KASUS AKSEYNA: HUTANG NEGARA YANG BELUM LUNAS
SUKMA.CO – Kepedihan, kesedihan, dan keresahan hingga kini masih terus menghantui benak Mardoto dan keluarga. Pasalnya, kasus kematian sang buah hati tercinta, Akseyna Ahad Dori (19), belum juga menemukan titik terang. Lima tahun lalu, tepatnya pada Kamis (26/05/2015) silam, kampus tempat Akseyna belajar menjadi saksi bisu kepergiannya untuk selama-lamanya. Keluarga tidak pernah menyangka bahwa mayat laki-laki yang ditemukan tewas terapung di danau kenanga Universitas Indonesia (UI) itu adalah Akseyna. Dalam kondisi seperti ini, ketahanan mental keluarga dan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum benar-benar tengah diuji.
Sungguh bukan hal yang mudah untuk menerima kenyataan atas kematian orang terkasih yang hingga kini tanpa kejelasan. Menurut Eko Hariyanto, dosen kriminologi UI, nyawa merupakan suatu hal yang paling berharga bagi setiap insan. Oleh karenanya, Negara wajib untuk melindungi nyawa setiap warganya dari segala upaya pelanggaran oleh orang lain. Langkah perlindungan yang harus ditempuh oleh Negara ialah dengan memberi ancaman hukuman seberat mungkin kepada si pelaku pembunuhan.
Sayangnya, hingga lima tahun berlalu kasus ini masih saja mandek, belum ada kepastian yang memberikan pencerahan bagi keluarga Akseyna. Belum ada bukti baru yang signifikan, atau bahkan nama yang diduga terlibat kuat dalam kematian mahasiswa departemen Biologi UI ini.
Meskipun begitu, pihak keluarga nyatanya tidak pernah kehilangan arah. Harapan dan semangat dalam mengungkap kebenaran di balik kasus penghilangan nyawa Akseyna, atau yang akrab disapa Ace semakin lantang disuarakan melalui tagline #MENOLAKLUPA yang diserukan oleh akun Instagram @peduliakseynaui. Akun tersebut dikelola oleh keluarga almarhum dan digunakan sebagai media untuk mengabarkan perkembangan kasus kematian Akseyna kepada khalayak.
Kinerja kepolisian dalam melakukan penyelidikan kasus Akseyna belakangan ini tengah menjadi sorotan publik. Sempat terkubur cukup lama, kasus misteri kematian Akseyna menambah lagi daftar panjang cold cases dalam tubuh kepolisian di Indonesia. Cold cases adalah istilah asing yang terbentuk dari istilah ”Cold”, yang berarti dingin dan istilah ”Cases”, yang berarti kasus. Oxford Dictionaries mendefinisikan cold cases sebagai, ”An unsolved criminal investigation which remains open pending the discovery of new evidence”. Singkatnya, cold cases merupakan penyelidikan perkara pidana yang belum terpecahkan, tetapi terbuka untuk diusut kembali penyelesaiannya selama ditemukan bukti baru.
Baca Juga : Kenali Apa itu Depresi dan Bagaimana Gejalanya
Menurut peneliti Komisi Kepolisian Nasional, Zakarias Poerba, tingginya jumlah cold cases di Indonesia disebabkan oleh minimnya sumber daya kepolisian. Berdasarkan penelitian, penyelesaian kasus yang terjadi di Indonesia masih sangat rendah, yakni hanya sebesar 53% setiap tahunnya. Kriminolog UI, Adrianus Meliala, dalam tayangan program Mata Najwa pada Rabu (29/07/2020) malam juga membenarkan fakta tersebut. Berdasarkan pengalamannya selama bekerja di Kompolnas, kurang lebih terdapat 200-300 perkara pidana cold cases yang harus ia tangani.
Apakah Kejahatan yang Sempurna Itu Benar-Benar Ada?
Sudah genap lima tahun kasus Akseyna bergulir. Namun, jajaran Polres Metro Depok masih terlihat seolah tengah menyusuri terowongan yang tak berujung. Enam Kapolres silih berganti menduduki jabatan, tetapi belum ada yang mampu mengungkap kejahatan misteri kematian Ace. Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti, yang menjabat pada tahun 2015 lalu bahkan turut mengakui bahwa kasus ini memang paling sulit untuk dipecahkan.
Ketiadaan hasil signifikan yang mendekatkan penyelidikan polisi untuk memecahkan kasus lantas memunculkan sebuah pertanyaan besar dalam benak penulis. Sebenarnya, “apakah kejahatan yang sempurna (the perfect crime) itu benar-benar ada?“
Kriminologi menentang istilah “the perfect crime” dan meyakini bahwa ketidaksempurnaan itu berlaku dalam skenario kejahatan manapun, sehingga akan selalu ada celah yang menjadi bahan polisi untuk menangkap pelaku. Namun nyatanya, ada banyak sekali celah yang justru hanya berakhir menjadi tanda tanya besar bagi polisi tanpa bisa dibuktikan secara hukum, atau dimanfaatkan untuk kepentingan pengungkapan kasus, termasuk dalam kasus yang menimpa almarhum Ace ini.
Sekedar mengingatkan, tim penyidik awalnya menduga jika Ace mengakhiri hidupnya dengan sengaja. Hal ini diperkuat dengan temuan surat tulisan tangan Ace yang berisi tentang salam perpisahan. Namun, setelah dilakukan penyelidikan secara mendalam polisi justru menemui berbagai kejanggalan dan menguatlah keyakinan bahwa Ace adalah korban pembunuhan.
Beberapa kejanggalan tersebut terangkum dalam fakta yang disampaikan oleh pihak Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, yang mana pada tubuh korban ditemukan bekas luka lebam di bagian kepala, bibir, dan telinga yang mengindikasikan adanya penganiayaan hingga dirinya tak sadarkan diri sebelum akhirnya ditenggelamkan di danau. Selain itu, terdapat sobekan pada bagian ujung belakang sepatu korban, baik itu kanan dan kiri yang mengindikasikan korban diseret masuk ke dalam danau oleh pelaku.
Temuan air, pasir, dan ganggang di paru-paru juga mengindikasikan Ace dalam kondisi pingsan saat tenggelam, bukan menenggelamkan diri saat masih hidup.
Baca juga : Berkawan dengan Rasa Inferioritas, Menguntungkan?
Hemat penulis, kemunculan surat wasiat perpisahan yang mengatasnamakan Akseyna juga turut menyumbang kontribusi besar dalam meruntuhkan motif bunuh diri dalam kasus ini. Bukti inilah yang memberikan titik terang mengenai upaya pelaku yang nampak bersikeras menggiring tim penyidik dan keluarga korban pada kesimpulan akhir bahwa Ace memang telah berencana mengakhiri hidupnya.
Ahli analisis tulisan tangan alias Grafolog, Deborah Dewi, memberikan pernyataan bahwa tulisan pada surat tersebut digoreskan oleh dua orang yang berbeda. Surat wasiat yang ditemukan tertempel di dinding kamar indekos almarhum semakin menegaskan bahwa pelaku adalah orang yang mengenal korban dan memiliki akses untuk keluar masuk ke dalam kamar kost Ace. Sayangnya, temuan tersebut tidak memberikan efek yang signifikan dalam upaya pelacakan identitas pelaku.
Hal lain yang perlu disoroti ialah, sulitnya mengungkap motif, menentukan daftar tersangka, dan latar belakang dari pembunuhan itu. Kemudian, pada awal proses penyidikan banyak pihak menyayangkan kinerja Polsek Beji dalam menangani Tempat Kejadian Perkara (TKP). Hal ini dipicu oleh tidak diperlakukannya TKP dengan baik lantaran keterlambatan kepolisian dalam memasang garis polisi di sekitar TKP, sehingga lokasi sekitar danau menjadi ramai dikerumuni warga. Alhasil, TKP menjadi rusak dan ini jelas menyusahkan penyelidikan lebih lanjut. Kemudian, jasad Ace yang langsung dievakuasi juga membuat banyak hal-hal kecil yang mungkin dianggap remeh dan tak punya nilai apapun, tetapi bagi aparat penegak hukum justru memiliki nilai berharga untuk mengungkap kasus jadi hilang.
Mungkin saja ketidaksempurnaan atau celah-celah yang harusnya bisa menuntun penyidik untuk mengungkap pelaku justru menjadi luput karena kerja kepolisian yang kurang berhati-hati dalam menangani TKP.
Meskipun begitu, selalu ada secercah harapan selama atensi yang kuat untuk mengungkap kasus tersebut masih terus berkobar dalam tubuh kepolisian. Membeku selama lima tahun, dibukanya kasus Akseyna pada awal tahun ini, kembali memicu harapan dari keluarga. Tepat pada bulan Februari (04/02/2020), polisi melakukan penyelidikan dengan menggelar olah TKP ulang. Pihak kepolisian pun telah mengantongi keterangan baru dari satu saksi tambahan. Sejak penyelidikan kasus ini digelar, tercatat sebanyak 29 orang saksi sudah dimintai keterangan. Beberapa bukti juga sudah dikumpulkan sebagai upaya menemukan kebenaran di balik tewasnya mahasiswa asal Yogyakarta ini. Sayangnya, hingga kini belum ada penjelasan detail soal hasil penyelidikan ulang tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Mardoto dalam tayangan Mata Najwa (29/07/2020), “Kalau informasi atau temuan baru yang update-an dari pihak berwajib, saya belum terima. Eee, terakhir saya sempat ke Depok dua tahun yang lalu dan hanya dijanjikan masih dilanjutkan, seperti itu. Meskipun saya mendengar di awal tahun ini dari rekan-rekan jurnalis ada olah TKP lagi, tetapi saya tidak pernah mendengar bagaimana perkembangannya”, terang Mardoto.
@Peduliaksyenaui; Media Kontrol Sosial Kasus Akseyna
Media merupakan alat yang berfungsi untuk menyampaikan pesan dan menjadi sarana belajar untuk memahami berbagai peristiwa. Tidak ada yang menyangkal kuatnya pengaruh media massa dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat di era modern ini. McQuail, ahli teori komunikasi, memandang media massa sebagai jendela yang memungkinkan masyarakat melihat apa yang tengah terjadi di luar sana. Aktivitas media yang dijalankan dalam melaporkan peristiwa-peristiwa hukum ternyata mampu memberi dampak yang signifikan bagi perkembangan sistem hukum, maupun bekerjanya hukum.
Dalam kasus Ace, keluarga secara aktif melibatkan diri untuk mengelola media sosial lewat platform Instagram, yang berfungsi sebagai sumber informasi publik terkait perkembangan terbaru penyelidikan. Menariknya, media sosial tersebut tidak hanya ditujukan sebagai sumber informasi publik semata, melainkan juga sebagai faktor pendorong (trigger) guna memengaruhi penyidik, atau atasan penyidik yang terlibat dengan perkara agar senantiasa tetap menghangatkan perkara pidana yang tengah ditangani.
Hal tersebut dilakukan karena atensi yang kuat dari atasan penyidik sangatlah dibutuhkan untuk mengusut kembali tumpukan daftar cold cases yang ada di Indonesia, khususnya pada kasus pembunuhan yang minim, atau sama sekali tidak ada bukti permulaan untuk menemukan tersangka/pelaku.
Pelaksanaan fungsi kontrol sosial umumnya lebih sering dilakukan oleh pers dan sebagian besar ditujukan kepada pemerintah dan aparat Negara. Tujuan mendasar dalam hal ini tak lain untuk membela kepentingan masyarakat. Di era digital ini, kontrol sosial semakin bebas dijalankan oleh masyarakat sebagai bagian inti dari sistem kemasyarakatan. Contohnya bisa Anda temui dalam media sosial @peduliakseynaui, atau akun media sosial milik publik figur yang menaruh perhatian pada beragam isu yang mendukung kepentingan masyarakat luas.
Oleh Zakaria Purba dkk. (2014:66) dijelaskan bahwa media massa dapat memberikan daya dorong terhadap proses dan perubahan penegakan hukum pidana. Pemberitaan penegakan hukum melalui media sosial sangat berpotensi untuk menyebarluaskan informasi pengusutan sebuah perkara. Daya jangkaunya juga tidak terbatas sebab media sosial mampu melewati batas wilayah, serta menjangkau masyarakat dari berbagai kalangan;jenis kelamin, kelompok umur, latar belakang pendidikan, status sosial-ekonomi, dan orientasi psikografis. Melalui itu, diharapkan ada umpan balik dari penyidik dan terlahir dampak psikologis yang membangun kinerja mereka menjadi semakin optimal dan transparan karena terpantau oleh publik.
Baca juga : Apakah Memiliki Fetish Selalu Berarti Memiliki Gangguan Seksual?
Penulis pribadi sangat berharap pihak kepolisian dapat mempertimbangkan saran yang disampaikan oleh para ahli dalam mengkaji kasus ini. Krimonolog UI, Adrianus Meliala, dalam tayangan Mata Najwa (29/07/2020) menekankan bahwa kepolisian perlu menggunakan cara kerja yang tak biasa dalam menangani sejumlah cold cases ini. “Jadi, pada konteks kasus Akseyna, misalnya, Saya kira perlu ada satu direktorat khusus, satuan tugas khusus yang memang tidak perlu dikejar-kejar waktu, rajin begitu yah mendalami semua elemen sehingga kemudian terungkap, atau bahkan tidak usah dibekali dengan suatu keharusan untuk mengungkap, yang penting prosesnya dibuka semua..” jelas Adrianus. Masukan ini penting, mengingat ada batasan kadaluwarsa dalam melakukan pemeriksaan kecuali ditemukan lagi bukti-bukti baru yang bisa membantu penyidik.
Sampai artikel ini dimuat, seluruh keluarga almarhum Ace masih terus berusaha mencari jalan pengungkapan kasus ini, sembari berharap akan adanya kabar baik dari hasil penyelidikan terbaru yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Tidak ada yang bisa menjawab kapan tepatnya Negara akan membayar lunas hutang pengungkapan kasus kematian Ace. Namun, satu hal yang pasti bahwa tagline #MENOLAKLUPA akan senantiasa disuarakan untuk menghidupkan pengharapan, karena perjuangan memperoleh keadilan dan kebenaran adalah harga mati yang tidak bisa ditawar.
Referensi:
Hariyanto, Eko. 2014. Memahami Pembunuhan. Jakarta: Kompas
Poerba, Zakarias., Suryana, Jaka., dan Prabowo, Gunawan Eko. 2014. Cold Cases: Apa dan Bagaimana?. Jakarta: Komisi Kepolisian Nasional
https://www.hukumonline.com/
Penulis: W.R. Elsa Pratiwi
Editor: Mely Santoso