Manajemen Fakir, Kiat Sukses dalam Keterbatasan
Manajemen Fakir, Kiat Sukses dalam Keterbatasan – Haruskah sukses dengan pinjam modal? Semestinya hanya dengan kesederhanaan, kita bisa merintis kesuksesan dengan tanpa modal, plus tanpa hutang. Bagaimana caranya bisa begitu?
Sukma.co- Saya mikir agak bingung. Fakir itu lebih beruntung dari miskin. Fakir dianggap orang yang serba terbatas dalam memenuhi sandang, pangan, dan papan alias tidak cukup untuk dikatakan sebagai kebutuhan yang sederhana. Fakir dianggap punya sesuatu tapi selalu mearasa kekurangan. Sedangkan miskin adalah seseorang yang blas ra duwe opo-opo. Lalu hubungannya dengan manajemen fakir di mana manajemen semestinya surplus kaya.
Begini ceritanya. Baru saja seorang survival jalanan berkunjung ke rumah. Sehari sebelumnya dia mengontak saya melalui whatsapp. “Pak Mahpur, ada di rumah? Saya pinging silaturrahmi.” Saya tak langsung menjawab. Maklum, nomer tersebut tak bernama karena saya tak menyimpannya. Saya jawab, “ya. Ada. Silahkan.” Semoga saja memang saya tidak ada jadwal mendadak. Di pikiran saya sudah terpatok akan ada tamu datang. Tapi sampai malam belum juga ada yang datang. “Sudahlah, paling tidak jadi.” Saya mulai membebaskan pikiran saya dari kedatangan seseorang.
Waktupun berjalan hingga memasuki hari berikutnya. Nada dering Mahabarataku terdengar sangat pagi. “Assalamu’alaikum Pak. Ada di rumahkah sekarang. Saya sampai di rumah Bapak 3 jam lagi. Saya sudah di Batu.” Suara dibalik telpon pintar kemudian lenyap setelah saya jawab, “iya saya tidak kemana-mana.” Saya pun melanjutkan memainkan jempol melihat pesan whatsapp. Eh, dia tadi mengirim pesan tetapi belum sempat saya baca. Saya jawab pesan whatsapp tersebut, “loh….”
Dia kirim gambar dengan sepeda gunung dan sejumlah bekal. Saya agak terkejut. Dia tinggal di Kediri dan membawa sepeda gunung. Wah, saya kira dia memang pecinta bersepeda. Ya sudahlah, pikir saya. Setelah sampai di depan rumah, saya persilahkan masuk dan dia langsung peregangan dan berseloroh, “aduh pak, saya rebahan di lantai dan lesehan saja. Ternyata juga lumayan. Aduh.” Dia menunjukkan gerak dan kalimat capek setelah melalui medan naik turun gunung.
Dia pun kemudian mencoba menghibur diri sebagai cara mindfullnes. “Tidak masalah pak, ini saya berniat untuk menggunakan manajemen fakir. Saya nikmati saja deh. Bagaimana saat menanjak, memang penuh perjuangan. Apalagi medan yang dilalui melalui jalur Ngantang, Pujon, Batu. Menuju puncak ini memang butuh perjuangan di kaki. Setelah tanjakan selesai, lalu jalur turun seperti lega banget. Saya coba merasakannya dan baru bisa bersyukur luar biasa ketika setelah track menanjak dan kemudian turun, rasanya penuh kebahagiaan. Saya ini sedang menerapkan latihan manajemen fakir pak.”
Baca Juga: Menata Perwajahan Skala Psikologi
Kata-kata manajemen fakir itu selalu diulang-ulang sampai saya kemudian bertanya, “apa to yang kamu maksud manajemen fakir.” Dia menyahut, “ya kita berjalan saja ke tujuan kita. Membawa uang seadanya, bahkan bekal pun seadanya. Entah apa yang terjadi di perjalanan, kita akan selesaikan di perjalanan tersebut. Kalau capek, ya nanti istirahat di mana saja. Bisa di mushola, tempat istirahat di sekitar rute, di rumah penduduk setempat, atau kalau kita punya teman, dia bisa menjadi satu diantara pilihan singgah untuk istirahat.”
Semua serba seadanya. Itu yang disebut dengan manajemen fakir
Semua serba seadanya. Itu yang disebut dengan manajemen fakir yang disampaikan oleh tamu saya. Nah, bagaimana penjelasan dan implikasi terhadap manajemen itu. Padahal manajemen diperuntukkan untuk tujuan yang mendatangkan keuntungan, tetapi ini malah membuat percobaan latihan menjadi seorang fakir. Waduh, bikin bertolak belakang dan kontroversial banget.
Manajemen fakir itu saya dengar dan dikisahkan dari beberapa orang yang menjalani laku ruhani, laku kadigdayan, para peziarah, atau orang-orang yang punya niat perjalanan keliling wilayah dengan semangat tertentu. Saya beberapa kali mendengar model tirakat sepertinya, khusus bagi sejumlah teman yang menjalani riyadhoh (latihan ilmu ruhani). Ada yang tirakatnya berjalan kaki tanpa membawa bekal. Mereka harus bisa bertahan hidup di sepanjang perjalanan. Tanpa bekal adalah syarat yang harus dipenuhi karena di sinilah salah satu ujiannya. Dalam serba keterbatasan, mereka harus berani berjalan untuk mencapai tujuan tirakat.
Mulailah Usaha Dengan Kekuatan Sendiri.
Kalau orang dengan pikiran rasional, jelas tidak akan sanggup. Tapi beberapa pelaku tirakat tanpa bekal ini banyak sekali yang sanggup bertahan hidup dan mencapai tujuan tirakat. Mereka akan mengandalkan kebaikan orang lain. Singgah menginap dimanapun. Bisa di mushola, masjid, rumah penduduk, atau bahkan di gardu pos kampling. Semua serba mungkin. Soal makan, mereka akan juga tergantung pada kepedulian orang di sepanjang perjalanan. Bahkan, ada yang mencari sisa-sisa makanan di pasar. Semua dianggap mungkin agar bisa makan. Ada juga yang ekstrem memiliki pantangan minta makan ke seseorang. Mereka hanya menerima kalau diberi.
Baca Juga: Mahasiswa, Terperangkap Antri Gagal
Nah, para pengelana tersebut ternyata tidak juga kelaparan. Banyak sekali orang peduli memberi makan, memberi persinggahan, memberi tumpangan, bahkan menerima persaudaraan. Meski juga ada yang mengalami cobaan. Apa artinya? Dalam merintis usaha, memulai dengan yang sederhana adalah jalan untu belajar melampaui keterbatasan. Pasti bisa. Tidak perlu berhutang demi obsesi bisnis besar dengan hutang besar karena kita belum terbiasa menghadapi uang yang besar.
Jalan terjal atau menanjak itu perlu kita jalani, saatnya mendapatkan jalan mulus dan turun, wuih rasanya plong, bisa bersyukur bagaimana antara usaha keras dan hasil bisa dirasakan betul.
Sebagaimana dikatakan oleh tamu saya tadi, jalan terjal atau menanjak itu perlu kita jalani, saatnya mendapatkan jalan mulus dan turun, wuih rasanya plong, bisa bersyukur bagaimana antara usaha keras dan hasil bisa dirasakan betul. Jika jalan ini dilalui, maka pebisnis pemula akan lebih tahu jalan terjal sehingga tidak gegabah. Mereka akan mampu belajar bisnis dari pernik, pernik kecil dulu. Dirasakan, dihitung, dan disisakan labanya untuk dikembangkan perlahan-lahan. Inilah usaha yang dilakukan dengan kekuatan sendiri.
Memahami Peluang dan Keberuntungan
Ada hikmah lagi dari perjalanan tersebut yakni orang yang bepergian dengan manajemen fakir ditopang oleh kepercayaan dan kepasrahan diri. Itu modal penting. Tanpa percaya dan kebiasaan pasrah, yang ada keraguan, rasionalisasi, dan pesimis. Bagi orang yang terbiasa hidup dalam perhitungan, bepergian hanya dengan modal pas-pasan, jelas tidak masuk akal. Makan perlu biaya, minum, dan kebutuhan lainnya jelas membutuhkan biaya.
Tetapi bagi mereka yang tekadnya bulat, bepergian tanpa bekal ini toh bisa dijalani dengan baik. Selalu ada saja orang yang bisa disinggahi, peduli, dan mau berbagi membantu. Kepercayaan dan kepasrahan serta optimis menjadikan mereka terbuka bahwa dalam setiap perjalanan selalu ditemukan peluang, bahkan keberuntungan diri. Berdasarkan manajemen fakir, keterbatasan membutuhkan kepercayaan dan kepasrahan. Dua hal ini memancarkan energi peluang dan keberuntungan pada saat proses usaha kita dipenuhi dengan optimisme.
Kepercayaan dan kepasrahan serta optimis menjadikan mereka terbuka bahwa dalam setiap perjalanan selalu ditemukan peluang, bahkan keberuntungan diri.
Oleh karena itu, keterbatasan yang diliputi oleh kepercayaan, kepasrahan, dan optimisme akan menemukan jalan lahirnya peluang dan keberuntungan. Latihan manajemen fakir ini membelajari seseorang untuk berani menjalani usaha meski masih tidak punya modal besar. Dalam prosesnya, pelaku usaha akan belajar menemukan peluang dan nilai keberuntungan. Ini sangat penting karena minim kerugian karena memang dimulai dari modal juang dulu ketimbang modal uang. Ini menjadi skill membangun mentalitas untuk setia dan tekun menjalani proses. Ini akan berbeda dengan para sarjana yang biasanya meminta gaji besar saat lulus kuliah, atau pekerja yang sebentar kerja sudah loyo dan segera pingin pindak kerja lantaran ingin posisi enak. Manajemen fakir mendasari bahwa mentalitas perlu diuji dalam situasi penderitaan yang waktunya tidak singkat. Jika dilalui denga syukur dan sabar, akan lahir peluang dan keuntungan.
Silaturahim dan Teknik Berjejaring
Silaturrahim akan menambah rizki. Ini sebatas mitos hadits atau dapat ditemukan faktanya. Bagi si pengelana tadi, dia bersemangat untuk menjalin silaturahim, termasuk ke saya. Di sini kami mendiskusikan pekerjaan, peluang, dan jaringan. Kisah saling dipertukarkan. Informasi saling diberikan. Dia datangi koleganya dengan latar profesi berbeda. Dari sini melahirkan kesempatan baru. Ternyata si pengelana ini juga orang yang dekat dengan saya yang sedang mengembangkan pendidikan di Kediri. Saya sarankan dia bisa join. Ternyata sebagian kenalan saya pun terhubung dengan dia.
Nah, ini dapat melahirkan jaringan dan jika ditindaklanjuti maka akan menjadi kesempatan baru. Peluang ini tentu bisa mendatangkan rizki jika diambil untuk mengembangkan profesinya. Jadi, silaturahim yang baik dapat menjadi potensi bertukar profesi, mencari sumber tambahan dengan bertukar barang dagangan, atau saling merekomendasikan peluang dari banyak sisi. Bisa juga model paling sederhana, yakni sebatas berbagi cerita sukses dan cerita hikmah lainnya, akan membantu seseorang memutar refleksi kesadaran tentang keberadaan. Di level ini pun proses saling berefleksi akan menambah kualitas pemaknaan diri menjadi lebih aktual, mampu mengenali kebaikan diri, dan dapat menumbuhkan optimisme dalam membangun proses kehidupan diri. Ini dapat menjadi sarana mindfullnes, yakni kemampuan menyadari setiap proses kehidupan menjadi lebih nyata, berkualitas, dan dapat mereproduksi mental positif yang menyehatkan emosi serta pikiran manusia.
Dalam perjalanan seperti ini, karena bekal pas-pasan, pelaku pasti melepaskan ego. Dia harus ramah, bahkan dia akan singgah di manapun. Karenanya, jiwa silaturrahim perlu hadir. Dia mau tidak mau membutuhkan persinggahan agar dia diberkahi kemurahan hati orang lain. Dia pun perlu mengubah mindset di sepanjang perjalanan dan menjalin silaturahim dengan siapapun untuk mendatangkan kebaikan untuk selalu bisa menyesuaikan diri dan diterima orang lain. Tanpa ini semua, tirakat bepergian dengan bekal seadanya, niscaya para pejalan ini akan terhambat survival-nya, dan berbagai kebutuhan dirinya jelas akan lebih sulit dipenuhi. Inilah sifat yang penting bagi manajemen fakir.
Dan begitulah kira-kira kesimpulan refleksi saya setelah tamu saya yang bersepeda dari Kediri ke Malang. Turut senang saya menjadi bagian dari tujuan tersebut. Semoga perjalanan yang sudah dilalui sekarang dapat menjadi resolusi di tahun 2021. Semangat untuk inspirasinya, Saifuddin Zuhri.
Bagaimana yang lain, mau mencoba?