Di mana Letak Hati Nurani Itu?
Sukma.co – Kabar paling hangat saat ini adalah adanya pengeroyokan yang dilakukan oleh 12 siswi SMA kepada satu orang siswi SMP. Miris memang, lalu di mana letak hati nurani itu? Mengapa sesama perempuan bisa berlaku demikian bengisnya. Sudah hilangkah rasa saling mengasihi? Mengapa tindakan sedemikian brutalnya bisa terjadi pada anak-anak SMA? Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?
Tentunya, semua tidak terlepas dari peran orangtua yang telah mendidik sang anak. Lalu apa orangtua patut disalahkan? Mari kita tarik benang merahnya. Di sini saya hendak mengambil fokus tentang peran orangtua sebagai role model bagi anak. Bagaimana sang orangtua membentuk perilaku sang anak, bagaimana orangtua mengkondisikan sikap dan lisan sang anak. Bagaimanapun, peran orangtua sangatlah penting untuk perkembangan sang anak, baik secara kognitif, afektif, ataupun motorik.
Selain itu, lingkungan juga mempunyai andil yang cukup untuk mempengaruhi perkembangan anak. Lingkungan yang baik tentu akan membentuk pribadi yang baik, demikian juga dengan lingkungan yang tidak baik. Karenanya, tidak heran jika anak yang semula dikategorikan sebagai anak yang baik, seiring dengan berjalannya bisa berubah ketika berteman dengan anak-anak yang mempunyai pergaulan bebas. Jangankan anak, orang dewasa pun bisa saja terpengaruh dengan lingkungan yang kurang baik.
Lalu bagaimana solusinya? Sebagai anak muda yang peduli akan generasi masa depan, sudah selayaknya kita pandai-pandai memilah dan memilih informasi-informasi yang dan tidak untuk dibagikan kepada orang lain. Banyak berita hoax yang seringkali membuat orang justru terjerumus dengan informasi palsu. Demikian bahayanya media sosial saat ini. Seiring dengan kemajuan teknologi yang serba mudah, tidak sedikit juga kejahatan yang diselipkan di sela-selanya. Lalu tegakah kita jika generasi milenial ini akan terus terjerumus dalam jurang kenistaan?
Kembali pada kasus Audrea, gadis kecil tidak bersalah yang menjadi korban kebrutalan gadis-gadis SMA di salah satu sekolah di Pontianak. Menilik lebih dalam, yang menjadi pertanyaan terbesar saya saat ini adalah mengapa mereka begitu tega mengotori tangannya sendiri untuk melukai psikis Audrea? Bukankah mereka juga sama-sama perempuan? Lalu di manakah hati nurani itu jika seorang perempuan telah melakukan hal sekeji ini? Terutama adalah salah seorang siswi SMA yang melakukan kekerasan seksual dengann memasukkan jari telunjuk ke kemaluan korban. Tidakkah berpikir jika dia mengalami hal yang sama? Sungguh, di mana letak kelembutan hati seorang perempuan jika sudah begini caranya? Benarkah iblis telah membutakan mati hati orang-orang baik dan menjadikannya busuk dengan sedemikian rupa?
Dengan lihainya 12 siswi tersebut memberikan jejak digital yang buruk di tahun 2019 ini. Sungguh miris sekali. Jujur, saya tidak bisa membayangkan kondisi psikologis Audrea saat ini. Sore tadi, saya mendapatkan informasi dari teman saya bahwa saat ini Audrea tengah depresi dan sulit untuk diajak komunikasi. Miris, sungguh miris sekali. Siswi SMP yang mempunyai perjalanan panjang untuk menggapai masa depan malah dikotori perjalanan hidupnya seperti ini. Siapapun pasti mengutuk diskriminasi ini. Apalagi trauma psikologis yang akan dialami Audrea, tentu akan tersimpan di long term memory dan akan menjadi memori paling buruk yang pernah ada sepanjang hidupnya. Lantas hukuman apa yang paling tepat untuk kedua belas siswi SMA ini?
Secara tidak langsung mereka telah mengabarkan kepada khalayak ramai bahwa mereka telah melakukan perilaku yang tidak terpuji. Lalu bagaimana mungkin rekam digital akan menghapus perilaku mereka? Bahkan setelah ada di kantor polisi pun, mereka tidak juga merasa bersalah atas apa yang mereka lakukan. Kebetulan sore tadi saya melihat sendiri akun instagram salah satu pelaku kekerasan ini. Dengan santainya dia mem-posting dirinya dan teman-temannya ketika berada di kantor polisi. Apa sejatinya yang salah dengan ini? Apa urat malunya sudah benar-benar putus? Lalu bisakah manusia hidup dengan baik tanpa rasa malu?
Sekali lagi, di mana letak hati nurani itu? Benarkah generasi kita saat ini telah begitu bobroknya? Benarkah orang baik semakin langka di dunia ini? Lalu bagaimana dengan anak cucu kelak jika generasi kita saat ini sudah seperti ini? Yang harus kita lakukan adalah memangkas perilaku-perilaku busuk tersebut. Benar saja semua orang itu baik, namun mempunyai tingkat kebusukan yang berbeda. Saya selalu waspada dengan orang-orang yang ada di sekitar saya. Karena bisa jadi, orang yang paling dekat dengan kita adalah orang yang paling dalam melukai hati kita. Mengapa? Karena mereka mengetahui banyak hal tentang kita, maka dengan mudahnya mereka bisa menghancurkan kita kapan saja. Bagaimanapun, hati manusia tiada yang tahu. Saat ini bisa baik, esok entahlah.
Semua orang bisa melakukan keburukan. Bertahan untuk tetap menjadi baik membutuhkan pondasi yang kuat dalam diri kita. Sudahkah pondasi itu kuat dalam diri kita masing-masing? Entahlah, yang bisa mengukurnya adalah diri kita sendiri. Bisa jadi orang lain menganggap kita baik, bisa jadi orang lain menganggap kita buruk. Namun bukankah yang paling mengetahui sejatinya diri kita adalah diri kita sendiri? Berpura-pura baik ataupun berpura-pura buruk di hadapan orang lain mungkin bisa saja kita lakukan. Namun apakah bisa kita berpura-pura di hadapan Tuhan? Iya, di hadapan pemilik alam semesta yang menciptakan hati nurani untuk saling mengasihi, bukan untuk saling melucuti harga diri antar sesama.
Jakarta, 11 April 2019