Ekspose Kolumnis Opini Sukma

Memahami Dinamika Perempuan Pembawa Anjing ke Masjid

Juli 4, 2019

author:

Memahami Dinamika Perempuan Pembawa Anjing ke Masjid


Sukma.co – Baru-baru ini viral dimedia sosial tentang seorang perempuan yang membawa anjing ke Masjid namun berdasarkan pemeriksaan, observasi secara marathon dan medical record dipastikan perempuan tersebut mengalami gangguan jiwa yaitu schizophrenia. Sri Novitayani dalam jurnal berjudul Karakteristik Pasien Schizophrenia dengan Riwayat Rehospitalisasi 2016, menyatakan rehospitalisasi pada pasien schizophrenia cukup tinggi terjadi di beberapa rumah sakit jiwa baik di Indonesia maupun di negara lain. Artinya, pasien dengan riwayat penyakit Schizophrenia sangat berpeluang untuk kambuh setelah dinyatakan sembuh kembali. Banyak faktor yang menyebabkan kembali kambuhnya penyakit ini kepada pengidapnya, salah satunya adalah ketidak konsistenan pasien dalam mengkonsumsi obat. Rehospitalisasi pada pasien schizophrenia dapat terjadi karena pasien tidak patuh obat. Pasien yang patuh obat sebagian mengalami rehospitalisasi 2,5 kali lebih banyak dibandingkan yang patuh obat dan pasien yang tidak patuh obat mengalami rehospitalisasi 3 kali lebih banyak dibandingkan yang patuh obat (Gilmer dkk, 2004 dalam Sri Novitayani, 2016). Faktor lain selain tidak patuh obat juga bisa dipengaruhi dari dosis yang diterima pasien. Manusia memiliki daya tahan tubuh yang berbeda-beda. Kurangnya perhatian dokter kepada pasien sakit jiwa khususnya pengidap schizophrenia yang memberikan dosis obat sama kepada seluruh pengidap menyebabkan terjadinya kurang tepatnya kinerja obat dalam tubuh.

Pasien yang mengidap penyakit schizophrenia mengalami gangguan pemikiran atau pengalaman yang nampak tidak berhubungan dengan kenyataan, ucapan atau perilaku yang tidak teratur, dan penurunan partisipasi dalam aktivitas sehari-hari. Pengidap Schizophrenia juga akan kesulitan dalam berkonsentrasi dan mengingat. Tak heran jika pasien pengidap schizophrenia melakukan tindakan-tindakan tidak wajar seperti menyakiti orang lain, menyakiti diri sendiri atau bahkan merenggut nyawa. Maka dari itu jika kita memiliki kerabat atau teman dekat pengidap schizophrenia harus ekstra perhatian dan memberi banyak dukungan kepada pasien. Memang tingkat kekambuhan pada pengidap schizophrenia sangat tinggi. Namun tetap saja para pasien adalah manusia yang memiliki perbedaan dengan manusia pada umumnya. Mereka memiliki pandangan dan sudut pandang yang berbeda dalam meninjau realita.

Penayangan video viral seorang perempuan yang membawa anjing dalam masjid tak pelak membuat beberapa orang marah, pasalnya tidak hanya membawa hewan yang dianggap najis oleh kalangan umat Islam, perempuan tersebut juga terlihat mencaci orang yang ada di dalam masjid. Lontaran kebencian mulai melayang salah satunya melalui media sosial menjadi sasaran obrolan. Para netizen yang tidak mengetahui detail kondisi kejadian ikut serta mengerahkan cacian dan makiannya kepada ibu tersebut. Memang tindakan yang dilakukan ibu berbaju putih dalam video tersebut bisa dikatakan sebagai tindakan penistaan agama dengan membawa hewan yang air liurnya najis di dalam tempat ibadah umat Islam. Namun jika kita tinjau lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi, kita akan tahu.

Lalu apa yang terjadi?

Pertama, ibu dalam video tersebut merupakan salah satu pasien pengidap schizophrenia. Hal itu diakui oleh kerabat dan dokter kejiwaan yang memeriksanya. “Setelah dilakukan pemeriksaan oleh tim dokter ahli jiwa dari RS Polri dengan dokter luar, yaitu dr Laharjo, SpJ, dan dr Yeny, SpJ, yang bersangkutan menderita penyakit schizophrenia tipe paranoid,” kata Musyafak kepada detikcom (Senin, 1/7/2019). Penjelasan di awal tulisan ini telah mengurai apa itu schizophrenia dan tingginya potensi kambuh kembalinya penyakit tersebut kepada para pasien pengidap gangguan jiwa.

Para netizen yang menonton video tersebut tidak sedikit yang mencaci dan melontarkan ujaran kebencian kepada ibu tersebut. Dengan dalih kesucian agama, mereka merasa pantas menghukum ibu pembawa anjing yang marah-marah di dalam masjid. Padahal, saat pihak berwenang memeriksa ibu tersebut dinyatakan orang gila yang mengidap penyakit schizophrenia. Seandainya para netizen yang berkoar meluluh lantahkan cacian kepada ibu itu menggunakan pandangan dan sudut pandang seorang pengidap schizophrenia, tentu mereka akan paham bersikap yang pas saat mengetahui bagaimana ibu tersebut berhadapan dengan kenyataan. Pandangan serta sudut pandang seseorang pengidap schizophrenia tak senyata orang normal, mereka sangat terganggu konsentrasi pikiran, emosi dan saraf motoriknya.

Sikap yang pas dalam menghadapi kasus ini

Di mata hukum, orang gila tidak termasuk objek penerima rasa jerah. Para orang yang terkena gangguan jiwa berperilaku di atas kenormalan manusia pada umumnya. Mereka tidak sadar akan perbuatan, pikiran dan perasaan diri mereka sendiri. Akibatnya, tiada hukum yang dapat diterjunkan pada perbuatan mereka. Pengidap gangguan kejiwaan membutuhkan dukungan moral, lingkungan yang mendukung kesembuhan serta perawatan khusus guna kesembuhan mereka untuk dapat meraih pandangan kenyataan dengan normal. Perbuatan mencaci dan mengolok tindakan yang dilakukan terhadap pengidap gangguan jiwa hanya akan membuat afeksi mereka terganggu. Akibatnya kondisi akan semakin rumit karena mekanisme pertahanan mereka dilandasi oleh alam bawah sadar. Sebaiknya, sikap yang pas dalam kasus ibu pembawa anjing dalam masjid yang mengidap gangguan kejiwaan adalah dengan memberikan arahan berupa dukungan dan menyerahkan kepada pihak berwenang guna mendapatkan perawatan yang menyokong kesembuhan mentalnya. Dan yang terpenting tidak membuat gaduh dalam dunia maya dengan menambahkan hinaan, sumpah serapah dan sejenisnya kepada ibu yang dianggap tersangka penista agama yang jelas-jelas statusnya adalah korban, pengidap gangguan kejiwaan.

Apakah hal ini akan terulang?

Peluang yang sangat tinggi akan kembali kambuhnya penyakit schizophrenia terhadap manusia yang memiliki riwayat pengidap schizophrenia tentu saja tidak menjamin hal ini tidak terulang. Ibu pembawa anjing itu adalah korban, ia terserang penyakit jiwa. Tindakan yang ia lakukan adalah tindakan atas alam tak sadarnya. Dukungan moral dan penanganan yang benar merupakan sokongan besar memperkecil kambuhnya penyakit. Semakin kecil peluang kembali kambuh, semakin kecil pula perbuatan tidak menyenangkan (salah satunya adalah kasus yangs sedang hangat ini) terjadi. Semakin besar peluang kambuh, maka semakin besar pula kemungkinan kejadian hal tidak menyenangkan terealisasikan. Untuk itu, simpan ujaran cacian dan mulai berikan dukungan. Sekali lagi, ibu pembawa anjing itu adalah korban, pengidap gangguan kejiwaan, bukan tersangka.


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!