Membungkam Mulut Tetangga
Sukma.co – “Saya sampai pada hipotesis bahwa pernikahan mewah yang resepsinya di gedung, catering melimpah, make up artis harga selangit, itu semua salah satu tujuannya membungkam mulut-mulut tetangga“, saya berkata sambil menatap tajam ke arah teman ngopi saat itu.
Percakapan ngolor-ngidul kami tiba pada tema mulut tetangga yang seringkali melewati batas-batas pribadi orang lain. Mungkin sudah sama-sama risih dengan sikap mulut tetangga sehingga kami membahasnya. Fenomena mulut tetangga memang kadang membebani psikis, fisik bahkan dompet seseorang seperti kesimpulan pribadi saya di paragraf awal tulisan ini.
Kita mungkin pernah dengar atau terlibat pembicaraan seputar teman kantor yang belum menikah, belum beranak pinak, hingga yang ranah pribadi banget, seperti kenapa seseorang menggunakan pakaian yang sama pada dua kegiatan di waktu yang berbeda.
Membungkam mulut tetangga tidak semudah membalikkan telapak tangan, bahkan menurut saya, membuat diam mulut tetangga lebih sulit daripada menentukan pilihan calon presiden 17 April nanti.
Sikap mulut tetangga cenderung muncul karena ada keinginan melihat/mengukur/menilai/membandingkan diri dan nilai yang orang lain anut dengan sudut pandang dan nilai kita.
Mengapa mulut tetangga ada di dunia? Sederhana, manusia sering membandingkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan kepastian bahwa dirinya lebih baik dibanding orang lain. Di dalamnya terdapat unsur (1) Mencari pengakuan atas kemampuan diri sendiri dan (2) Terdapat unsur perasaan tidak pernah cukup atas pencapaian yang sudah diraih.
Menurut ilmu psikologi, mulut tetangga dikenal dengan istilah social comparison atau perbandingan sosial. Perbandingan sosial adalah kecenderungan seseorang untuk merasakan hal baik dan buruk dalam dirinya berdasarkan perbandingan dirinya sendiri dengan orang lain.
Penutup, tanpa bermaksud menggurui tentang tidak baik dan tidak sopannya bersikap mulut tetangga. Secara pribadi, jika selalu mengurusi kehidupan orang lain, tidak serta-merta membuat hidup saya lebih baik, beban hilang dan utang saya apalagi utang negara berkurang. Tidak sobat missqueen! Tidak ada yang berubah ke arah positif hanya dengan nyinyir kepada tetangga.
Meski sejak dini kita diajarkan untuk tidak berlaku mulut tetangga; iri, nyinyir dan gibah, namun apalah kita. Nikmatnya nyinyir terlalu kuat untuk kita yang begitu rapuh di hadapan rindu. Ah sekali lagi, apalah kita.