Mengulas

Darah Juang Sumpah Pemuda

Oktober 28, 2018

author:

Darah Juang Sumpah Pemuda


Sukma.co–Tiap Sabtu sore, Herianto bersama kawannya membawa standing banner, tikar dan tumpukan buku di pojok lapangan Merdeka. Konon, lapangan tersebut memiliki banyak historis sejarah, salah satunya pernah di datangi Ir. Soekarno untuk meminta kerajaan Bone bergabung Republik Indonesia.

Pojok lapangan Merdeka, Heri bersama para Local Heroes komunitas Majelis Rupa Kreasi (Maruki) membuka lapak baca dan melakukan klub Baca untuk masyarakat Bone. Siapapun boleh bergabung, karena membaca buku adalah hak semua anak bangsa.

Apa yang dilakukan Heri dan kawan-kawan ada meninggikan semangat literasi di masyarakat. Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Data Perpustakaan Nasional tahun 2017, frekuensi membaca orang Indonesia rata-rata hanya tiga sampai empat kali per minggu. Sementara jumlah buku yang dibaca rata-rata hanya lima hingga sembilan buku per tahun.

Bagaimana dengan kota Bone? Apreasiasi patut diberikan dinas perpustakaan dan kearsipan yang menyediakan ruang baca di perpustakaan daerah dan Kedai Baca Sumange Tea Lara. Namun, penyediaan buku bacaan bukan hanya persoalan tempat baca, salah satunya jenis bacaan.

Jenis bacaan yang sesuai selera tentu menjadi akan memancing seseorang untuk membaca. Paling menjanjikan adalah pengadaan toko buku yang lengkap sebagai solusinya. Jika kota Bone bisa dengan enteng menyambut ritel nasional dan internasional; KFC, Planet Surf, Inul Vizta. Apakah Mengapa pemerintah tidak mengajak investor penunjang pendidikan seperti toko buku untuk datang ke Bone?

Herianto dan kawan-kawan, mengingatkan saya akan aksi kamisan. Kamisan adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Setiap Hari Kamis Pukul 16.00 hingga 17.00 di depan Istana Presiden. Mereka berdiri, diam, berpakaian hitam, dan berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM.

Apa yang Heri dan para Local Heroes Maruki lainnya lakukan, semacam “kamisan” di hari Sabtu. Bedanya aksi mereka diam, duduk beralaskan terpal dan membawa buku berbagai genre di depan Rumah Jabatan Bupati Bone (Lapangan Merdeka seberang rumah Bupati). Seolah menyindir Bupati dua periode agar mulai melirik sektor literasi dalam proses pendidikan, bukan hanya ranking lulus UN tingkat provinsi.

Apreasiasi Local Heroes

Para Local Heroes Maruki adalah generasi muda sejati yang tetap tangguh. Mereka telah tumbuh dalam jalur yang tepat. Local Heroes Maruki yang mayoritas berada pada tingkat dewasa awal ( usia 18-40 tahun) dalam tugas perkembangan psikologisnya. Pada fase ini periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan dan harapan-harapan sosial baru.

Orang dewasa awal diharapkan memaikan peran baru, keinginan-keingan baru, mengembangkan sikap-sikap baru, dan nilai-nilai baru sesuai tugas baru pula (Hurlock, 1996). Menjadi new hope (harapan baru) yang menjadi langkah psikologis para Local Heroes menjadi semangat pandangan sinis terhadap hiruk pikuk pemuda yang dicitrakan hedonis, instan dan mageran oleh layar televisi.

Darah juang semangat Sumpah Pemuda tergambar jelas dari keikhlasan para Local Heroes Maruki merawat intelektual masyarakat dengan caranya.

Semangat Maruki #berisolusi, perjuangan masih panjang!


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!