Menepis Aksi Terorisme di Selandia Baru
Sukma.co – Beberapa hari lalu teroris menyerang komunitas Muslim di kota Christchurch, Selandia Baru. Lewat manifesto atau pernyataan sikap yang pelaku tulis, terkuak alasan melakukan tindakan biadab tersebut atas nama membela golongann (Supremasi Kulit Putih) dan aksi balas dendam atas kematian Ebba Akerlund, bocah berusia 11 tahun yang terbunuh dalam serangan Stockholm, Swedia tahun 2017.
Aksi kekerasan/terorisme dengan motif demikian bukanlah hal baru yang pernah kita dengar. Meski faktor lain juga berpengaruh, namun tindakan kekerasan bahkan mengarah terorisme seringkali dilatari girah (semangat) dari perasaan superioritas.
Jika kita pelajari pola kekerasan, perasaan superioritas satu golongan terhadap golongan lainnya membuat sudut pandang penganutnya cenderung lebih mudah menyalahkan, merendahkan dan bahkan menyakiti golongan yang dianggap lebih rendah (inferioritas).
Padahal perasaan tersebut belum tentu teruji pada ruang realitas. Kenyataannya yang merasa superioritas kadang tertinggal dalam beberapa hal. ketertinggalan tersebut akan membuat ego mereka menguat untuk membuat aksi kekerasan. Narasi-narasi yang mendukung supremasi akan dikuatkan. Narasi yang menjadi dalil melakukan aksi terorisme.
Dalam bahasa al Quran; wa’asa an takrahuu syai-an wahuwa khairun lakum (boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu), konteks ayat ini adalah saat serdadu tempur kaum Muslim ogah-ogahan untuk turun berperang, kemudian Allah ingatkan dengan ayat ini.
Tentu saja ayat ini masih kontekstual untuk saat ini. Perang bukan lagi untuk mengangkat senjata untuk memusuhi mereka non-muslim, namun perang jihad muslim diubah orientasinya untuk memenangkan dirinya sendiri.
Begitulah umat Islam di Indonesia agar mampu mengawasi dirinya sendiri dengan tidak merasa lebih superioritas dibanding pemeluk agama lain. Sebaliknya, dengan alasan sebagai warga negara mayoritas, sehingga kita memiliki perasaan tanggungjawab lebih besar untuk memastikan keselamatan golongan lain, mirip yang dilakukan Rasulullah saat memberikan janji keamanan non-muslim.
Kekerasan yang terjadi di Christchurch, jangan dibawah-bawah dalam negara kita yang damai. Apa yang terjadi diluar Indonesia, biarlah di sana, tidak perlu kita balas di sini. Tugas muslim Indonesia adalah menjaga, agar kejadian mengerikan serupa tidak terulang di belahan bumi mana pun, terkhusus Indonesia. Termasuk dalam hal ini ialah perasaan superioritas suatu golongan terhadap golongan lainnya.
Menjadi mayoritas tidak dimaknai dengan perasaan superioritas, namun menjadi pengingat tanggungjawab besar untuk umat Islam menjaga kemaslahatan golongan lain, caranya dengan menjaga diri (lisan maupun perilaku) dan lingkungan agar tidak terprovokasi untuk melakukan kekerasan dan kesewenang-wenangan.
Apa yang perlu dijaga? Yakni lima prinsip dasar (ushul al-khams) yang melingkupi jaminan beragama (hifdhud dîn), jaminan jiwa hidup (hifdhun nafs wal ’irdl), jaminan bebas berpendapat (hifdhul aql), memelihara keturunan (hifdhun nasl), dan jaminan harta (hifdhul mal).
Tuhan cinta kita semua. Bukan hanya kepada yang beriman kepadaNya, bahkan yang tidak sekali pun. Tuhan maha Bertanggungjawab terhadap hamba-hamba-Nya. Hujan tetap diturunkan kepada siapa pun, oksigen tetap diberikan kepada siapapun, bahkan potensi menjadi baik dan buruk bisa terjadi kepada siapapun.
Sabda Nabi, khoirunnasi man thola ‘umruhu wa hasuna ‘amaluhu. Seseorang yang paling baik adalah orang yang panjang usianya dan bagus amalnya/perbuatan, begitu pula sebaiknya.
Kita tentu bisa menafsirkan bahwa kehidupan dunia yang beragam ini adalah ruang untuk mengamalkan kebaikan. Tuhan tidak melihat agama dan warna kulitmu, namun perbuatan kitalah yang menjadikan kita manusia terbaik. Semoga Tuhan merahmati wafatnya korban terorisme di Christchurch. Kita kutuk bersama aksi biadab terorisme atas dasar apa pun.