Dewi Ayu “Cantik Itu Luka” dalam Perspektif Feminisme
SUKMA.CO – Beberapa waktu yang lalu sembari melakukan himbauan pemerintah untuk stay at home, saya berhasil menyelesaikan bacaan novel “Cantik itu Luka” karya Eka Kurniawan. Sebenarnya ini bukanlah novel baru, novel ini sudah diterbitkan sejak tahun 2002 serta telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa. Awal mula saya tertarik membaca novel ini karena judulnya yang menurut saya aneh. Bagaimana tidak, jika seharusnya menjadi cantik merupakan sebuah dambaan dan impian semua perempuan dan bukanlah sebuah luka. Rasa penasaran saya inilah yang membawa saya mampu menyelesaikan novel dengan tebal 494 halaman ini.
Novel yang berlatar belakang sejarah pada akhir masa kolonial Belanda ini menceritakan Dewi Ayu, seorang perempuan keturunan Indonesia-Belanda yang menjadi pelacur terkenal di kotanya. Ia hidup bersama ketiga anak-anak perempuannya yang cantik namun tidak diketahui siapa ayahnya. Ia adalah Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Sedangkan si bungsu, putri keempat Dewi Ayu lahir dua belas hari sebelum Dewi Ayu meninggal lahir dengan wajah buruk rupa, sesuai dengan keinginan Dewi Ayu saat si bungsu masih dalam kandungan.
Baca Juga: Kehidupan Di Era Moderat, Tipisnya Batas antara Kepalsuan dan Realita
Terlepas dari profesinya sebagai pelacur, Dewi Ayu merupakan sosok perempuan yang cerdas dan memiliki pemikiran yang berbeda dari pemikiran orang pada umumnya. Ia sosok perempuan yang kuat, mampu menjalankan peran ganda sebagai seseorang yang melahirkan, mengurus, membesarkan, melindungi, mencari nafkah, serta mendidik anak-anaknya dengan baik meski tanpa suami disampingnya. Gambaran mengenai Dewi Ayu mampu menghilangkan kesan bahwa perempuan merupakan sosok yang lemah, tidak berdaya dan berada pada kelas kedua dalam masyarakat.
“Ia hanya pergi waktu senja datang dan kembali ke rumah ketika pagi tiba. Lagi pula ia punya tiga anak gadis yang harus diurus: Alamanda, Adinda, Maya Dewi yang lahir tiga tahun setelah Adinda. Jika malam hari, anak-anak itu ditemani oleh Mirah, namun di siang hari ia mengurus anak-anak itu sebagaimana seorang ibu pada umumnya. Ia mengirimkan anak-anak itu ke sekolah terbaik, bahkan mengirimkannya pula ke surau untuk belajar mengaji pada Kyai Jahro. “Mereka tidak boleh menjadi pelacur” katanya pada Mirah. “Kecuali atas keinginan mereka”. (Cantik itu luka, 2015: 104).
Baca Juga: Berteman Dengan Quarter Life Crisis (QLC)
Dewi Ayu merupakan sosok yang bertanggung jawab akan anak-anaknya. Meskipun profesinya sebagai pelacur, ia tidak ingin anak-anaknya mengikuti jejaknya kecuali jika keinginan anak itu sendiri. Ia sosok yang keibuan, penuh kasih sayang, dan penuh cinta kepada anak-anaknya. Bahkan ia tak segan untuk mengajarkan kemandirian kepada anak-anaknya sewaktu kecil, seperti mengurus rumah.
“Tak lama setelah itu baru menyadari bakat luar biasa istrinya sebagai ibu rumah tangga. Ia tak hanya menyediakan pakaian-pakaian yang rapi tersetrika dan bahkan wangi untuk ia kenakan, ia bahkan memasak semua masakan yang mereka makan dan ia rasakan begitu nikmah di lidah. Dewi ayu telah mengajarinya sejak ia masih kecil, begitu Maya Dewi menjelaskan. (Cantik itu luka, 2015: 265)
Selain memperjuangkan anak-anaknya, Dewi Ayu turut memperjuangkan hak orang-orang terdekatnya. Sebagai salah satu tahanan Jepang yang ditempatkan dalam kamp penampungan karena statusnya sebagai keturunan Belanda, kehidupan Dewi Ayu mengalami situasi sulit. Bahkan untuk membantu ibu temannya yang sakit, ia menyetujui tawaran Komandan Kamp dengan memberikan tubuhnya untuk ditukarkan dengan obat dan seorang dokter. Ia beruntung sebab ia memiliki paras yang cantik, sehingga dengan Komandan Kamp dengan senang hati menyetujuinya.
“Aku gantikan gadis yang tadi, Komandan. Kau tiduri aku tapi beri ibunya obat dan dokter. Dan dokter!”. (Cantik Itu Luka, 2015: 67)
Peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat tak bisa dipungkiri selalu dinomerduakan, maka tidak heran jika perempuan selalu dipandang rendah serta mudah memperoleh penindasan dari lingkungan masyarakat. Sudah sepantasnya wilayah sosial dan hukum dapat berlaku adil dalam menimbang berbagai fenomena dalam dunia seks komersial. Karena tidak semua pekerja seks komersial merupakan sosok yang paling salah dan patut dihakimi keberadaannya, bahkan banyak dari mereka yang terpaksa melakukannya demi mengais pundi-pundi rupiah bagi keluarga. Seperti yang tergambar dala novel ini, sungguh sangat miris jika melihat kehidupan perempuan yang menjadi tahanan dijadikan budak pelacur pada masa kolonial.
“Ia sendiri tak pernah sungguh-sungguh mengaku bahwa ia menjadi pelacur karena keinginannya sendiri, sebaliknya ia selalu mengatakan bahwa ia menjadi pelacur karena sejarah”. (Cantik Itu Luka, 2015: 104)
Bagaimanapun, profesi pelacur bukanlah sesuatu yang diharapkan terjadi pada setiap orang. Pelacur adalah pekerjaan yang tidak dapat ditoleransi sedikit pun oleh masyarakat, baik pada masa lalu hingga sekarang. Sosok pelacur yang mengandalkan kecantikan sebagai komoditi utama dalam perekonomian dengan menawarkan jasanya, telah membuat rendah diri pelacur itu sendiri dihadapan masyarakat. Namun Dewi Ayu disini memiliki trik yang cerdas, meskipun ia seorang pelacur tetapi ia bisa menempatkan diri dengan baik serta berpenampilan sopan.
“Jika Mama Kalong bagaikan ratu di kota itu, maka Dewi Ayu adalah putri. Keduanya memiliki selera yang nyaris sama dalam berpenampilan. Mereka jenis perempuan-perempuan yang merawat tubuh dengan baik, dan berpakaian bahkan jauh lebih sopan daripada perempuan-perempuan saleh mana pun”. (Cantik Itu Luka, 2015: 105)
Menurut saya, novel ini layak untuk mendapatkan apresiasi. Jalan cerita yang menarik dan membuat pembaca penasaran dalam setiap bagiannya, serta memberikan nilai moral yang berarti. Namun alangkah bijaknya jika pembaca novel ini sudah menginjak umur 18++, mengingat pemilihan diksi dalam novel ini terkesan vulgar dalam beberapa bagian. Selain itu diperlukan pemikiran yang terbuka karena pada beberapa kalimat dalam novel harus dicerna terlebih dahulu supaya menghindari salah persepsi. Seperti pada kutipan dibawah ini.
“Pelacur paling tidak tak membuat orang harus punya gundik, sebab setiap kau mengambil gundik, kau mungkin menyakiti hati seseorang yang adalah kekasih gundik itu. Sebuah cinta dihancurkan dan sebuah kehidupan diporak-porandakan setiap kali seorang lelaki menyimpan seorang gundik. Tapi seorang pelacur paling banter menyakiti seorang istri yang jelas-jelas sudah dikawini, dan adalah kesalahannya membuat suaminya harus pergi ke tempat pelacuran”. (Cinta Itu Luka, 2015: 353)
Referensi:
- Kurniawan, Eka. (2015). Cantik Itu Luka. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
- Shofiyah, Dian Islamiyah N. H. (2019). Perlawanan Perempuan Dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan: Tinjauan Feminisme Sosialis. Jurnal Prosiding SENASBASA, Volume. 3, Nomer. 2, Hal. 252-259.