID-19) di Kumparan dan psikologi di Medium.