Bukan Belajar Sambil Bermain, Tapi Saat Bermain Saya Belajar
Sukma.co – Bukan Belajar Sambil Bermain tapi Saat Bermain Saya Belajar, begitulah sekelumit judul pada tulisan ini. Disela obrolan dengan teman lama di suatu sore, saya mengamati anak saya yang sedang asyik bermain dengan teman barunya, baru ditemui lima menit yang lalu. Perjumpaan saya dengan teman lama mempertemukan anak-anak kami. Tanpa perkenalan mereka asyik bermain bersama, saling menegur, memberikan masukan atas permainan yang mereka lakukan berdua. Tidak ada arahan permainan dari kami sebagai orang tuanya, murni mereka bertemu, saling mengisi, menyusun mainannya secara bersamaan, di usia yang baru lima tahun dan anak teman saya di usia tujuh tahun, mereka mampu bekerja sama dengan baik.
Saya yakin orang tua lainnya sering menemui kejadian serupa. Anak-anak mudah berinteraksi, mempunyai caranya sendiri dalam melakukan negosiasi dengan beberapa temannya sekaligus, beberapa ada yang mendominasi, lainnya ada yang taat sebagai subordinat, permainan berjalan dan berlangsung dengan menyenangkan. Bermain yang mengalir, tidak terstruktur dan tanpa campur tangan orang tua.
Bermain yang sebenarnya menurut Alexander dan Sandahl dalam The Danish Way of Parenting adalah saat anak-anak dibiarkan mengelola permainannya sendiri, baik bersama teman atau sendirian, menarik menurut mereka, dan dalam waktu yang diinginkan. Bukan dengan permainan yang terstruktur, dan mengandung banyak instruksi. Anak mengoptimalkan ke naturalannya, tidak melulu dengan stimulus permainan atau alat bermain yang telah disediakan, lebih penting saat anak mampu menciptakan wahana bermain mereka sendiri, dan memanfaatkan banyak hal yang ditemui disekitarnya.
Teringat di usia sekolah dasar saya bermain menikmati siraman air hujan bersama teman-teman sembari membuat rumah dari pasir, membuat jalan-jalan air yang dilalui aliran air hujan, atau memanfaatkan tanaman di sekitar rumah untuk dijadikan bahan masak-memasak.
Baca Juga: Langkah yang Bisa Diterapkan Sebelum Mengajarkan Anak Menulis
Tidak ada arahan dari orang tua, tidak ada alat yang diberikan, waktu yang diestimasi sendiri, permainan yang spontan, dan yang membuat kami tertarik untuk melakukannya. Masing-masing dari kami menyampaikan inisiatifnya, walaupun tidak mengetahui cara berdiskusi dengan baik, tak jarang pertengkaran, konflik juga terjadi, tapi permainan tetap berjalan, atau permainan dengan sendirinya akan selesai karena ada teman yang menangis dan pulang, namun setelah tenang akan berkumpul kembali dan merencanakan untuk membuat permainan baru.
Tak jarang ditemui anak yang saat konflik akan mengadu ke orang tuanya, ada yang menangis saja, ada yang mencoba menenangkan, yang merasa bersalah akan merasa bingung, takut akan dimarahi oleh orang tua anak yang menangis. Ada banyak interaksi yang terjadi, rasa sedih, senang, kecewa yang dihadapinya sendiri. Mereka akan belajar dari pengalamannya, menghadapi rasa ketidaknyamanan, menghadapi stress dari konflik yang terjadi. Orang tua tidak perlu terlalu ikut campur sampai ada interaksi yang mengarah pada bahaya.
Anak yang bermain ayunan, bergelantungan di pohon, memanjat meja, melompati kursi teras, berlari kencang tanpa takut tertabrak barang-barang di depannya, terlihat sepele, namun anak akan belajar mengatasi rasa takutnya, mengukur resiko saat melakukannya.
Apa manfaat bermain bebas bagi tumbuh kembang anak?
Lalu, apa korelasinya dengan belajar? Selama ini orang tua cenderung terobsesi dengan belajar yang mengarah pada kesempurnaan nilai akademik. Belajar tidak selalu diartikan seperti belajar membaca, menghitung atau menghafal, tetapi mengoptimalkan fungsi-fungsi kemampuan yang banyak mendukung tumbuh kembang anak. Mengoptimalkan kemampuan mengasah emosi. Mengasah kemampuan sosialisasi, interaksi dengan teman, menghadapi masalah, dan mengatur strategi. Menumbuhkan nilai-nilai optimisme, tidak pantang menyerah, kepemimpinan, yang kesemuanya sangat dibutuhkan mereka di usia dewasa nantinya, karena pada dasarnya yang dihadapi anak di masa depan, bukan hanya perihal kemajuan akademik tetapi ketangguhan mereka dalam menyikapi setiap masalah.
Dampak bermain bebas bagi tumbuh kembang anak?
Dampak bermain bebas bagi tumbuh kembang anak-anak menurut Alexander dan Sandahl (2020) adalah mengajarkan tentang ketangguhan. Kemampuan untuk mengelola emosi, menghadapi stress, dan mencegah kecemasan dan depresi. Ketangguhan menghadapi berbagai masalah, terbukti menjadi faktor penting dalam mendukung seseorang mendaki tangga kesuksesan di usia dewasa, karena ketangguhan dapat diperoleh bukan dengan cara menghindari stress, tetapi belajar untuk menjinakkan dan menguasainya.
Baca Juga: Strategi Pembelajaran Ramah Anak Saat Belajar Dari Rumah
Dasar ketangguhan bisa muncul dari diri mereka sendiri, karena dalam bermain bebas bisa menjadi ruang bagi anak-anak untuk menguasai banyak hal, mulai dari membuat dan bagaimana menyelesaikan masalahnya sendiri. Mengajarkan anak cara berteman berikut dengan berbagai konflik yang terjadi, adanya rasa takut dan marah yang harus diatasi anak agar bisa terus bermain. Anak akan belajar menghadapi realitas dunia yang penuh konflik dan tekanan, hal itu mengasah keterampilan hidupnya. Bermain bebas memberikan mereka banyak kesempatan mencoba hal-hal baru, dan itu bisa menumbuhkan rasa kepercayaan diri mereka. Semakin banyak bermain akan semakin banyak mempelajari keterampilan sosial, ada kemampuan untuk beradaptasi, mendekati masalah dan tujuan dengan cara yang fleksibel.
Lebih lanjut Alexander dan Sandahl (2020) mencontohkan situasi pendidikan di Denmark di mana anak-anak mulai diperbolehkan sekolah setelah usia 7 tahun, karena tugas anak-anak hanya menjadi anak-anak dan bermain. Harapannya dengan memberikan kesempatan anak lebih banyak bermain, dapat mempengaruhi kebahagiaan dan ketangguhan anak di usia dewasa nantinya.
Ciptakan Ruang dan Waktu untuk Anak
Sebagai orang tua sangat dimaklumi merasa bersalah ketika melihat anak dari teman kita telah menguasai banyak hal, sedang anak kita sendiri belum menguasai apapun. Anak kita hanya menghabiskan waktu bermain dan bermain, hal ini membuat orang tua merasa gagal dan tidak melakukan apapun terhadap anaknya. Mulai saat ini hapus perasaan seperti itu, mulailah menciptakan ruang dan waktu untuk anak dapat bermain sesuka hati bersama teman-temannya.
Rasa bersalah karena merasa mengabaikan anak, tidak pernah memasukkan mereka belajar di tempat les, tidak memberikan banyak stimulus untuk perkembangan kognitif dan motoriknya. Tidak mendorong mereka untuk memiliki keterampilan khusus. Padahal anak-anak yang terlalu banyak didorong atau ditekan, dapat menghilangkan kesenangan atas apa yang mereka lakukan, dan hal itu menimbulkan kecemasan dan ketakutan pada anak.
Anak-anak terutama dengan usia di bawah 7 tahun, saat mereka bermain sebenarnya di situlah mereka menemukan banyak hal, mereka mempelajari sesuatu, proses belajar banyak terjadi, semakin banyak bermain akan semakin tangguh dan mahir dalam pergaulan. Penekanannya bukan sebaliknya, yaitu belajar sambil bermain tetapi saat bermain mereka belajar.