Cerpen Imajinasi

Ralph, Ingatan yang Tak Pernah Layu

April 24, 2019

author:

Ralph, Ingatan yang Tak Pernah Layu


Henry Pether (Active London 1828-1865) – View of the Thames at Lambeth Palace, by Moonlight.

“Elizha, kamu tahu. Di dunia ini, ingatan yang tak pernah layu adalah kenangan. Ia tak akan menua dan lenyap sekalipun telah kita kubur bertahun-tahun lamanya.”

Suatu hari ia mengatakannya saat kami berjalan bersama di jalan kecil samping gedung fakultas setelah pulang diskusi. Saya tersenyum, tidak menjawab. Hari ini. Setelah bertahun-tahun berlalu, setelah kami menjadi kenangan yang berdebu, saya mulai memahami perkataannya. Kamu benar, Ralph. Kenangan tak akan pernah menua, begitupun perasaan-perasaan di dalamnya.

Suami dan anak-anak saya sudah tertidur lelap. Sedang saya tidak bisa menghentikan pikiran-pikiran saya sendiri. Saya merapikan buku-buku perpustakaan kecil yang ada di rumah, dan berhenti pada satu buku bersampul langit malam bersama gambar bintang-bintang berwarna emas yang sudah usang karena terlalu lama berdiam di bagian pojok rak. Itu adalah buku komunitas kecil kami. Ia memberikannya secara cuma-cuma. Dan di sanalah tulisan kami saling bertemu. Saya membacanya kembali, halaman demi halaman. Saya termenung di meja baca. Diam begitu lama dengan wajah saya tundukkan. Sesekali saya melihat langit-langit rumah yang tampak gading.

“Tersakiti dan memaafkan
adalah bagian dari cinta.”

Saya terhenti membaca salah satu puisinya. Kata orang, cinta yang tulus adalah cinta yang memaafkan. Benarkah?

Saat membuka sebuah kotak yang bertahun-tahun rekat dengan isolasi di setiap sudutnya, saya menemukan banyak kenangan di sana. Semua hal yang pernah saya lupakan dan menua di dalam kotak yang tak cukup besar. Saya membiarkannya tetap di tempat yang gelap, di dalam lemari bagian bawah, di samping rak buku.

Dulu sekali, sebelum saya merasa ada yang berbeda dari sikapnya. Dan untuk pertama kalinya saya begitu tersakiti karena pengabaian seseorang.

Kamu tahu, yang membunuh perasaan itu bukanlah jarak, tapi pengabaian. Saya membencinya bukan karena perempuan yang bersamanya saat itu, tapi ia seperti sengaja melakukannya dan menjadi begitu menyebalkan.

Saya mengerti perasaan manusia selalu bergerak dan berubah. Bulan-bulan itu berisi hari-hari yang berat bagi saya. Ralph sudah bekerja di kota lain yang jauh, sedang saya masih semester enam. Jarak itu tak pernah merubah apapun. Tidak juga perasaan saya padanya.

Saya tidak masalah dengan jarak, tidak juga dengan pertemuan. Sehingga saya merasa segala sesuatu antara saya dan Ralph adalah baik-baik saja.

Pada kurun waktu sesudahnya, saya merasa Ralph sedang berusaha melarikan diri dari perasaannya. Perasaannya berubah, dan ia takut menyakiti saya dengan kejujurannya. Pada satu titik saya merasa perasaan Ralph menua dan hampir mati. Sedangkan saya tidak berubah. Ralph sering sekali mengabaikan saya. Saat saya menghubunginya, ia bilang sedang banyak tugas dan ia harus tidur karena besok harus ke kantor pagi-pagi. Hingga berhari-hari dan berbulan-bulan Ralph tidak menghubungi saya. Ada banyak hal yang ingin saya katakan padanya, tapi pada akhirnya hanya tertahan di ujung telepon.

Dan suatu hari. Saat saya telah lulus dan bekerja tidak jauh dari kota Ralph. Ketika usia saya dua puluh empat tahun. Sedang ia dua puluh tujuh tahun. Kami bertemu lagi. Saling tersenyum, dan duduk di meja yang sama di sebuah kedai kopi. Kedai yang menyediakan beragam jenis kopi. Nikmat dan harumnya bertebaran dari segala penjuru. Malam itu, kami lebih banyak diam. Entah ia dan saya, tidak ada yang ingin kami bicarakan. Entah ia dan saya, lebih memilih untuk sunyi.

Pertemuan kedua. Masih begitu sunyi. Pertemuan ketiga. Tak ada kata-kata.

Hingga pertemuan keempat. Hari itu, saya menunggunya di kafe sederhana yang di bawahnya mengalir sebuah sungai kecil. Saya menunggunya sembari mendengarkan suara gemercik air sungai yang saling berbenturan dengan bebatuan. Ia datang lima belas menit kemudian. Ia tersenyum, dan bergegas ke meja di mana saya sedang duduk menikmati minuman yang saya pesan.

“Kamu sudah lama? Maaf, saya terlambat,” katanya.

“Lima belas menit,” jawab saya.

Ia membawa kotak yang ia letakkan di bawah meja. Kemudian ia memberikan kotak itu kepada saya. Saya masih mengingat benda-benda yang ada di dalamnya, karena saya lah yang dahulu memberikannya.

Saya mengambil sebuah lukisan kecil dalam bingkai segiempat berwarna hitam pekat. Saya termenung beberapa menit, memandangi lukisan itu. Itu adalah lukisan potret kami saat sedang mengunjungi suatu media cetak bersama teman-teman komunitas. Saya yang membuat dengan aplikasi Corel untuknya, dan memberikannya saat ia wisuda. Hingga kini, semuanya seperti masih tampak sama, hanya saja senyuman kami yang mungkin sudah berubah. Lalu untuk satu-dua butir air mata jatuh. Saya mengusapnya dengan punggung tangan saya.

“Kenangan tidak pernah menua, Elizha, tidak juga kita,” katanya sambil memandang ke arah yang lain.

“Kamu benar,” jawab saya datar.

“Saya minta maaf,” katanya lirih. Sangat lirih.

Saya diam dan lebih diam dari biasanya.

“Waktu itu, saya hanya ingin sendiri dan sedang tidak ingin diganggu siapa-siapa. Perempuan itu juga bukan siapa-siapa saya, Elizha. Saya tidak pernah mencintai perempuan lain. Dan kamu membenci saya karena itu,” lanjutnya.

“Bukan itu. Bukan karena perempuan itu.”

“Lalu? Saya tidak mengerti.”

“Kamu harus memikirkannya baik-baik.”

Ia terdiam. Seperti sedang memutar memorinya ke masa lalu.

Dan Ralph menghapus butiran air hangat yang meleleh di pipinya. Ada suatu ingatan yang tiba-tiba berdenyut sehingga membuatnya demikian.

“Ralph, tersakiti dan memaafkan adalah bagian dari cinta. Itu kalimat yang pernah kamu tulis di buku kenangan kita. Saat kamu menghilang dari saya dan tanpa memberi kabar sama sekali, saat saya sendiri setelahnya, ada begitu banyak luka di dalam diri saya,” kata saya.

“Kamu benar, Elizha. Saat itu saya tidak tahu jika jarak membuat saya begitu ragu. Kamu benar, perasaan saya saat itu berubah. Awalnya saya pikir hubungan kita istimewa, kita bahkan bisa bertahan di tahun kedua. Baik kamu dan saya tak pernah mengutarakan apa-apa, seakan semuanya berjalan baik, namun kita seperti lebih sering curiga satu sama lain dan menahan kekecewaan kita sendiri-sendiri.”

Saya diam.

“Saya dengar kamu akan menikah dengan Bill?”

Saya mengangguk pelan.

“Saya yang seharusnya minta maaf, Ralph.” Ia menatap saya seperti tak percaya pada apa yang baru saja saya katakan.

“Sudah jam delapan malam, Ralph. Saya harus pergi.”

Saya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas saya dan memberikannya kepada Ralph. Saya lihat tangannya sedikit bergetar saat menerima undangan itu, tapi wajahnya tetap tegar.

Ralph, buku, lukisan, benda-benda yang ada di dalam kotak, dan juga ingatan-ingatan yang tak pernah layu itu membawa saya ke dalam malam yang semakin tua. Saya bergegas merapikan semua benda-benda itu, hingga ruangan perpustakaan rumah itu tampak apik dan kemudian tidur untuk mengistirahatkan pikiran-pikiran saya. ~

April, 2019.
Mukhammad Fahmi.


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!