Maksum
Maksum, begitulah orang-orang memanggilnya. Lelaki bertubuh kurus yang suka menyebut dirinya sebagai lelaki biasa. Saya mengenalnya saat sekolah di Madrasah Aliyah. Ia lelaki yang bisa saya bilang pintar dan tak banyak membicarakan tentang dirinya. Selain berprestasi di kelasnya, ia juga cukup aktif di berbagai organisasi.
Ia pernah menjadi koordinator jurnalistik putra di sekolah kami. Waktu itu, saya hanya sebagai anggota dan satu tingkat lebih muda dari pada Maksum. Setiap hari Selasa sore kami berkumpul di sebuah kelas untuk melaksanakan ekstra Jurnalistik. Kami dibimbing oleh seorang Ning yang berpengalaman, yang telah menulis lima novel terbaik. Saya mendapatkan banyak hal berharga dari setiap prosesnya.
Hingga ia kuliah, saya jadi jarang melihat lelaki itu. Ia memutuskan untuk kuliah di Yogyakarta, sedang satu tahun kemudian saya kuliah di Malang. Meskipun demikian, ia menyempatkan untuk menghubungi saya tiga bulan sekali, sekalipun terkadang hanya menanyakan kabar saya. Seperti yang saya ceritakan di paragraf pertama, ia tipe lelaki yang tak banyak membicarakan tentang dirinya. Dari awal sampai akhir kami mengobrol, tak sekalipun ia membahas tentang dirinya, kecuali informasi singkat tentang tempat kuliah dan jurusan yang ia ambil. Ia mampu lulus di semester ke tujuh, meski terkadang lelah harus membagi waktu untuk bekerja di sebuah tempat foto kopi setiap sore atau malam hari. Setelah lulus ia bekerja menjadi staf wartawan di salah satu perusahaan media televisi di Jakarta.
“Kamu pasti bisa melewati ini semua, Ra. Kamu hanya cukup untuk melakukan sesuai kemampuanmu, selebihnya biar Tuhan yang menunjukkan yang terbaik. Saya mengenalmu sebagai seorang yang pantang menyerah,” begitu katanya, menyemangati saya di ujung telepon genggam.
Oh, iya, sebelumnya perkenalkan, nama saya Aksara. Saya kurang begitu suka menulis seperti Maksum, tapi saya selalu suka membaca, terutama tulisan fiksi. Maksum pernah memberi hadiah sebuah buku kepada saya, yang ternyata itu adalah tulisan-tulisannya.
Semula, saya tak mengerti mengapa ia begitu peduli pada saya. Tapi, setelah lama kami akrab, saya mengerti, laki-laki itu peduli tidak hanya pada saya. Saya pernah beberapa kali memergokinya menyisihkan penghasilannya, dimasukkannya ke dalam amplop, dan diberikannya kepada fakir miskin. Ia sesungguhnya bukanlah anak orang kaya, ia selalu berpenampilan sederhana dan lebih banyak memedulikan sekitarnya. Ia juga banyak membantu teman-temannya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Sekalipun ia tak pernah memberitahukan kebaikan-kebaikannya itu, saya tahu dari cerita teman-teman komunitasnya, yang pernah diajak untuk mengunjungi panti asuhan kecil di ujung gang, sebuah jalan kecil yang ia lewati ketika berangkat ke kampus.
“Ia menangis terharu dan teringat dirinya sendiri jika mengunjungi panti asuhan. Saya yakin ia punya masa lalu di sana,” begitu kata teman-temannya.
Saya sudah mengagumi tulisan-tulisannya diam-diam semenjak sekolah di Madrasah Aliyah, dan kini setelah mengetahui banyak tentangnya, saya menjadi semakin menyukainya.
Dan entah hal apa yang membuatnya resign dari staf wartawan. Semenjak itu, ia mengubah nomor teleponnya dan sama sekali tidak mengabarkan kepada saya. Tidak hanya itu, ia juga menutup akun facebook dan media sosial lainnya. Saya jadi tidak bisa membaca lagi tulisan-tulisannya. Tak seorang pun tahu, di mana dan bagaimana kabarnya sekarang. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah melakukan hal besar seperti ini. Saya yakin, sesuatu yang besar telah terjadi padanya. Namun apapun yang menjadi pilihannya saat itu, saya percaya ia sudah memikirkannya dengan baik. Saya selalu berdoa, semoga ia baik-baik saja. Saya mengenal ia sebagai seorang yang pandai menyelesaikan segala permasalahan.
Dua tahun berlalu, saya tak pernah mendengar kabar tentangnya. Saya berhasil lulus di semester sembilan, kemudian memilih untuk mengajar di sebuah sekolah dasar di kampung saya.
Saya hampir saja putus asa dan memilih untuk menikah dengan laki-laki lain. Bulan demi bulan saya lalui dengan kehampaan, namun saya tetap terlihat ceria, seperti saat saya tidak sedang bersedih.
Kamu tahu, seseorang yang saya ceritakan dari awal paragraf hingga akhir, saat ini ia sudah duduk di samping saya. Ia melingkarkan tangannya ke tubuh saya.
“Masa-masa yang sulit itu sudah lewat, Ra, dan saat ini saya merasa jauh lebih baik dengan pekerjaan yang baru,” begitu katanya singkat.
Maksum kembali setelah tahun-tahun yang hening. Perasaan saya kepadanya tak pernah benar-benar kering. Tiga minggu yang lalu ia datang melamar saya bersama keluarganya. Ia mengenakan baju koko yang rapi, lengkap dengan peci hitam di kepalanya. Wajahnya terlihat sangat bersih serta air mukanya yang tenang. Di hadapannya, saya tidak bisa mengucapkan apa pun selain kalimat syukur dan menangis bahagia. Dua minggu sesudahnya kami melaksanakan pernikahan yang sederhana. Teman-teman kami datang mengucapkan selamat. Kamu tahu, sampai saat ini, saya masih belum benar-benar mempercayai semua yang terjadi dan selalu menanyakan kepadanya, apakah saya sedang bermimpi? Laki-laki itu tersenyum menatap wajah saya. Ia tidak menjawab pertanyaan saya. Hanya dua puluh senti meter, dan lelaki itu mengecup ujung bibir saya. ~
April, 2020.
Mukhammad Fahmi.