Perpustakaan Anak Bangsa: Langkah Sejuta Suluh dari Eko Cahyono
Sukma.co – Jalan hidup memang tak ada yang pernah bisa menerka. Tak terkecuali bagi Eko Cahyono, pemuda asal Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Lelaki yang akrab disapa Eko ini hanya sempat mengenyam pendidikan hingga bangku SMA, kemudian menyambung hidup dengan bekerja sebagai buruh pabrik di sebuah perusahaan konveksi di Malang. Sayangnya, pada akhir tahun 90-an Eko harus menelan pil pahit karena namanya masuk dalam daftar pekerja yang menerima surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Tidak seperti pekerja lainnya yang menyalahkan keadaan dan berputus asa, Eko justru memilih bangkit dari keterpurukan yang menimpanya. Pria kelahiran 28 Maret 1980 ini lantas membuka lembaran baru dalam hidupnya untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna bagi dirinya sendiri, dan bagi masyarakat kampung di Desa Sukopuro, tempatnya tinggal. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini memutuskan mendirikan perpustakaan. Ide tersebut muncul setelah ia melihat banyaknya tumpukan koran, dan majalah bekas di rumahnya. Koleksi bacaan yang dikumpulkannya sejak duduk di bangku sekolah tersebut dinilai masih layak untuk dibaca. Disamping itu, Eko juga mengakui bahwa dirinya butuh kesibukan baru, sehingga ide mengelola perpustakaan dirasa tepat menjadi pelarian yang menyenangkan, sekaligus untuk mengasah produktvitas dirinya setelah diberhentikan dari pekerjaannya.
Eko kemudian menyulap rumahnya yang sederhana menjadi perpustakaan. Guna menarik minat warga kampung, Eko juga menyediakan alat-alat permainan. Ternyata usahanya berhasil, setiap hari rumahnya pun dibanjiri warga yang berkunjung untuk bermain dan membaca. Oleh Supeno dan Ponisan, orang tua Eko, kehadiran orang-orang yang datang ke rumah untuk menghabiskan waktu di perpustakaan ternyata dianggap menganggu privasi mereka. Eko kemudian memutuskan pindah-mengontrak rumah sendiri yang berlokasi tak jauh dari rumah orang tuanya.
Suasana Ruang Perpustakaan Anak Bangsa Milik Eko Cahyono yang Senantiasa Kebanjiran Tamu. Sumber: https://m.merdeka.com.
Alhasil, sekitar tiga puluh menit dari pusat kota Malang, tepat di kaki Gunung Semeru di Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, sebuah bangunan sederhana menjadi tempat favorit bagi anak-anak untuk menghabiskan waktu luang mereka. Bangunan sederhana itu merupakan perpustakaan rintisan pribadi yang diperuntukkan pada publik. Perpustakaan tersebut memang nampak sederhana, tapi sejatinya menyimpan harta yang begitu bernilai. Aneka ragam buku memenuhi rak-rak yang ditempatkan di sekeliling dinding, mengitari ruangan. Buku-buku itu merupakan saksi bisu dari perjuangan Eko Cahyono. Pejuang literasi asal Malang itu telah mengetuk hampir 2.000 pintu rumah guna menemukan donatur buku demi perpustakaan yang diasuhnya itu. Hari ini keadaan telah berbalik. Untuk menambah koleksi buku di perpustakaannya Eko sudah tidak perlu lagi berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya sebab sudah ada donatur yang setia mengiriminya buku.
Peran Eko sebagai pustakawan menjadi menarik sebab seluruh keperluan perpustakaan dibiayai dari kocek pribadinya. Hal ini termasuk untuk biaya sewa rumah, dan keperluan operasional perpustakaan. Padahal, Eko saat itu hanya mengandalkan upah dari kerja serabutan untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Selain itu, dirinya juga membuka toko kecil-kecilan di dekat tempat tinggalnya. Berangkat dari keterbatasan, melalui perpustakaan kecil yang dinamai “Perpustakaan Anak Bangsa”, Eko Cahyono bersikeras menjaga nyala mimpinya agar tak padam. Mimpi itu tak lain ialah memperkaya pengetahuan dan menyebarkan virus-virus gemar membaca terhadap masyarakat kampung di Desa Sukopuro.
Berkat kerja keras bertahun-tahun, dan semangat tak kenal lelah dalam mengasuh Perpustakaan Anak Bangsa, Eko akhirnya menuai hasil membahagiakan. Melalui Yayasan Kick Andy dan PT. Amerta Indah Otsuka, Eko menerima bantuan untuk mendirikan bangunan permanen. Berkat itu Eko tidak perlu mengontrak rumah lagi. Bantuan ini didapatkan lantaran perpustakaan Eko berhasil meraih juara dua pada kompetisi Kick Andy Heroes. Dirinya lalu diundang menjadi bintang tamu di acara tersebut. Setelah itu, Perpustakaan Anak Bangsa mendapatkan publisitas yang luar biasa.
Penasaran dengan sosok Eko dan rupa dari Perpustakaan Anak Bangsa yang telah diasuhnya selama dua dekade ini? Yuk, segera tonton video eksklusif wawancara redaksi Sukma.co dengan sang suluh literasi dari Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung.
Upaya Eko dalam mengembangkan Perpustakaan Anak Bangsa telah mengantarkan dirinya menyabet banyak penghargaan, diantaranya ialah Piala Nugra Jasadharma Pustaloka 2010 dari Perpusnas RI Jakarta, kemudian penerima Mutiara Bangsa Bidang Pendidikan, Taman Bacaan Kreatif dan Rekreatif Se-Indonesia dari Dirjen Pendidikan Nonformal & Informal Kemendiknas pada 2011. Tak hanya sampai disitu, di tahun 2012, Eko bahkan terpilih terpilih menjadi salah satu pemuda peraih Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards dari Astra. Melalui capaian itu Perpustakaan Anak Bangsa mendapatkan bantuan operasional senilai Rp 55 juta dan ditambah Rp 10 juta sebagai penerima apresiasi favorit pilihan masyarakat.
Kini, perpustakaan yang dirintis sejak tahun 1998 ini telah dilirik banyak pembaca. Tidak hanya sebatas warga kampung saja, anggota perpustakaan ada yang berasal dari Jakarta bahkan Kalimantan. Total anggota perpusatakaan tercatat telah mencapai lebih 10 ribu orang. Dari prosentase yang fantastis itu ditemukan cukup banyak mahasiswa dari kota Malang yang aktif meminjam buku di perpusatakaan ini.
Kepopuleran Perpustakaan Anak Bangsa di kalangan Mahasiswa dan pecinta literasi di Malang bukan tanpa alasan. Pasalnya, Perpustakaan Anak Bangsa kini tercatat memiliki lebih dari 50 ribu koleksi buku yang hampir seluruhnya didapat melalui sumbangan. Selain itu, pengunjung perpustakaan ini akan menemui pengalaman membaca dan meminjam yang jauh berbeda dengan perpustakaan lain pada umumnya. Hal ini karena Eko menerapkan sistem yang dilandasi rasa saling percaya, dan memilih untuk menghapuskan tata aturan yang dinilai membatasi dan membebani masyarakat untuk dapat gemar membaca.
Pembaca di Perpustakaan Anak Bangsa tidak perlu merogoh kocek untuk mendaftar menjadi anggota perpustakaan. Syarat menjadi anggota perpustakaan amat sederhana, yakni pembaca minimal harus meminjam 5 eksemplar buku. Kemudian, pembaca diberikan kebebasan untuk menentukan batasan waktu pinjaman dan jumlah buku pinjaman. Menariknya lagi, Eko seringkali tidak mengawasi praktik peminjaman buku yang terjadi di perpustakaannya. Pembaca secara mandiri mencatat buku-buku yang mereka pinjam pada buku catatan yang sudah disediakan. Eko sama sekali tidak takut bukunya hilang. Ia percaya meskipun bukunya tak urung dikembalikan, diluar sana buku itu pasti tetap dibaca orang lain. Maka tak heran bila ruang perpustakaannya ini dinilai menjadi surga tersembunyi bagi para pecinta literasi untuk bercumbu dengan beragam bahan bacaan sembari saling bertukar ide dengan pembaca lainnya.
Perpustakaan Anak Bangsa tak sekedar berfungsi sebagai tempat meminjam buku, namun telah berhasil membangun ekosistem berliterasi bagi masyarakat di Malang. Sesuai namanya, perpustakaan ini adalah milik semua orang. Para pembacanya adalah anak-anak bangsa dari berbagai latar belakang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, maupun politik. Perpustakaan Anak Bangsa juga sering mengadakan kegiatan lomba seperti mewarnai, lomba cerdas cermat, dan baca puisi. Bagi saya, hal yang paling menyenangkan saat berkunjung ke perpustakaan ini adalah ketika saya menjumpai anak-anak yang tengah serius belajar, diskusi buku, atau asyik terhanyut dengan buku bacaan di tangan mereka.
Eko pun berangan kelak perpustakaannya tidak hanya memompa kecintaan masyarakat terhadap aktivitas membaca, namun bisa menjadi sebuah lembaga resmi untuk program Kejar Paket B dan C bagi anak-anak yang putus sekolah.
Interviewer: Marissa
Editor: Miftah Faridl