Menunggu Halalbihalal Para Elit Politik Kita
Ramadhan yang penuh keberkahan telah pergi. Meski riuh sukacita menyambut ramadhan masih seperti kemarin terjadi, namun kini kita akan menatap bulan Syawal tidak kalah gempita. Ramadhan menjadi bulan yang membahagiakan di awal maupun akhirnya. Awal Ramadhan kita bahagia menyambut, sedang di akhir kita bahagia karena bersiap menyambut Syawal.
Banyak peristiwa-peristiwa memorable terjadi sepanjang Ramadhan; mulai turunnya al Qur’an hingga pembacaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Saya pribadi, ramadhan menjadi sedikit terikat emosional karena saya lahir di hari 12 bulan Ramadhan.
Ramadhan menjadi milik kita semua. Beberapa tempat ibadah menyediakan buka puasa, tidak hanya Masjid, namun rumah ibadah lain pun tidak jarang menyediakan takjil untuk berbuka puasa, seperti yang dilakukan GKJW Mojowarno, Jombang dan Vihara Dharma Bakti, Jakarta Barat.
Ramadhan menjadi momentum yang menghapuskan sekat-skat perbedaan dan mempersatukan. Hampir tidak ada yang protes terhadap aksi umat agama lain membagikan takjil, padahal di kesempatan lain, kegiatan positif tersebut bisa dianggap buruk; kristenisasi, pendangkalan akidah dan lain-lain. Sekali lagi, Ramadhan mampu menghapuskan perbedaan dan mempersatukan.
Rusuh di bulan suci
Tahun ini, keindahan Ramadhan sedikit tercemari oleh perilaku oknum bayaran yang memperkeruh politik di Indonesia. Beruntung, kita tidak hanyut dan terhasut untuk bergabung melakukan cara-cara kekerasan yang dilakukan oknum bayaran tersebut.
Kita memang ada penilaian dan perdebatan menyoal siapa yang salah dan benar, namun meski berbeda pandangan kubu, kita sama-sama mengutuk aksi kekerasan, sehingga kita lebih layak berbangga daripada elit politik yang terus memperkeruh suasana.
Cahaya ramadhan yang mengajarkan kita menahan diri dengan berpuasa, rupanya tidak sampai masuk kepada hati para elit politik, sehingga kurang bisa berlapang dada menerima kekalahan atau pun tidak begitu sabar dalam menilai perkara. Saling hujat, saling sindir dan saling membongkar aib dipertontonkan kepada khalayak. Kita kehilangan panutan dan tuntunan yang baik
Kehilangan Ibu Negara
Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Demikian yang diucapkan KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Sebagai manapun politik membuat kita berjarak, namun kemanusiaan lebih tinggi dari itu akan menyatukan.
Penghujung bulan Ramadhan, kita kehilangan salah satu Ibu Negara, Kristiani Herrawati. Beliau yang akrab dengan sebutan Memo atau Ibu Ani menghembuskan nafas terakhir di 27 Ramadhan. Ucapan bela sungkawa mengalir deras kepada beliau, bahkan ucapan tersebut berasal dari kedua kubu yang selama ini saling bertolak belakang.
Kehadiran dan pertemuan antar Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), suami mendiang almarhumah, menjadi penyejuk bagi situasi politik kita yang memanas. Kedua orang yang pernah menjabat presiden ini memang memiliki historis “kurang harmonis” dalam urusan politik. Namun, ketika pasangan masing-masing berpulang padaNya, kedua elit politik ini kompak saling memberikan penghormatan dan berjabat tangan.
Begitu pula suasana sejuk yang dilakukan Joko Widodo (Jokowi) dalam respon kepulangan Ibu Ani patut menjadi tauladan. Meski Partai Demokrat yang selama ini vokal mengkritik dan berada pada kubu Prabowo Subianto, namun Jokowi tahu bahwa tidak semua hal perlu dilihat dari kacamata politik, ada sisi humanis tentang perpisahan dan kesedihan yang orang lain rasakan, harus diperingan dan ditolong sesuai kemampuan kita tanpa melihat golongan dan pilihan politik.
Ramadhan Menuju Syawal, Memaafkan seperti kembali ke Awal
“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal”, jelas Kiai Wahab Chasbullah kepada Ir. Soekarno di Istana Negara pada tahun 1948.
Pertemuan antar Kyai Wahab dan Bung Karno yang terjadi di pertengahan Ramadhan tersebut kemudian mencetuskan istilah Halalbihalal. Istilah Halalbihalal tersebut bertujuan menyelesaikan masalah disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi dimana-mana.
Melihat situasi politik praktis saat ini, perlu kiranya kita mengambil semangat dari tercetusnya Halalbihalal. Menurut KH Masdar Farid Mas’udi, halalbihalal menggunakan semangat mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan dan saling menghargai.
Sebaik apa pun pilihan kita, tidak ada satu pun alasan lebih tinggi dari menghargai pilihan orang lain. Saling hasut dan isu provokatif di media sosial sudah terbukti hanya melahirkan kerusuhan, karena hal tersebut telah ditumpangi oleh oknum berkepentingan dari efek kerusuhan tersebut; jabatan, kekuasaan bahkan kehancuran sekali pun.
Kita perlu mencontoh para elit yang memegang teguh persaudaraan dan kemanusiaan diatas kebencian di hatinya. Bahwa tidak ada satu pun alasan politik yang lebih tinggi dari kasih sayang dan peduli terhadap kesedihan orang lain.
Itulah mungkin secercah pelajaran dari momentum Ramadhan tahun ini yang memanas, namun disejukkan kembali oleh momentum di dalam Ramadhan itu sendiri.
Semangat inilah yang perlu kita tanamkan di awal bulan Syawal, bahwa suka dan tidak suka atau dukung Jokowi atau Prabowo, bukanlah batu pemberat langkah kita untuk bersilaturahmi, sebagian elit politik telah mencotohkan. Namun pemberat kita adalah mau tidaknya kita untuk menanggalkan egoisme duduk bersama dan berjabatan tangan sebagai muslim dan warga negara Indonesia.
Mari menunggu Prabowo dan Jokowi melakukan halalbihalal lalu saling menenangkan para pendukung.
Originally posted 2019-06-12 02:23:28.