Memproduksi dan Memonopoli Ketakutan
Sukma.co – Seringkali kita merasa takut pada hal-hal yang membuat diri tidak nyaman atau tidak aman. Ketakutan pada diri manusia dirasa wajar karena semua manusia diberikan anugerah berupa rasa takut. Para Freudian mengamini konsep Freud tentang rasa takut. Takut adalah sebuah bentuk reflek diri untuk bertahan. Saat menerima sesuatu yang mengancam, mekanisme takut beraksi. Hal ini untuk menjaga diri agar terjaga dari sesuatu yang menciptakan ketakutan tersebut.
Mungkin kalian setuju jika saya mengira bahwa semua orang pasti memiliki rasa takut. Hanya saja ketakutan masing-masing orang itu berbeda. Ada yang takut dengan istri, ada orang yang takut dengan hewan tertentu dan banyak lainnya. Ketakutan merangsang rasa cemas pada tubuh yang mengakibatkan tubuh menjadi tidak normal seperti sedia kala. Bermacam-macam wujud ketidak normalan tersebut, ada yang berupa keringat berlebih, telapak kaki dan telapak tangan menjadi terasa dingin, lemas, lunglai dan lainnya.
Melihat dampak yang ditimbulkan oleh rasa takut, banyak orang kemudian menjadikan rasa takut orang lain sebagai senjata untuk memuaskan diri mereka. Seperti yang baru-baru ini terjadi dan merupakan perbuatan yang kesekian kali terjadi, kebrutalan teroris. Terdapat komplotan teroris yang menyerang jamaah umat Islam yang sedang menjalankan sholat di Masjid. Komplotan teroris itu menembaki jamaah yang berada di dalam masjid, di Selandia Baru. Berkali-kali tuas senjata ditarik dan timah panas dengan sengaja ditancapkan dalam tubuh para korban. Menurut salah satu media online, terdapat 49 korban yang tewas. Kejadian ini masih hangat diperbincangka. Diduga kuat pelaku melancarkan aksinya dengan sengaja.
Kesengajaan pelaku ditandai dengan video yang direkam oleh pelaku itu sendiri dan parahnya lagi saat sedang melakukan aksi genosida itu, pelaku menayangkannya secara langsung dalam sebuah media sosial. Pertanyaannya adalah mengapa pelaku sengaja menayangkan aksinya? Bahkan secara langsung di media sosial? Tujuannya adalah untuk memproduksi rasa takut massa melalui media sosial. Semakin banyak reaksi takut, maka keberhasilan mereka semakin tercapai. Tujuan komplotan teroris adalah menciptakan ketakutan. Dan ketakutan massa saat ini tidak perlu diciptakan dengan bersusah payah merakit bom dan mati konyol bersama bom rakitan tersebut. Cara paling ampuh dan efektif menciptakan ketakutan adalah dengan mengunggah aksi biadab (membunuh, menyiksa dan sejenisnya) ke dalam dunia maya.
Keberhasilan para teroris membuat gaduh dengan viralnya video yang beredar membuat para teroris tersebut puas. Mereka merasa menjadi kelompok yang paling ditakuti. Jejak digital memang hal yang paling sulit dikendalikan. Meskipun kepolisian Selandia Baru menutup semua akses yang mengarah kepada video pembunuhan tersebut, namun tetap saja video pembunuhan itu sudah terlanjur tersebar. Obrolan grup Facebook, WhatsApp, Youtube, Twitter, Instagram dan sebagainya. Sembari video itu terus dibagikan, ketakutan akan terus berkembang biak.