Na Willa: Suguhan Reda Gaudiamo untuk Orang Tua di Indonesia
Sukma.co – Penikmat puisi karya para pujangga legendaris Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono, Toto Sudarto Bachtiar, dan Goenawan Mohamad tentu sudah tidak asing lagi dengan sosok Reda Gaudiamo, atau yang lebih akrab disapa Reda. Pasalnya, sudah lebih dari tiga dekade Reda dan rekan duetnya, Alm. Ari Malibu melagukan puisi sebagai alternatif untuk menikmati dan menyampaikan karya sastra tersebut kepada publik.
Duet Reda bersama Alm. Ari Malibu dalam menyanyikan lagu-lagu berdasarkan sajak-sajak sudah berlangsung sejak tahun 1987 silam. Duet keduanya lantas dikenal meluas oleh publik dengan nama ‘AriReda’. Belakangan, wanita lulusan Sastra Perancis Universitas Indonesia ini juga mulai dikenal sebagai penulis buku anak lewat karyanya yang berjudul Na Willa.
Saya berkesempatan berjumpa dengan Reda Gaudiamo ketika mengikuti sebuah acara literasi di kota tempat saya tinggal. Reda saat itu bertanggung jawab sebagai narasumber dalam sebuah event workshop bertajuk “Writing Children’s Literature” di Fort Rotterdam, Makassar. Workshop ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam program “Makassar International Writers Festival (MIWF) 2019”. Perjumpaan dengan Reda berlangsung hangat dan menyenangkan. Saya seperti tidak sedang mengikuti sebuah workshop kepenulisan. Saya justru merasa lebih seperti ‘sedang mengobrol’ dengan sosok teman lama yang baru saya jumpai lagi.

Pagi itu, kepada saya dan seluruh peserta workshop menulis, Reda bercerita mengenai kedekatannya dengan dunia literasi, kiprahnya sebagai penulis cerita anak, inspirasinya menulis, ilmu kepenulisan, serta pengalaman berharga yang ia dapat saat mewakili Indonesia dalam program London Book Fair pada 12-15 Maret 2019 lalu.
Sungguh saya merasa beruntung bisa bertemu, dan belajar langsung dari penulis berbakat seperti Reda. Apa yang Reda sampaikan dalam workshop itu telah memacu semangat saya untuk terus menulis dan berkarya. Saya berharap semangat itu tidak hanya berhenti di saya, dan seluruh peserta workshop pagi itu. Melalui tulisan ini semoga kamu berkesempatan mengenal Reda lebih dalam, dan semangat itu pun ikut menjangkiti jiwamu.

Relasi Reda dan Literasi
Keterlibatan Reda dalam dunia literasi sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Perempuan kelahiran 1 Agustus 1962 ini mengaku bahwa dirinya bahkan sudah akrab dengan dunia literasi-membaca dan menulis-sebelum duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Keakraban Reda pada buku tidak terlepas dari peran penting kedua orang tuanya. Pasalnya, selain bermain dengan teman-teman sebayanya, Reda kecil banyak menghabiskan waktunya mendengarkan bacaan cerita yang dibacakan oleh Ayah, atau dongeng-dongeng yang diceritakan oleh sang Ibu menjelang waktu tidurnya. Selain itu, Reda juga sudah mampu dan tertarik membaca banyak buku ketika masih kecil.
“Saya punya adik, yang kebetulan kurang sehat. Ibu saya kadang merasa kewalahan kalau harus mengurusi adik sekaligus membacakan saya cerita. Jadi, yang dia lakukan adalah mengajari saya membaca. Saya sering membaca cerita keras-keras di samping ibu yang tengah mengurus adik saya,” kenang Reda.
Relasi mendalam Reda pada dunia literasi terjalin makin kuat hingga dirinya duduk di bangku kuliah. Semasa menyandang status sebagai mahasiswa, Reda aktif menulis berbagai topik artikel dan cerita pendek yang dipublikasikan ke berbagai media massa. Usai lulus dirinya berkarir di sejumlah media cetak ternama, diantaranya Gadis, Mode, HAI, dan Cosmopolitan. Pada tahun 2008-2011, Reda juga pernah menjadi publisher untuk 7 majalah lifestyle milik Kompas Gramedia.
Kehadiran Na Willa di tahun 2012 silam sebagai novel pertama Reda telah memberikan warna baru bagi jejak kekaryaannya, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai seorang musisi dan penulis cerpen bertema perempuan. Hal ini tak ayal menghadirkan banyak tanda tanya dari berbagai pihak. Saya sendiri sebenarnya belum pernah sekalipun membaca tulisan-tulisan karya Reda. Sejauh ini, saya adalah penggemar dan penikmat musikalisasi puisi yang dilagukannya semasa berkiprah dalam duet ‘AriReda’.
Nostalgia Masa Kecil Reda
Banyak pembaca bertanya-tanya mengenai sosok tokoh Na Willa, yang dimunculkan Reda dalam bukunya. “Apakah sosok bocah perempuan usia lima tahun yang bernama “Na Willa” ini benar-benar ada di kehidupan nyata?”. Beberapa peserta workshop yang sudah membaca buku tersebut bahkan berspekulasi bahwa cerita Na Willa merupakan memori Reda di masa kecilnya.
Dalam workhsop itu Reda pun membenarkan asumsi tersebut dan mengakui bahwa sebagian besar cerita dalam buku Na Willa memang merupakan pengalaman kanak-kanaknya saat masih tinggal di Surabaya-termasuk cerita mengenai kaki Dul, kawan Na Willa, yang harus kehilangan kakinya akibat kecelakaan di rel kereta api.
Keputusan Reda menghadirkan cerita tentang kesedihan dalam buku anak pertamanya ini dinilai cukup berani. Melalui Na Willa, Reda telah menantang gagasan konservatif yang melekat dalam industri buku anak di Indonesia. Bagi Reda, buku anak-anak di Indonesia itu tidak melulu harus baik-baik saja. Anak-anak selayaknya orang dewasa, mereka juga bisa mengalami kesedihan. Menurut Reda di luar sana masih banyak anak-anak Indonesia yang mengalami masalah yang pelik, dan seharusnya bukan hal yang tabu bagi seorang penulis memasukkan tragedi, masalah dan konflik tersebut ke dalam buku anak.
Na Willa pertama kali mulai menyapa pembaca pada tahun 2012. Kala itu, buku Na Willa yang dicetak dengan metode crowdfunding memang belum sepopuler sekarang. Na Willa menyapa lebih banyak pembaca dan menerima sambutan hangat para penikmat literasi dari segala umur setelah dicetak ulang kembali oleh Post Press pada tahun 2018 lalu.
Keberhasilan Reda menceritakan kehidupan dunia kanak-kanak dari sosok Na Willa dengan gaya penulisannya yang ringan, sederhana, dan menyentuh telah mengantarkan dirinya meraih kesempatan untuk mewakili Indonesia dalam program sastra bergengsi, yakni London Book Fair 2019. Reda berangkat ke London bersama sebelas penulis berbakat lainnya, diantaranya; Agustinus Wibowo, Clara Ng, Dewi Lestari, Faisal Oddang, Intan Paramaditha, Laksmi Pamuntjak, Leila S. Chudori, Nirwan Dewanto, Norman Erikson Pasaribu, Seno Gumiro Ajidarma, dan Sheila Rooswitha Putri. Kabar menggembirakan selanjutnya ialah buku Na Willa tahun ini resmi diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan oleh The Emma Press di Inggris. Hal ini berarti, Na Willa mendapatkan kesempatan berharga untuk menjumpai pembaca pada level yang lebih luas lagi, yakni level internasional.
Reda dalam workshop tersebut menegaskan kepada kami mengenai cerita Na Willa yang sebenarnya tidak ditujukan untuk anak-anak, namun kepada orang dewasa-lebih khususnya pada orang tua. Reda tidak pernah berpikir ini akan menjadi buku anak. Selain berkarir sebagai musisi, dan penulis buku, Reda sejatinya merupakan Ibu penuh waktu bagi Soca Sobitha, anak tunggalnya. Reda banyak belajar dari cara kedua orang tuanya dalam mendidik dan membesarkan dirinya. Hal ini ia terapkan dalam mendidik anak semata wayangnya tersebut. Salah satu pembelajaran berharga yang didapatnya semasa kecil ialah mengenai pentingnya menghargai keberagaman dan menghindari sikap rasis. Hal tersebut ditunjukkan Reda lewat pertemanan keluarga Na Willa dengan keluarga Farida.

Diceritakan dalam seri pertama bahwa karakter Na Willa berteman karib dengan Farida. Dua bocah perempuan ini berteman layaknya anak kecil pada umumnya. Apa adanya, sederhana saja tanpa merumitkan agama. Kepiawaian Reda dalam menyampaikan pelajaran berharga tersebut nampak dari cara bertuturnya yang mengedepankan pada peristiwa, alih-alih langsung menyebutkan identitas keagamaan anak.
“Setiap sore, sehabis mandi, habis matahari terbenam, Farida tidak boleh keluar rumah. Ada ramai-ramai di rumahnya. Banyak anak-anak di sana. Farida ada di situ juga. Mak bilang, Farida belajar mengaji. Bersama yang lain, aku dengar suaranya.” (Kutipan narasi dalam buku Na Willa).
Kegiatan tersebut menimbulkan rasa penasaran dalam benak Na Willa. Ia lalu diizinkan bergabung “ramai-ramai” mengaji di rumah Farida, seolah aktivitas itu tak jauh berbeda dari bermain masak-masakan atau boneka. Di lain waktu, Na Willa gantian mengajak Farida bermain ke rumahnya untuk menghias pohon cemara menjelang perayaan Natal.
Pertemanan beda agama ini bagi Reda menjadi kenangan masa kecil yang amat berkesan,“Ibu saya rileks-rileks saja ketika tahu kalau setiap sore, sehabis bermain, saya ikut mengaji di rumahnya Farida. Ibu saya paham bahwa ikut mengaji dengan Farida tidak akan membuat saya serta merta masuk Islam. Poinnya adalah, Ibu saya tidak masalah melihat perbedaan agama dan dia amat menghargainya.” kenang perempuan bersuara merdu ini.
Secara tidak langsung, Na Willa menyinggung nilai-nilai kerukunan, keberagaman, dan toleransi melalui kacamata seorang anak tanpa perlu bersikeras menuntut atau menggali adanya pesan moral yang tersaji dalam buku setebal 115 halaman tersebut.
Reda seperti hendak menegaskan bahwa orang tua merupakan pembentuk sikap, karakter, dan sumber utama dari segala hal yang terjadi dalam diri anak. Apabila orang tua mendidik anaknya dengan pandangan rasis, maka tidak heran anak akan terbentuk menjadi sosok yang tidak ramah dengan perbedaan. Ketika ayah dan ibu memandang keberagaman sebagai sesuatu yang remeh, maka anak akan mengikutinya. Na Willa hadir untuk mendorong kepekaan orang tua di Indonesia atas berbagai realitas sosial yang penting untuk diperhatikan, seperti pola asuh keluarga, toleransi beragama, hingga masalah rasisme.
Harapan Reda untuk Dunia Literasi Anak Indonesia
Dalam workshop yang berlangsung selama dua jam tersebut, Reda membagi keresahan yang dirasakannya atas ciri khas dunia literasi anak di Indonesia. Perempuan berkacamata ini merasa tidak nyaman dengan buku-buku bacaan anak di Indonesia, yang umumnya mewajibkan adanya pesan moral dari profesi tertentu, yakni Psikolog, atau disangkut pautkannya buku tersebut dengan ajaran agama tertentu. Selain itu, buku bacaan anak di Indonesia dengan gamblang kerap kali memberikan jalan keluar pada si tokoh utama melalui kehadiran orang dewasa. Anak tidak dibiarkan mengatasi masalahnya sendiri.
“Buku anak kita terlalu full ajaran moral. Saya baca bukunya Roald Dahl, serial ‘Le Petit Nicolas’ karya Rene Goscinny dan Jean-Jacques Sempe, buku Totto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, dan buku cerita anak lainnya yang merupakan karya penulis besar di luar negeri. Itu isinya menarik banget. Ada tentang anak bandel aja. Yah, cerita anak itu enggak harus melulu menyisipkan pesan moral yang kaku.“
Sebagai penulis yang baru-baru ini semakin getol terjun di bidang literasi anak, Reda meyakini bahwa semua penulis Indonesia bisa bercerita dan memberikan sumbangsi bagi anak-anak Indonesia. Rumus pentingnya adalah selalu memposisikan anak sebagai makhluk yang penting. Kalau seorang penulis memahami itu, sering melihat sekeliling, berusaha akrab dengan dunia anak, maka inspirasi cerita yang menarik akan datang. Tinggal melatih diri menulis dengan bahasa yang baik, dengan bahasa yang bisa menghibur, mendidik, dan memperkaya anak.
Kunjungannya ke London ketika mewakili Indonesia dalam program London Book Fair 2019 menjadi awal pertemuannya dengan buku puisi anak berjudul “A Book of Clouds” karya Juris Kronbergs. Buku ini menarik perhatian Reda karena penyairnya, yang berasal dari Lituania, ternyata pernah mendapatkan penghargaan sastra untuk karyanya sebagai orang dewasa, dan disamping itu ia juga membuat buku anak. Reda membaca pola menarik bahwa banyak penulis dunia peraih nobel sastra, seperti V.S. Naipaul, Jean-Marie Gustave Le Clézio, dan Neil Gaiman, yang ambil bagian untuk mencipta teman bagi anak lewat tulisan mereka.

“Kayaknya mereka yang akhirnya mengubah saya, bagaimana penulis-penulis besar itu menulis untuk anak. Saya juga yakin kalau Pak Sapardi menulis cerita anak, pasti hasilnya bakalan keren banget. Saya sudah pernah mendorong beliau untuk mulai menulis untuk anak. Mungkin bisa lewat puisi dulu yah. Sejauh ini buku puisi untuk anak adalah jenis bacaan yang paling langka di Indonesia,” ujar Reda.
Terakhir, Reda berharap melalui buku Na Willa para orang tua bisa terus ingat bahwa anak dipercayakan kepada mereka untuk dibesarkan dan dididik menjadi sosok individu yang unik, spesial, dan mereka berhak menjadi hero bagi dunia mereka sendiri. Sudah sepantasnya orang tua melakukan sesuatu untuk kebaikan anak, bukan untuk kebanggaannya sendiri sebagai orang tua. Oleh karena itu, penting untuk memberikan kebebasan pada anak untuk tumbuh menjadi sosok yang mereka inginkan. Bebaskan anak untuk melakukan hal yang mereka suka. Mereka pun berhak membangun pilihan sendiri. Tugas terpenting dari orang tua adalah selalu berusaha membuat mereka bahagia, dan bangga dengan diri mereka sendiri, bukan malah sebaliknya-anak menjadi trofi bagi orang tuanya. Pesan inilah yang jarang Reda lihat muncul dari buku anak-anak di Indonesia.
Kisah Na Willa ternyata belum berakhir di seri kedua. Reda saat ini masih disibukkan dengan pekerjaan rumahnya merampungkan seri ketiga dari novel yang melambungkan namanya tersebut. Suguhan terbaru Reda Gaudiamo untuk para orang tua dan anak-anak di Indonesia ini bisa dinikmati lagi sebelum Oktober tahun ini. Na Willa menjadi buku yang sayang sekali untuk dilewatkan, terutama buat kamu para penggemar bacaan ringan, sederhana, dan penuh makna yang dilengkapi dengan ilustrasi yang apik. Jadi, segera deh masukkan Na Willa seri pertama hingga ketiga ke dalam buku wajib yang akan kamu baca tahun ini. Jangan sampai ketinggalan yah!
Desainer Infografik: Muhammad Ramadhani Kurniawan