Bukan Fiqh (1) : Potensi Fardhu ‘Ain Dan Potensi Fardhu Kifayah
Sukma – Menjadi manusia yang berpotensi dan menjadi ahli di bidang tertentu adalah kewajiban menuju jalan sukses di zaman saat ini. Apalagi di negara kita, Indonesia, yang sedang mencanangkan industri kreatif. Industri kreatif yang lebih mengedepankan proses kreatifitas anak bangsa menuju persaingan di pasar dunia. Bagaimana bisnis dan kemajuan tak lagi perihal barang, perkebunan, pertanian, bahan mentah, tetapi pada perkembangan teknologi dan ide kreatif.
Potensi seseorang adalah pondasi dalam industri ini. Semua wajib memiliki potensi diri. Berbagai perusahaan dari sektor kecil hingga besarpun menginginkan memiliki karyawan yang berpotensi. Bagaimana kabar ijazah? Tahukah anda bahwa zaman saat ini sumber daya manusia adalah ‘modal’ dalam berbisnis. Kualitas SDM sangat memengaruhi perjalanan hidup perusahaan dan karyawan itu sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menjadi manusia berpotensi adalah fardhu ‘ain.Menjadi manusia yang memiliki kreatifitas, berpikir jitu, dan potensi diri yang besar adalah kunci di zaman ini.
Tetapi, tak juga untuk harus mampu menguasai semua bidang ilmu. Mengutip kalimat penyemangat dari BJ. Habibie “Apabila kamu sudah memutuskan menekuni suatu bidang, jadilah orang yang konsisten, itu adalah kunci keberhasilan sesungguhnya.” Menjadi seseorang yang berbakat, berpotensi, berkemampuan adalah hal yang tak mudah, tetapi juga tak susah. Asal berusaha, lalu biarkan waktu yang menjawab, harus sabar dalam menggali potensi diri. Fokus saja dengan apa yang ditekuni, satu dulu, sudah cukup. Karena ketika sudah terjun di dunia lapangan, kita juga tak mengerjakan semua hal. Ada struktur yang harus dipahami. Tergantung posisi yang digeluti.
Manusia tak ada yang sempurna, tetapi, menguasai satu bidang keilmuan adalah wajib. Hampir sama halnya dengan hukum fiqh dalam Islam. Ada fardhu, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan fardhu dibagi dua, yaitu fardhu ‘ain(wajib untuk setiap orang), dan fardhu kifayah(wajib untuk semua orang, tetapi jika ada seseorang yang telah melakukannya maka sudah gugur). Fardhu ‘ain contohnya sholat, puasa, dan zakat, bersifat personal. Sedangkan fardhu kifayah contohnya mengurusi jenazah, jika di kaum itu tidak ada yang mengurusnya, maka semua orang di kaum itu berdosa, tetapi jika ada yang mengurusnya maka gugur sudah kewajibannya. Nah, ketika di perusahaan, wajib kalanya kita memiliki potensi, fardhu ‘ain hukumnya, jika tidak, kita akan kalah dengan orang yang berpotensi. Akan tetapi, juga tak semua harus menguasai bidang yang sama. Tak mungkin dalam satu perusahaan semuanya adalah ahli ekonomi, terkadang membutuhkan ahli hukum, ahli lapangan, dan ahli pada bisnis yang digeluti. Nah ini yang disebut dengan potensi fardhu kifayah. Semua potensi seseorang yang berbeda-beda akan bersatu-padu pada visi-misi perusahaan tersebut dalam perjalanan menghadapi persaingan.
Kenapa fardhu? Selain sumber daya manusia yang sudah menjadi ‘modal usaha’, adalah tentang kualitas diri yang harus siap dalam menghadapi kompetensi di dunia kerja. Menjadi pribadi yang unggul dan kreatif adalah pijakan utama untuk mengambil keputusan ke depannya. Sedangkan keputusan yang diambil suatu saat kelak akan menjadi modal kemenangan.