Ekspose Mengulas Resensi

Mengapa Sebagian Kita Masih Bebal Saat Pandemi?

April 26, 2020

author:

Mengapa Sebagian Kita Masih Bebal Saat Pandemi?


SUKMA.CO – Suatu waktu seorang kawan bercerita bahwa semua yang terlarang pasti enak dan menantang. Saya nampak setuju-setuju saja, karena faktanya kadang demikian. Apalagi sebuah larangan tidak disertai penjelasan yang logis, kesesuaian pada moral/kebiasaan masyarakat dan kesadaran kita yang tipis pada larangan tersebut, maka larangan menjadi ajakan ‘come to papa‘.

Saat ini anjuran untuk tidak melakukan perkumpulan selama pandemi covid sudah sering kita dengarkan, namun kita pun masih banyak melihat orang-orang yang tetap santuy nongkrong berkelompok. Bukannya mereka tidak dengar tentang virus dan anjuran pemerintah untuk physical distancing, tetapi ya mereka aja yang lebih nyaman untuk nongkrong.

Baca Juga: Mudik Tahun Ini; Antara Takut dan Rindu

Lantas apa yang mendorong seseorang seperti itu? Bisa saja karena paparan informasi terus menerus akan mengakibatkan individu merespon dengan dua hal; cemas dan acuh. Orang yang cemas akan sangat memperhatikan anjuran pemerintah, sedang menjadi acuh terlihat menyepelekannya.

Sumber gambar https://images.app.goo.gl/d2y9hcxQRJeGtsuF6

Acuh saja tidak cukup. Sebuah teori yang disebut psychological reactance bisa sedikit menjelaskan. Teori ini menyebutkan bahwa secara naluriah manusia akan memunculkan reaksi resistensi bila merasa tidak nyaman atas sesuatu yang membatasinya berperilaku. Sesuatu itu bisa berupa peraturan yang mengancam atau menghilangkan kebebasan berperilaku.

Psychological reactance merupakan respon terhadap kondisi yang mengekang, sekaligus wujud mempertahankan rasa nyaman agar tetap nyaman. Bukan suatu yang mustahil, meski tujuannya baik, terkadang kita melakukannya dengan cara yang keliru. Walaupun banyaknya aturan selama pandemi ini bertujuan baik, namun membuat banyak orang merasa tidak nyaman.

“Paparan informasi terus menerus akan mengakibatkan individu merespon dengan dua hal; cemas dan acuh”

Kita tahu bersama menghadapi pandemi ini, pemerintah banyak mengambil aturan yang membatasi kebebasan, namun tanpa membangun kesadaran dan sosialisasi yang memadai. Menurut pandangan psychological reactance, bila kebebasan diambil begitu saja, maka individu menjadi bebal dan akan melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Sisi Pemerintah yang Komunikasinya Tidak Memanusiakan

Sikap kurang kooperatif bisa diakhiri dengan cara yang sederhana, yaitu cara komunikasi pemerintah kepada masyarakat perlu lebih baik lagi. Pemerintah perlu menjalankan prinsip 5C’s sebagai modal berkomunikasi di masa krisis ini.

Prinsip 5C yaitu Care, peduli terhadap dampak yang dialami masyarakat atas aturan yang dibuat; Commitment, berkomitmen untuk hadir memberantas pendemi dan secara kontinue melakukan aksi kepedulian terhadap masyarakat; Consistency, peraturan tidak beda-beda apalagi saling membantah antar satu lembaga dengan lembaga lain, serta aturan konsisten dari pusat hingga daerah.

“Sebagian dari kita memang bebal, tapi pemerintahnya pun terlambat panas menyeriusi masalah virus ini”

Selanjutnya Clarity, pesan yang disampaikan kepada publik haruslah jelas, mudah dipahami, sederhana dan tidak ambigu, dan terakhir; Cooperation, pemerintah perlu membangun sikap kooperatif dengan media dan masyarakat, sehingga bisa meredam informasi negatif yang mungkin saja berkembang d tengah masyarakat.

Tidak terpenuhinya 5C tersebut membuat sebagian masyarakat susah untuk bekerjasama, meski pun untuk hal terkecil seperti #dirumahaja. Diakui bahwa sebagian dari kita memang bebal, tapi pemerintahnya pun terlambat panas menyeriusi masalah virus ini.

Sebuah Cerita yang (Tak) Lucu

Saya tutup artikel ini dengan sebuah cerita yang diadaptasi dari lelucon legendaris.

Alkisah, Baco membaca di koran tentang bahaya merokok bisa menyebabkan kanker, mandul, dan gangguan janin, ia pun langsung berhenti merokok.

Baca Juga: Puisi Romansa – Psikologis : Tahun Kabisat

Esoknya Baco membaca koran yang sama. Tertulis bahaya mabuk bisa membuat lupa diri dan dilarang agama, akhirnya ia langsung berhenti mabuk-mabukan. Besoknya lagi, Baco membaca koran yang sama, tertulis pemerintah menganjurkan ibadah dari rumah selama pandemi virus corona, setelah membaca berita tersebut, Baco berhenti, tetapi kali ini ia berhenti untuk membaca koran.

Seminggu kemudian, viral foto Baco sedang berada di ruang isolasi untuk kasus positif corona. Buruknya foto itu pun menjadi sampul depan bekas koran langganannya.

Kisah Baco mengajarkan kepada kita, bahwa pandangan atau aturan yang menekan dan menghilangkan kebebasan pada diri individu berpotensi melahirkan resistensi, bukan kepatuhan. Terlebih bila pandangan atau aturan itu dikomunikasikan dengan cara yang buruk, tentu pembuat aturan perlu bekerja keras mendapatkan yang diinginkannya.


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!