Psikologi Sosial Toleransi

Radikalisme: Ideologi yang Tak Akan Pernah Mati

November 6, 2019

author:

Radikalisme: Ideologi yang Tak Akan Pernah Mati


Sukma.co, – Adanya 10 PTN (Perguruan Tinggi Negeri) yang terpapar paham radikalisme menjadikan kita semakin mawas diri untuk lebih berhati-hati dalam mencerna sebuah informasi. Fenomena ini membuat Dosen Rumpun Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UIN Malang bekerja sama dengan Pusat Studi Budaya LP2M dan Program Pasca Sarjana untuk mengkaji lebih dalam perihal radikalisme. Kamis (31/10) telah diselenggarakan seminar nasional dengan tema “Menakar Radikalisme dan Menawar Solusi melalui Perspektif Psikologi Positif” di Auditorium Lantai 4 Gedung B Pasca Sarjana UIN Malang. Acara ini terbuka untuk umum dan telah dihadiri oleh kurang lebih 200 peserta dari berbagai kalangan.

Narasumber yang dihadirkan tidak kalah menarik dengan tema yang diusung. Mulai dari mantan narapidana terorisme (Ustadz Abu Fida, Lc.), guru besar psikologi klinis makro (Prof. Johana Endang Prawitasari, Ph.D.), serta guru besar ilmu studi Islam (Prof. Umi Sumbulah, M.Ag.). Para peserta begitu antusias ketika para narasumber memaparkan materi. Radikalisme memang menjadi topik yang tidak kalah hangat dengan isu-isu yang lain. Apalagi ketika sudah masuk ke dalam ranah pendidikan, yakni pada sepuluh universitas yang ada di Indonesia. Mahasiswa yang berada pada masa pencarian jati diri tentunya tidak sulit untuk menerima ideologi ataupun logika berpikir dari orang-orang radikal.

Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Prof. Umi Sumbulah, “ideologi karakteristiknya tidak akan pernah mati, kapanpun jika ada kesempatan pasti akan hidup kembali. Wajah-wajah seperti itu mungkin akan muncul kembali dengan nama yang berbeda”. Benar saja, paham radikalisme bukanlah sampah yang mudah menyatu dengan tanah, melainkan sampah yang bisa didaur ulang dengan produk yang berbeda. Namun, jika asal muasalnya adalah sampah, tetap saja bukan itu hanya sebuah sampah?

Lebih lanjut lagi, Prof. Johana menambahkan bahwa yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menyesuaikan apa saja yang kita hadapi, sesuai dengan tuntutan yang ada, sehingga kita bisa ‘luwes’ (tidak kaku) dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Menjadi pribadi yang tidak saklek (kaku) tentunya bukan hal yang mudah bagi individu yang telah terkontaminasi hal-hal berbau radikalisme. Bisa jadi, kekakuannya sendiri lah yang mengakibatkan sulitnya kebenaran yang hendak masuk untuk menjernihkan dan memulihkan kembali pemikiran-pemikirannya tersebut.

Sederhananya, apa yang kita baca akan mengkristal menjadi sebuah pemikiran. Dari sini kita bisa belajar pentingnya untuk memilah dan memilih apa yang layak dan tidak untuk menjadi konsumsi otak kita. Bagaimana tidak, Ustadz Abu Fida secara tidak langsung mengajarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam menerima segala informasi yang masuk dalam pikiran kita. Ditambah lagi, sekarang marak berita hoax yang belum teruji kebenarannya. Sebagai hamba yang senantiasa memohon petunjuk-Nya, sudah menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk saling mengingatkan antar sesama. Seperti kalimat yang disampaikan oleh Malala Yousafzai, “Dengan senjata kamu membunuh teroris, tapi dengan pendidikan, kamu membunuh terorisme”.


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!