Dari Penjual Sastra Untuk Mahasiswa : Tentang Perjuangan Skripsi
Menurut beberapa ahli sastra, skripsi itu tidak penting. Lantas apa yang membuat penting? Saya ingin menjawab dengan pendek. Tapi pasti banyak yang tak puas,. Maka akan saya jawab dengan panjang X lebar X tinggi. Tapi panjang pun banyak yang merasa tak puas, terutama kaum hawa.
Jadi, kenapa skripsi itu penting?
Sebenarnya, skripsi itu kerjaannya orang-orang iseng. Iseng-iseng mikir. Mainan ke sana-sini hanya untuk iseng-iseng. Iya sih skripsi itu ilmu, tapi mbah-nya ilmu itu kan filsafat. Dan filsafat berawal dari orang-orang yang iseng. Terlihat mikir apa sok mikir? Entahlah yang penting mereka membawa efek luar biasa kepada kaum-kaum yang mau dibodohi. Bagaimana tidak dibodohi, la wong akeh seng tukaran gara-gara filsafat. Dan jika mereka marah karena pernyataanku ini, berarti mereka mau saya bodohi.
Lalu, skripsi yang telah disahkan oleh pemerintah banyak dibanggakan oleh orang-orang yang cerdas atau yang ngakunya cerdas. Padahal, manusia semuanya cerdas. Otaknya udah berkapasitas 1000 Gb lebih. Cuman, pengetahuan yang berhasil diisi cuman berapa giga saja. Kalau mereka mau berjuang mengisi kekosongan otak mereka, bisa pintar kok! Asal mau berpikir saja. Titik!
Skripsi sering membawa kejahatan sosial dan politik. Sebenarnya skripsi hanya kambing hitam, tetapi agar tulisanku terlihat kontra terhadap skripsi, ya tenggelamkan saja skripsi sejelek-jeleknya. Niat banget buat jelekin ini. Kejahatan sosial dari skripsi sih itu, membawa kebohongan dari mahasiswa kepada orang tuanya. Jika ditanya bagaimana perkembanganya? Mereka menjawab masih OTW. Padahal nyatanya mereka tidur di kamar, atau melalang buana ke benua-benua gunung dan pantai kerinduannya. Lantas yang politik bagaimana? Yah, mereka ngakunya ngerjakan skripsi tetapi nyatanya orang tuanya diperas. Bagai koboi menodong korbannya. Ditodong uang. ”Pak, Ma, kirim saya uang. Skripsi butuh dinafkahi nih!” moneypolitic.
Memang macam-macam kejahatan yang telah dilakukan oleh monster skripsi yang berdimensi lebar 21 Cm, panjang 29 Cm, dengan tebalnya 10 Cm. Jikalau saya adalah Presiden negeri ini, saya sih maunya tetap ada saja skripsi. Biar mereka yang bodoh-bodoh membiarkan kebodohannya dengan skripsi. Tetap bayar SPP di kampus, terutama mereka yang sudah semester tua. Dilestarikan saja. Investasi terbesar bro… Apa yang mau diambil dari kebodohannya? Ya hartanya saja. Kembali kayak zaman penjajahan dulu. Tapi sekarang Indonesia sudah cerdas, tidak dijajah lagi. Merdeka… bagi mereka yang merdeka. Yang dijajah kebodohan? Entahlah.
Saya ulangi lagi. Kenapa skripsi itu tidak penting? Ya karena yang sarjana pun masih belum tahu tata caranya berbakti kepada orang tua. Masih belum tahu caranya meminta maaf kepada sesama makhluk. Katanya ‘Bhinneka Tunggal Ika’ kok masih ada yang perbedaan ras dan tahta. Perbedaan tidak tentang kulit, budaya, dan daerah saja, tetapi juga jabatan. Banyak lho yang anaknya Pak Tukang Sampah jatuh cinta kepada anaknya Pak Menteri tetapi cintanya ditolak oleh benteng tahta yang dibangun masyarakat gila kedudukan. Ngenes…
Singkatnya, kenapa skripsi itu tidak penting? Ya karena dianggap tidak penting ajalah. Buktinya banyak mahasiswa yang menganggap skripsi tidak penting. Sudah diingatkan oleh keluarganya, temannya, dosennya untuk dikerjakan tapi tetap saja malas.
NB: Tulisan tidak penting, jangan dibaca