Cerpen Imajinasi

Kulihat Matanya Berair

April 16, 2019

author:

Kulihat Matanya Berair


Dmitri Anatolievici Belomysev (Russian, b. 1964)

Tahun itu adalah tahun yang berat baginya. Saya mengerti betul. Ada begitu banyak tragedi yang akhirnya membuatnya depresi, tidak seburuk kedengarannya, tapi ia merasa dunia begitu hening dan hampa. Ia merasa begitu lelah dan ingin istirahat dari segala rutinitas.

Tiga tahun belakangan ia menghilang, dan tentu saja saya merasa sedih. Ia melarikan diri dan menutup akses dirinya pada dunia. Tak membiarkan orang-orang mengetahui jejak keberadaannya. Nomor kontak dan segala media sosialnya pun tak dapat saya akses sama sekali. Untungnya saya kenal baik dengan saudara dekatnya. Ia dengan senang hati memberikan alamat tempat tinggal sahabat saya itu. “Jenguklah, Ri. Ia pasti sedang merindukanmu,” begitu katanya.

Maka saya memutuskan cuti beberapa hari untuk berkunjung ke tempat tinggalnya sekarang yang ada di Banten. Menuntaskan janji yang sempat tertunda lama.

Sesampainya di sana saya disambut dengan haru. Ia memeluk tubuh saya agak lama. Dilihatnya sekali lagi wajah saya. Ia seperti tak percaya bahwa yang dilihatnya itu adalah saya. Kemudian ia mengajak saya untuk mengobrol di kursi taman samping rumahnya. Ia membawa es krim kesukaan saya dulu dan beberapa makanan ringan. Ia kemudian bercerita banyak hal.

“Saya hanya merasa selama ini hidup dikelilingi sesuatu yang maya, sesuatu yang fana, sesuatu yang tak benar-benar ada, sesuatu yang tak membersamai, sesuatu yang seringkali pura-pura, sesuatu yang hanya akan membuat saya semakin kehilangan, dan saya butuh tempat untuk sendiri,” katanya.

Saya memahami maksudnya. Dan ternyata dia baik-baik saja. Barangkali memang setiap orang butuh kesunyian agar bisa mendengar suara kalbunya yang bening. Ia kemudian bercerita lebih panjang lagi.

“Saya memutuskan untuk memaafkan dan tidak mengusut lagi siapapun yang terlibat dalam tragedi itu. Saya akhirnya melakukan perjalanan sendiri. Mendiami kota-kota yang tenang, mengunjungi lautan yang sunyi dan pulau-pulau kecil yang damai, memahami setiap jalan-jalan yang sepi. Ke pameran-pameran, ke pertunjukan seni, dan bertemu dengan orang-orang yang baik.

Setelah pulang dari berbagai perjalanan itu, saya banyak berpikir tentang menjalani hidup. Barangkali persoalan-persoalan yang tak pernah menemukan jawaban, memang tak perlu ada jawaban. Saya sudah mencari dan tak menemukan apa-apa. Saya hanya ingin menjalani hidup saya dengan hal-hal yang ingin saya lakukan. Saya ternyata tidak selalu bisa menyenangkan semua orang dengan kehidupan yang saya pilih, karena sudah terlalu lama saya hidup dipenuhi dengan prinsip-prinsip, dan sudah terlalu lama saya tidak bahagia.

Sesuatu yang kita cintai pada akhirnya adalah yang paling membuat kita terluka. Karena ada beberapa orang yang tak menyukainya, sehingga selalu ada harga yang harus dibayar.

Suatu ketika dalam hidup saya, saya merasa telah cukup reda. Saya telah cukup menjadi ayah yang baik, suami yang baik, saudara yang baik, dan juga rekan-rekan kerja wartawan yang baik. Meski saya tahu setiap manusia akan melakukan hal yang sama.

Suatu hari, saya merasa telah cukup melakukan segalanya selain untuk diri saya sendiri.

Hari itu. Saat udara begitu dingin. Saat hujan tak kunjung reda. Saya duduk sepanjang pagi menatapi sebatang pohon sawo di halaman rumah, dari balik kaca jendela. Banyak sekali hal yang berkelebat di kepala saya. Dan di penghujungnya tiba-tiba saya merasa reda. Kau tahu artinya, saya putus asa. Saya telah benar-benar siap. Dan berniat untuk mengakhiri semuanya. Saya hampir saja melakukannya. Namun wajah almarhum istri dan juga anak-anak saya menghentikannya. Mereka berdiri mematung dari balik jendela. Seperti mengatakan sesuatu, namun tak satu katapun yang saya dengar. Tapi penglihatan saya seperti dapat menangkap kesedihan mereka, jika saya semakin jauh impian mereka.

Saya tersadar dan meletakkan kembali pisau dapur itu. Ternyata menegakkan sesuatu yang benar dan berperan sangat baik kepada setiap yang kita kenal akan membuat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai, tentu untuk membayar itu semua. Dan apabila kita tak kuasa menghadapinya, maka kita tak akan lagi bisa mengenal diri sendiri.

Kita selalu diajari tentang hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia lain, hubungan dengan alam semesta. Tapi kita tak pernah diajari hubungan dengan diri kita sendiri. Bagaimana menyayangi ruh dan jiwa kita sendiri. Saya kira itu sebabnya banyak jiwa-jiwa yang tersesat, karena tak bisa memberi jalan yang benar untuk dirinya sendiri. Sebab perjalanan paling panjang seorang anak manusia di muka bumi ini sesungguhnya tidaklah ke mana-mana, melainkan hanya menuju pada dirinya sendiri.”

Ia bercerita cukup panjang dengan menggunakan kalimat-kalimat yang begitu menenangkan. Ia adalah sahabat baik yang pernah saya kenal selama ini. Hari itu, ia mengajarkan saya banyak hal. Dan kulihat matanya berair. ~

April, 2019.

Mukhammad Fahmi.


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!