Menangkal dan mengenali ciri-ciri toxic dalam bermedia sosial (Bagian 1)
Kenali beberapa ciri-ciri toxic dalam bermedia sosial agar kita dapat menghindarinya dan tetap sehat secara psikologi.
SUKMA.CO – Saya baru saja selesai berbincang daring (lagi) dengan staf Facebook Indonesia. Ia bilang tidak kurang 10 juta konten baru tiap hari beredar di Facebook dan Instagram. Artinya, ada ratusan ribu bahkan jutaan orang Indonesia berkoar dengan latar belakang yang beragam. Mereka bisa berbicara apapun di platfrom yang mereka gunakan.
Apa yang sedang mereka bicarakan? Biasanya yang sedang menjadi viral atau isu yang lagi menjadi pusat perhatian masyarakat. Jangan heran bila lulusan SMA mendebat seorang dosen dengan argumen cocokologi di media sosial. Bahkan kita sudah terbiasa melihat musisi, politisi, netizen umum mendebat dokter mengenai pandemi. Hilih.
Media sosial adalah panggung bagi semua. Kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain sampaikan di media sosial, tetapi kita bisa mengontrol diri kita dalam merespon. Salah satu opsi merespon dengan cara tidak menanggapi jika postingan orang lain membuatmu merasa ‘aneh’ karena berbeda dari kebiasaan dan membawa isu provokatif.
Menjadi Sehat Psikologis di Media Sosial dengan Mengenali Ciri-ciri Toxic
Menurut saya, sebaiknya bukan hanya postingan foto kita yang menggunakan filter, tetapi otak kita juga butuh filter dalam bermedia sosial. Supaya kita bisa menyaring informasi mana yang perlu kita serap, sumber informasi mana yang bisa dipercaya dan mana hal yang perlu ditanggapi. Itu semua perlu ditanamkan sebagai fitur filter pribadi.
“Kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain sampaikan di media sosial, tetapi kita bisa mengontrol diri kita dalam merespon postingan orang lain.
Selain selektif menyimak konten, kita perlu juga mengfungsikan filter untuk menyeleksi pertemanan di media sosial. Jika menyusahkan, hapus saja. Kita tidak usah ragu menghapus pertemanan dengan orang-orang yang menyinggung perasaan, karena itu hanya akan menjadi racun (toxic). Ciri-ciri toxic di media sosial yaitu (1) pendapatnya harus benar dan harus diikuti; (2) Tidak bisa menerima pendapat lain sekalipun pendapatnya keliru; (3) Merasa paling pintar dan menguasai teori, sehingga pendapat orang lain tak pernah dipertimbangkan; (4) selalu provokatif dengan membawa isu negatif.
Baca juga : Semangat bahagia dan membahagiakan diri pasien kanker
Mengapa perlu menyeleksi konten dan pertemanan di media sosial? Karena menurut Hilal Bashir dan Shabir Ahmad Bhat (2017) dalam risetnya berjudul Effects of Social Media on Mental Health: A Review menemukan media sosial memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan dan kesehatan mental penggunanya. Bahkan bagi remaja dan generasi milenial akan aktif bersosial media berpotensi mengalami efek psikologis yang negatif seperti peningkatan kecemasan, stres, depresi, dan kesepian.
“Menyaring informasi mana yang perlu kita serap, sumber informasi mana yang bisa dipercaya dan mana hal yang perlu ditanggapi di media sosial.
Penutup dari tulisan ini, rasanya kita perlu saling mengingatkan bahwa media sosial adalah dunia maya. Tidak semua yang ada disana benar-benar berperilaku seperti yang mereka tampilkan di akun media sosial. Tidak semua masalah yang ada di sana benar-benar terjadi. Masalah yang tiap hari dikoar-koarkan di media sosial bisa jadi ada kepentingan di baliknya, ada perasaan cari sensasi bahkan ada saja biar tenar. Mari berhenti menjadi lugu dengan mudah percaya isi media sosial, seperti yang kita lakukan kepada politisi; tidak semua bisa dipercaya.