Psikologi Populer

Merasa Selalu Menjadi Korban

November 12, 2018

author:

Merasa Selalu Menjadi Korban


Sukma.co – Suatu waktu, ada seorang anak yang mengadu pada seorang guru atau orang tua. Dia wadul (Jawa) dengan menunjukkan disakiti atau merasa bahwa dirinya telah menjadi korban karena perlakuan temannya. Tujuannya, seorang ini akan mendapatkan simpati, perhatian dan belas-kasihan. Sementara, jika dikonfirmasi lebih lanjut, ternyata tidak ada hal-hal yang dianggap berarti dari peristiwa tersebut.

Kisah lainnya, pada sebuah konflik di rumah tangga, seseorang mencoba untuk mengalah dan mengatakan, sudahlah, buat apa saya melawan, memang saya akan terima ini sebagai kenyataan, meskipun dianggap sebagai kenyataan yang pahit. Ada pula yang menonjolkan sekumpulan anggota jamaah dari sebuah agama mayoritas, membeberkan jika perlakuan terhadap yang mayoritas dibiarkan sementara yang minoritas dibela sedemikian rupa.

Baca Juga: Bunuh Diri pada Anak-anak dan Remaja, Salah Siapa?

Seseorang akan minta bantuan karena situasinya sudah tragis, bahkan seperti sudah tidak tertolongkan. Orang-orang yang seperti ini bahkan selalu melakukan mekanisme pertahanan diri melalui cara-cara mengarahkan orang lain agar mau menolongnya, peduli dan bahkan memberikan sesuatu agar dirinya dapat mendapatkan perhatian eksklusif. Orang-orang seperti ini biasanya memainkan drama terhadap posisi dirinya dengan orang lain. Salah satu tujuannya antara lain, berusaha bertahan dengan cara mencari sandaran orang lain untuk memihak dan membelanya sehingga mereka beroleh simpati dan menjadi pusat perhatian orang lain. Apa yang dikatakan atas dirinya sebenarnya adalah situasi semu yang tidak serta merta mereka mengalami secara pasti. Mereka seperti mengada-ada yang menjadikannya pantas sebagai orang yang dikorbankan.

Aneka kisah tersebut mendekati masalah pribadi seseorang yang disebut playing the victim. Seseorang yang memainkan dirinya sebagai korban, bukan berarti dia nyata-nyata sebagai korban kekerasan, pelecehan dan dampak dari perilaku kekerasan lainnya. Tetapi sebuah keadaan diri yang dituturkan oleh seseorang ketika berada dalam ketidakseimbangan mental. Korban yang disuarakan mewakili gambaran ketidakberdayaan oleh karena kegagalan dalam mengelola kemarahan (Firestone, 2013). Mereka kemudian menyuarakan dirinya sebagai sosok korban.

Bagaimana membantu orang yang memiliki kecenderungan playing the victim? Tentunya gejala seperti ini tidak mudah ditangani karena sudah memasuki wilayah gangguan yang lebih serius. Orang seperti ini boleh jadi merupakan rangkaian dari peristiwa yang mengikuti dampak dari depresi. Oleh karena itu, penanganannya wajib didampingi oleh konselor, terapis atau psikologi. Apa yang kemudian dilakukan untuk menyodorkan jalan keluar tersebut?

Firestone (2013) menawarkan diantara solusinya adalah melakukan identifikasi suara kritis dari dalam dirinya yang berfokus pada suara ketidakadilan. Suara-suara seperti “kalau terus begini, sudahlah memang saya pantas diperlakukan begini. Ini tidak adil, seharusnya tidak terjadi padaku,” dan lain sebagainya. Mengenali suara negatif tersebut adalah proses meningkatkan kesadaran seseorang dan mengenali kondisi sebenarnya bahwa merasa selalu menjadi korban adalah bagian dari kondisi senyatanya seseorang. Mengenali dan menguasai suara negatif tersebut menurut Firestone adalah jalan utama mengalahkan orientasi terkorbankan.

Islam menganjurkan agar kita bisa mengenali aneka bisikan. Bisikan (Al-Khatir) yang paling perlu didengarkan adalah bisikan Allah atau Malaikat. Playing the victim merupakan kerentanan jiwa (inbalance) ketika manusia sudah dikuasai oleh bisikan suara negatif dari dirinya yang mengarah pada keburukan. Ketika suara itu menguasai dan melemahkan jiwa maka semakin kuat suara itu akan semakin kita tidak berdaya. Atau sebaliknya, semakin jiwa seseorang lemah, maka situasi yang kurang menyenangkan akan langsung mendikte jiwa mereka sehingga suara negatif itu menguasai dirinya. Manusia menjadi mengeluh atau rapuh karena suara negatif menguasainya.

Playing the victim adalah suara yang tidak berhasil dikuasai sehingga seseorang terperangkap. Suara dari ekspresi playing the victim menjadi bisikan setan dan ego. Imam Al-Ghazali di kitab Mi’raj As-Salikin menjabarkan setiap orang harus bisa membebaskan diri dari bisikan syetan dan ego itu untuk meningkatkan ketajamannya mendengar bisikan Allah dan Malaikat, yang disebutkan sebagai bisikan pertama yang tertiup dalam hati manusia. Oleh karena itu, mengenali dan mencoba membedakan suara itu adalah upaya teraupetik untuk membebaskan orang dari playing the victim. Pengenalan bisikan tersebut membantu mengganti positi seseorang dari semata korban ke situasi yang lebih otentik (Myler, 2017).

Penanganan selanjutnya adalah melakukan pendekatan konstruktif ketika sedang marah (Firestone, 2013). Seseorang perlu dilatih menyalurkan ekspresi perasaan marah secara konstruktif, etis, disampaikan untuk kepentingan dan tujuan yang baik. Suara-suara playing the victim adalah imbas dari ketidakberdayaan orang dalam merespon perilaku orang yang dianggap tidak sesuai. Melalui cara marah yang konstruktif akan membantu orang mengenali cara reaktif dan menggunakan bahasa berorientasi kurban menuju pelatihan diri mengonstruksi reaksi positif terhadap perlakuan orang lain.

Oleh karena itu, respon asertif (kemampuan mengatakan yang benar secara tepat) adalah modal yang terus dilatihkan untuk membangkitkan harga diri positif bagi orang yang terbiasa menggunakan playing the victim. Pribadi ini juga terus dilatih untuk melihat secara rasional apa yang sebenarnya terjadi. Ketika rasionalitasnya mulai terbangun maka keberdayaan dirinya bangkit, di situlah pelatihan asertif dan kemampuan mengelola marahnya secara positif dapat ditumbuhkan. Cara ini akan mampu menyalurkan marah dengan baik dan perlahan mampu mengendalikan orientasi korban bagi seseorang.

Al-Quran juga beberapa kali mengingatkan, jika seorang sedang marah disarankan selalu mampu mengendalikan emosinya dan mengelolanya menjadi respon yang terpuji yakni memaafkan dan mengubahkan menjadi perangai lemah lembut. Cara seperti ini sangat disukai oleh Allah sebagai sifat yang mendekati kebaikan dan perilaku terpuji (Ali Imron 134; Asy-Syuura 37). Ciri pribadi yang seimbang dengan demikian adalah menjadikan sifat yang tidak mudah marah, tetapi kemampuan mengelola marahnya menjadi kemauan memaafkan dan mengubahnya kedalam bentuk-bentuk perkataan terpuji lagi mendatangkan kebaikan. Ini mengisyaratkan bahwa mengenali suara negatif dan mengubahkan kedalam perkataan positif adalah cara seseorang bisa membebaskan dirinya dari playing the victim. 

Artikel ini dipublikasikan pertama oleh Majalah Keluarga Indonesia Auleea  Edisi 51 Oktober 2018  halaman 18-19


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!