Cara atau Tips untuk Menghindari Modus Penelitian yang Disalahgunakan
Daftar Isi:
Saya ada beberapa tips untuk menghindari modus penelitian yang disalahgunakan
SUKMA.CO – Akhir-akhir ini, terutama saat pandemi yang disebabkan virus SARS-CoV-2 melanda, sains menemukan tempat baru di hati masyarakat. Banyak yang akhirnya ingin mengetahui tentang data ilmiah, bagaimana suatu prosedur penelitian dilakukan, dan apa hasil serta kekurangan dari sebuah penelitian. Ruang-ruang di media massa pun turut menyematkan beberapa hasil penelitian sebagai bukti yang mendukung asumsi. Dan asumsi saya, penelitian, terutama dalam kasus Covid-19, sedang berjalan dengan tempo yang sangat cepat.
Coba saja buka aplikasi mesin pencari smartphone Anda lalu ketikkan, “latest research…”, algoritma mesin pencari Anda akan menambahkan, “… on covid-19”, atau “…”on coronavirus”. Hal ini menjadi bukti bahwa setidaknya, kebutuhan pencarian informasi COVID-19 berdasarkan penelitian sedang banyak diinginkan.
Namun, image akan penelitian itu seakan berubah ketika negara api menyerang setelah sebuah utas dari pengguna twitter yang berjudul “Predator ‘Fetish Kain Jarik’ Berkedok Penelitian Akademik dari Mahasiswa PTN di SBY” muncul dan menjadi bahasan banyak warga net.
Dalam utas twitter tersebut, kita bisa membaca bahwa pelaku “fetish kain jarik” ini sedang mencoba meyakinkan seseorang untuk menjadi partisipan penelitian akademik. Pelaku juga mencoba meyakinkan bahwa apa yang dilakukannya, dengan membungkus orang menggunakan kain, adalah penelitian akademik, bukan untuk hal lain. Namun, benarkah demikian? Tentu, seperti yang kita tahu, tidak.
Kabarnya, dalih penelitian akademik yang digunakan pelaku ini hanya sebagai modus saja. Modus untuk melakukan pelecehan seksual.
Baca juga : Apakah fetish selalu berarti gangguan seksual?
Mungkin saja ada, tapi saya sendiri, yang hanya berlatar belakang sarjana psikologi ini, belum pernah menemukan atau bahkan kepikiran membuat desain penelitian untuk reduksi emosi negatif atau terapi psikologis dengan cara dibungkus kain jarik. Dan yang mantap lagi, proses penelitiannya dilakukan melalui video. Seketika, setelah membaca utas tersebut, saya mbatin, “Wow, riset eksperimen akademik macam apa ini?”.
Pada tahun 2018 akhir, saya dan seorang teman juga pernah melakukan sebuah penelitian eksperimen untuk mengetahui bagaimana efektivitas terapi menulis emosional dalam mereduksi kecemasan pada korban bencana alam. Walau jarak tempuh ke lokasi penelitian adalah 239 KM (menurut Google Maps), kami tidak pernah kepikiran sama sekali untuk melakukan riset ini menggunakan video saja.
Kalau saja kami tahu bahwa metode penelitian eksperimen ini bisa dan sah dilakukan melalui video, kami tentu tidak harus pulang pergi Malang-Pacitan dan Pacitan-Malang dalam satu hari hanya untuk konsultasi dan pengajuan proposal. Untungnya, teman saya punya otot kawat tulang besi sehingga dia kuat nyetir dengan jarak tempuh yang sedemikian itu dalam sekali jalan.
Penelitian itu sakral, bos.
Selain menyayangkan pelecehan seksual yang dilakukan pelaku, saya sangat sedih ketika sebuah penelitian dijadikan modusnya. Bagi saya, sebuah penelitian itu sangat “sakral”. Dalam penelitian, rasa ingin tahu, bukan nafsu, adalah apa yang mendorong para peneliti. Dan jika beruntung, peneliti bahkan dapat menemukan sebuah metode, teori, atau bahkan memahami fenomena baru yang belum ditemukan sebelumnya dari hasil penelitian yang dilakukan.
Penelitian juga setidaknya adalah usaha terakhir manusia yang dapat dilakukan untuk membuktikan sebuah asumsi dengan cara yang terencana dan terstruktur. Penelitian juga yang akhirnya membuat kita bisa mengatakan, “Mana buktinya? Jangan asal bicara kamu ya!”.
Memang kata penelitian itu sangat keren, tapi tentu saja, “kekerenan” penelitian itu tidak untuk digunakan sebagai modus pelecehan seksual. Menurut utas tersebut juga, mahasiswa baru atau siswa SMA merupakan jenis usia yang sering dipantau oleh pelaku. Hal ini mungkin berangkat dari asumsi pelaku yang menganggap bahwa siswa SMA dan Mahasiswa Baru belum cukup akrab dengan metodologi penelitian.
Baca juga: Menghindari toksik di media sosial
Maka dari itu, dalam artikel ini saya akan memberikan beberapa tips bagaimana agar kita semua, terutama untuk adek-adek SMA atau teman-teman mahasiswa baru yang tidak terlalu paham dengan proses penelitian akademik di kampus, terhindar dari modus penelitian yang disalahgunakan. Agar kasus serupa setidaknya dapat kita hindari. Langsung saja kita berdialog.
“Kak, apa yang harus dilakukan jika seseorang meminta saya turut serta menjadi subjek penelitian?”
Penelitian akademik VS. abal-abal Jilid I
Saat seorang seniormu atau kenalanmu atau ada orang yang memintamu menjadi responden penelitian, sedang kamu ragu-ragu apakah ini benar penelitian akademik atau penelitian abal-abal, ada beberapa hal yang dapat kamu jadikan rujukan untuk mengetahuinya.
Pertama, tanyakanlah pada peneliti itu tentang surat pengantar dari universitas atau fakultas.
Seorang mahasiswa yang sedang melakukan projek penelitian, terutama yang melibatkan manusia, biasanya terlebih dahulu harus meminta surat pengantar dari kampus atau fakultas bahwa ia benar-benar sedang melakukan penelitian. Pada kasus tertentu, seperti sebuah eksperimen yang melibatkan subjek dalam lembaga tertentu misalnya, harus ada persetujuan juga dari pihak lembaga.
Surat pengantar dari kampus biasanya digunakan para peneliti untuk meminta izin dari lembaga tertentu bahwa ia akan melakukan penelitian pada anggota lembaga. Jika disetujui, lembaga mungkin akan mengeluarkan surat juga walau beberapa lembaga juga mungkin cukup mengizinkan secara lisan.
Pada penelitian yang melibatkan individu juga demikian. Para peneliti biasanya menunjukkan surat pengantar dari kampus lalu memberikan lembar persetujuan pada para calon responden penelitian untuk ditandatangani oleh mereka. Jika calon responden menandatangani, berarti mereka setuju mengikuti proses penelitian. Namun jika tidak, berarti peneliti harus mencari calon responden atau subjek lain.
“Kak, kalau surat pengantar dari kampus dan surat persetujuan tidak ada, tapi peneliti terus meminta saya jadi responden, lantas bagaimana, kak?”
Penelitian akademik VS. abal-abal Jilid II
Kalau kasusnya demikian, maka Anda bisa saja langsung menolak dengan baik atau dengan cara kedua, mintalah proposal penelitiannya.
Dalam dunia akademik, hampir mustahil untuk melakukan sebuah riset tanpa adanya proposal penelitian. Hal terakhir itu merujuk pada sebuah dokumen rancangan tentang apa yang akan dilakukan selama penelitian berlangsung. Di dalam dokumen tersebut biasanya dijelaskan semua mengenai kenapa penelitian yang dilakukan menjadi penting, teori saintifik yang digunakan sebagai pendekatan, dan bahkan metode penelitian yang meliputi desain dan akan diapakan kita nanti jika mengikuti penelitian.
Misalnya, jika itu adalah sebuah penelitian berbentuk survei, responden biasanya hanya ditugaskan untuk mengisi “angket” yang diberikan oleh peneliti. Jika itu adalah sebuah eksperimen atau terapi, peserta penelitian biasanya diminta untuk mengikuti beberapa sesi eksperimen selama kurun waktu tertentu. Dalam penelitian eksperimen juga responden biasanya diberikan beberapa perlakuan untuk membedakan kondisi sebelum dilakukan eksperimen dan kondisi sesudah dilakukan eksperimen.
Proposal penelitian berguna bagi para peneliti, untuk membuat sebuah kerangka argumentasi yang kuat. Hal tersebut bahkan sudah harus muncul dalam pengantar atau latar belakang penelitian yang dilakukannya. Dengan kata lain, proposal penelitian adalah buku panduan para peneliti untuk melakukan penelitian. Jika buku panduannya saja tidak ada, bagaimana bisa seorang peneliti meneliti?
“Kak, kalau penelitinya bilang proposalnya tidak boleh dilihat karena nanti akan mempengaruhi bagaimana responden bereaksi, bagaimana, kak?”
Penelitian akademik VS. abal-abal jilid III
Dalam beberapa penelitian, sangat mungkin apa yang dilakukan oleh peneliti adalah hal yang harus dikendalikan penuh oleh peneliti untuk menghindari bias. Maka dari itu, proposal penelitian mungkin saja adalah dokumen yang eksklusif. Namun, bukan berarti kita kehabisan cara untuk mengetahui apakah penelitian yang diajukan benar-benar penelitian akademik dengan cara ketiga, tanyakan organisasi, lembaga, tim peneliti, atau dosen pembimbingnya.
Penelitian adalah aktivitas yang walaupun sangat menyenangkan, juga kadang sangat mahal. Apalagi jika dilakukan sendirian. Biaya yang digunakan kadang tidak sedikit.
Sebagai contoh, para peneliti yang menggunakan metode eksperimen biasanya akan memberikan reward untuk para partisipan penelitiannya. Katakanlah jika reward yang diberikan para peneliti adalah nasi kotak untuk satu kali sesi eksperimen dengan harga 10.000, dan ada sekitar 20 peserta eksperimen, peneliti sudah harus mengeluarkan uang 200.000 untuk reward. Kalikan jumlah tersebut dengan 5 kali sesi penelitian. Fantastis kan jumlahnya? Belum lagi uang yang harus dikeluarkan untuk tetek bengek penelitian lain seperti fotokopi dokumen, print ini itu, biaya sewa peralatan, dan lain sebagainya itu.
Di sinilah pentingnya partner dalam penelitian. Selain karena memiliki kesamaan minat untuk menjawab pertanyaan dan sebagai teman disuksi, partner penelitian juga harus gotong royong untuk mengusahakan penelitian dengan baik. Tidak jarang bahkan harus mengeluarkan uang yang lebih banyak. Penelitian itu salah satu aktivitas yang sangat menguras uang. Makanya, para peneliti biasanya mencari sponsor yang mampu dan mau membiayai penelitian mereka. Belum lagi biaya publikasi. Aduh, mak.
Baca juga: Apa itu depresi, tingkat, dan bagaimana mengatasinya
Karena penelitian adalah aktivitas yang menguras tenaga dan biaya, tanyakan saja organisasi peneliti apa, afiliasinya mana, siapa yang membiayai, siapa saja yang terlibat dalam penelitian itu, dan kalau tidak berlebihan, tanyakan saja siapa dosen pembimbingnya. Mana bisa mahasiswa, mau tingkat awal atau akhir atau semester 14 sekalipun, melakukan peneitian tanpa dosen pembimbing. Mahasiswa itu juga pelajar, bukan ahli yang sudah benar-benar mengerti.
“Tapi kan, seperti riset yang dilakukan oleh pelaku ‘fetish kain jarik’ itu untuk kepentingan buku, kak. Mungkin saja dia tidak memiliki dosen pembimbing, partner, surat pengantar universitas atau proposal karena untuk kepentingan pribadi. Lalu bagaimana?”
“Semakin hangat diskusi kita ya, dek”
Penelitian akademik VS. modus penelitian
Memang sangat mungkin, dalam beberapa kasus, penelitian dilakukan secara pribadi tanpa “melibatkan” dosen, partner, atau bahkan dokumen seperti yang sudah kita bahas. Hal-hal tersebut, atau penelitian jenis ini, biasanya disebut sebagai observasi alamiah.
Dalam observasi yang bersifat alamiah, pengamatan biasanya dilakukan kepada hal-hal yang terjadi secara natural tanpa intervensi apapun. Sebagai contoh, jika kita ingin mengetahui bagaimana perilaku orang di pom bensin, kita harus mencatat, dan yang paling penting, betah untuk mengamati pengunjung pom bensin tanpa melakukan apapun. Hanya mengamati tanpa intervensi apapun. Tidak wawancara, tidak juga melakukan hal yang bisa mengubah sifat alamiah suatu lingkungan (dalam hal ini pom bensin).
Biasanya, observasi alamiah digunakan dalam penelitian etnografi (penelitian yang berfokus pada suatu etnis) dalam bidang antropologi. Namun, penelitian seperti ini pun tentunya memerlukan berbagai macam prosedur dan ketatnya desain penelitian. Dan memang dalam penelitian bidang ini, dalam beberapa kasus, tidak “meminta izin” kepada partisipan penelitian karena berpotensi mengubah perilaku mereka.
“Oh, begitu ya, kak”
Modus penelitian perhatikan keamanan
Dengan demikian, kita sudah dapat memahami bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku “fetish kain jarik” ini bukanlah observasi alamiah karena ada penerapan intervensi atau perlakuan. Yang dimaksud perlakuan dalam kasus ini adalah peneliti meminta “partisipan penelitian” untuk mengenakan kain jarik. Dengan kata lain, lingkungannya telah diintervensi.
Selain itu, kalau memang masih ragu atau belum yakin, masih ada cara keempat. Coba tanyakan apakah penelitian ini aman untuk mental dan fisik responden pada peneliti.
Variabel keamanan (safety) ini sangat penting. Hal ini jugalah yang menjadikan mengapa penelitian tentang vaksin covid-19 sangat lama. Selain unsur efikasi dan efektivitas, unsur safety juga sangat penting untuk diperhitungkan. Siapa juga yang mau menggunakan vaksin yang efektif tetapi tidak aman?
Begitu juga dalam penelitian sosial. Jika perlakuan dalam sebuah eksperimen tergolong membahayakan kesehatan mental dan fisik seseorang, berpotensi menghilangkan nyawa seseorang, tidak melibatkan konsep dan rancangan atau metodologi penelitian yang jelas, tanpa buku panduan, surat pengantar dari lembaga, dan yang terpenting, tidak adanya reward untuk partisipan penelitian, maka ini sudah bukan lagi eksperimen yang baik.
Jika semua dokumen penelitian dan persyaratan penelitian tidak ada, saatnya untuk mengatakan, “Ini penelitian macam apa ini? Sampah!”.
Baca juga tulisan dari Mely Santoso lainnya di sini, di sini, atau juga di sini. Atau tulisan lain terkait psikologi populer.