Budaya Patriarki Dalam Novel “Kim Ji-yeong, Born in 1982”
Budaya patriarki selalu membawa penindasan dan ketidakadilan gender. Ironisnya, budaya ini selalu menempatkan perempuan sebagai sosok yang dikerdilkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Gambaran terhadap kejamnya budaya patriarki di Korea Selatan diceritakan dalam novel Kim Ji-yeong Born in 1982.
Menurut Bressler, Charles E (2007), patriarki adalah suatu sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang utama kekuasaan dan mendominasi peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak-hak sosial, dan kontrol properti. Dengan demikian, masyarakat yang patriarkis cenderung memposisikan laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.
Kisah hidup Kim Ji-yeong sebagai tokoh utama dalam novel ini sebagai bukti nyata terjadinya penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang dialami Kim Ji-yeong dari kehidupan masa kecil, dewasa, sesudah menikah, dan memiliki anak tidak luput dari dominasi budaya patriarki yang sangat tidak manusiawi.
Anak laki-laki diprioritaskan dalam keluarga
Di Korea Selatan, memiliki anak laki-laki merupakan berkah yang sangat patut disyukuri dibandingkan memiliki anak perempuan. Ketika perempuan yang memiliki janin laki-laki saat masa kehamilannya akan sangat bangga menghadap mertuanya dan bisa mendapatkan semua yang diinginkan. Akan tetapi jika perempuan memiliki janin perempuan dalam kehamilannya ia akan gelisah, begitu pula yang dialami ibu Kim Ji-yeong pada masa kehamilannya.
“Nenek sungguh menyayangi menantunya dan selalu dengan tulus berkata bahwa menantunya harus melahirkan anak laki-laki, harus memiliki anak laki-laki, sekurang-kurangnya dua” (Hal. 25)
“Tidak apa-apa. Anak kedua nanti mungkin saja laki-laki” (Hal. 25)
“Tidak apa-apa. Anak ketiga mungkin laki-laki” (Hal. 25)
Pada tahun 1970-an, aborsi karena alasan medis diperbolehkan secara hukum, dan “anak perempuan” seolah-olah termasuk alasan medis, membuat pemeriksaan jenis kelamin dan aborsi atas janin anak perempuan meluas (Joo, 2016). Pada tahun 1980-an situasi ini masih berlangsung hingga ibu Kim Ji-yeong memutuskan “menghapus” anak ketiga sekaligus adik Kim Ji-yeong karena dia janin perempuan.
“Ketika sedang mengandung Eun-yeong dan Ji-yeong, kau sama sekali tidak pernah mual-mual. Kenapa sekarang parah begitu? Sepertinya ini anak laki-laki” (Hal. 26).
Ia bertanya kepada suaminya, “Misalnya, misalnya saja, anak yang ada dalam perutku sekarang adalah anak perempuan, bagaimana pendapatmu?”. Suaminya berkata, “Hati-hatilah dengan ucapanmu, karena itu bisa menjadi kenyataan. Tidur saja. Jangan berkata yang tidak-tidak” (Hal. 26).
Semua itu bukan pilihan Ibu, tetapi entah bagaimana semua itu menjadi tanggung jawabnya. Tidak ada anggota keluarga yang menghiburnya sementara jiwa dan raganya tersiksa (Hal. 27).
Ketika ibu Kim Ji-yeong melahirkan anak laki-laki yang menjadi adik terakhir Ji-yeong, anak laki-laki tersebut mendapatkan perhatian penuh dari keluarga. Sementara anak perempuan harus mengalah dalam segala hal demi anak laki-laki. Inilah beberapa diskriminasi yang dialami Kim Ji-yeong sewaktu kecil
“Yang selalu mengambil nasi lebih dulu adalah Ayah, lalu adik laki-laki, lalu nenek” (Hal. 23)
“Adik laki-laki selalu mendapat tahu dan mandu yang masih utuh dan bagus, sementara Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya selalu mendapat bagian yang bentuknya agak jelek atau hancur” (Hal. 23)
“Kalau ada dua payung, salah satunya akan dipakai sendiri oleh adik laki-laki mereka, sementara Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya harus berbagi payung. Jika ada dua selimut, salah satunya akan dipakai sendiri oleh adik laki-laki mereka, sementara Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya harus berbagi selimut yang satu lagi. Jika ada dua porsi kudapan, satu porsi akan diberikan kepada adik laki-laki mereka, sementara Kim Ji-yeong dan kakak perempuannya akan berbagi satu porsi yang tersisa” (Hal. 23)
Beban ganda pada perempuan
Bagi penulis ibu Kim Ji-yeong, Oh Mi-sook merupakan sosok yang luar biasa dalam novel ini. Ia merupakan sosok yang penuh kelembutan, pekerja keras, dan memiliki pandangan berbeda dari masyarakat Korea Selatan lainnya. Ia berusaha melawan diskriminasi atas hak-hak anak perempuan yang diberikan mertuanya, dan memberikan hak-hak yang semestinya pada putri-putrinya, sekaligus mengayomi anak laki-lakinya.
Sebagai istri, menantu, dan ibu, kehidupan yang dilalui Oh Mi-sook tidaklah mudah. Ia harus menjaga tiga orang anak, merawat mertuanya yang sudah tua, mengurus rumah, dan menghasilkan uang dari pekerjaan sampingan seperti mengelim baju, melipat kotak, mengelem amplop, mengupas bawang putih, menggulung penyekat jendela, dan lain-lain. Namun tetap saja, ia tidak mendapat hormat dari suaminya sendiri. Hingga akhirnya ayah Kim Ji-yeong mengungkapkan ketidaksukaannya pada pekerjaan ibunya sebagai berikut
“Apakah kau harus melakukan pekerjaan yang bau dan berdebu seperti ini di dekat anak-anak?” (Hal. 29)
Keadaan finansial keluarga Kim Ji-yeong membaik berkat kerja keras dan keuletan ibunya dalam mengelola keuangan. Ibunya rela melakukan pekerjaan apa saja demi bisa membantu perekonomian keluarga, selain itu ibu Kim Ji-yeong menjadi “otak” dari suksesnya bisnis makanan keluarga Kim Ji-yeong. Sewaktu ayah Kim Ji-yeong diberhentikan dari pekerjaannya, bersama teman-temannya ia sempat berkeinginan untuk ikut berinvestasi pada perusahaan China. Namun ibu Kim Ji-yeong melarang dengan keras dan jadilah uang pesangon digunakan untuk membeli ruko dan membuka toko.
Usaha pertama keluarga Kim Ji-yeong ialah ayam semur, kemudian berganti ke ayam goreng, dan toko roti franchise. Namun puncak dari kesuksesan bisnis keluarga Kim Ji-yeong saat ibunya menyarankan untuk membuka restoran bubur, dan benar saja tidak lama setelah itu rumah sakit anak dengan klinik rawat inap didirikan di seberang restoran mereka.
Ayah Kim Ji-yeong sangat bangga, teman-teman kerjanya yang berinvestasi di perusahaan Cina kehilangan seluruh uangnya, sementara ia memiliki rumah yang paling besar diantara teman-teman lainnya. Lalu semua orang iri karena putri sulungnya (kakak Kim Ji-yeong) seorang guru, putri keduanya (Kim Ji-yeong) sedang kuliah di Seoul, dan anak bungsunya laki-laki yang dapat diandalkan. Ayah Kim Ji-yeong membusungkan dadanya dengan bangga. Lalu Ibu Kim Ji-yeong kembali menyadarkan ayah Kim Ji-yeong bahwa kesuksesan yang dimilikinya tidak semata-mata hasil usahanya sendiri, seperti dalam dialog berikut
“Aku yang mengusulkan kita membuka restoran bubur. Aku juga yang membeli apartemen ini. Selama ini anak-anak yang mengurus diri mereka sendiri. Hidupmu memang sukses, tetapi bukan atas usahamu sendiri. Jadi, bersikaplah yang baik padaku dan anak-anak” (Hal. 87)
“Tentu saja! Tentu saja! Setengahnya berkat dirimu! Kau memiliki rasa hormatku, Nyonya Oh Mi-sook!” (Hal. 87)
“Setengah? Bukankah seharusnya 70:30? Aku 70, kau 30” (Hal. 87)
Perempuan mencari nafkah dan penyokong kesuksesan laki-laki
“Aku punya empat anak laki-laki, karena itu aku bisa makan makanan yang diberikan anakku dan bisa tidur di rumah yang disediakan anakku. Walaupun anakku mungkin tidak kaya, aku tetap bisa mendapatkan semua itu karena aku punya empat putra” (Hal. 25)
Begitulah kalimat penghiburan yang seringkali nenek Kim Ji-yeong katakan pada semua orang. Padahal yang menyiapkan makanan dan tempat tidur untuknya bukan putranya sendiri, akan tetapi menantunya, ibu Kim Ji-yeong. Dari keempat putra kebanggannya, hanya ayah Kim Ji-yeong yang mengambil peran sebagai anaknya. Putra sulungnya meninggal dunia akibat kecelakaan, putra keduanya sudah pindah ke Amerika Serikat bersama keluarganya. Hanya tertinggal ayah Kim Ji-yeong dan adiknya yang tidak akur gara-gara masalah pembagian harta warisan dan perawatan ibu mereka yang sudah tua.
Go Sun-bun, nenek Kim Ji-yeong merupakan satu dari banyak orang yang melanggengkan budaya patriarki, maka tidak mengherankan apabila ia begitu mengutamakan dan menjunjung tinggi gender laki-laki. Meskipun ia bersusah payah membesarkan keempat putranya dengan bekerja di ladang orang lain, menjual barang orang lain, tinggal di rumah orang lain, dan hidup sehemat mungkin. Itu bukan menjadi masalah bagi nenek Kim Ji -yeong, asalkan suaminya (kakek Kim Ji-yeong) berperilaku baik.
Nenek Kim Ji-yeong menjadi tulang punggung keluarga dan menafkahi anak beserta suaminya. Kakek Kim Ji-yeong merupakan laki-laki berwajah pucat dan bertangan halus, ia sama sekali tidak pernah menyentuh tanah seumur hidupnya. Ia tidak memiliki keahlian apa-apa, serta tidak memiliki tekad untuk mengurus keluarga. Nenek Kim Ji-yeong tidak marah atas perilaku suaminya, dan berpikir bahwa suaminya merupakan sosok yang baik. Iya sosok yang baik, hanya karena suaminya tidak selingkuh dan tidak memukul istri.
—
“Sungguh. Ketika ibu masih duduk di bangku SD, diantara kami lima bersaudara. Ibu yang paling pintar” (Hal. 34)
“Kalau begitu, kenapa ibu tidak menjadi guru?” (Hal. 34)
“Karena ibu harus bekerja untuk menyekolahkan paman-pamanmu. Itulah yang dilakukan semua orang. Pada masa itu, para wanita hidup seperti itu” (Hal. 34)
“Kalau begitu, ibu bisa menjadi guru sekarang” (Hal. 34)
“Sekarang ibu harus mencari uang untuk menyekolahkan kalian. Itulah yang dilakukan semua orang. Pada masa sekarang, itulah yang dilakukan pada ibu” (Hal. 34)
Sewaktu remaja Oh Mi-sook harus merelakan impiannya menjadi seorang guru demi memperjuangkan pendidikan saudara laki-lakinya. Ia datang ke Seoul pada usia 15 tahun dan bekerja di pabrik tekstil, sebagian besar dari sedikit upah yang diterimanya selama bekerja sepanjang hari digunakan untuk biaya pendidikan saudara laki-lakinya.
Paman sulung Kim Ji-yeong lulus dari universitas medis nasional dan bekerja di rumah sakit universitas seumur hidupnya, paman keduanya sudah pensiun sebagai kepala polisi, sedangkan paman bungsu bersekolah di universitas swasta di Seoul. Oh Mi-sook bangga dengan kerja kerasnya bisa mengantarkan saudara laki-lakinya menjadi orang yang sukses, namun pujian selalu datang pada putra sulung yang dianggap bertanggung jawab karena berhasil memperbaiki keadaan keluarga. Kemudian Oh Mi-sook sadar, bahwa ia tidak memiliki kesempatan meskipun dalam keluarganya sendiri.
Ibu Kim Ji-yeong tumbuh dalam budaya patriarki yang mengakar kuat dalam keluarganya, namun ia tidak ingin masa lalunya terulang pada putri-putrinya. Ia berusaha memberikan kehidupan yang layak dan memberikan hak-hak yang pantas didapatkan putrinya. Demi anak perempuannya memiliki kamar tidur sendiri, ibu Kim Ji-yeong menantang suami dan mertuanya yang berpikir bahwa anak laki-lakilah yang pantas memiliki kamar sendiri. Seperti yang ada dalam kutipan berikut
“Memangnya sampai kapan nenek yang sudah lanjut usia harus berbagi kamar dengan cucu-cucunya? Bukankah sebaiknya kita memberinya kamar sendiri sehingga dia bisa tidur siang sambil mendengarkan radio atau mendengarkan doa-doa? Untuk apa membiarkan anak yang bahkan belum bersekolah menempati kamar sendiri? Aku yakin dia akan menyelinap masuk ke kamar kita di tengah malam sambil memeluk bantal dan menangis” (Hal. 46).
Kamar tidur untuk anak-anak perempuan berhasil didapatkan, kemudian ibu Kim Ji-yeong mendekorasi kamar tidur tersebut dengan uang yang selama ini disisihkan tanpa sepengetahuan suaminya. Ia membeli dua meja belajar dan menempatkannya berdampingan di dekat jendela sehingga mendapatkan sinar matahari. Lemari pakaian, rak buku, matras, selimut, dan bantal baru untuk kedua putrinya. Serta sebuah peta dunia berukuran besar yang tergantung di dinding. Seperti inilah pesan ibu pada Kim Ji-yeong dan kakaknya
“Lihat, Seoul ada di sini. Bentuknya hanya satu titik. Saat ini, kita hidup di dalam titik ini. Walaupun kalian mungkin tidak akan mengunjungi semua tempat yang ada, aku ingin kalian tahu bahwa dunia ini sangat luas” (Hal. 47).
Lanjut bagian kedua yang akan segera dipublikasikan 🙂
Referensi:
Joo, Cho Nam. 2016. Kim Ji-yeong, born in 1982. Seoul: Mimumsa Publishing Co., Ltd.
Siti Rahmah, SP, Eti Setiawati, Sony Sukmawan, dan Susi Darihastining. (2020). “Patriarchal Opression in Kim Ji-Yeong, Born 1982 By Cho Nam Joo: A Feminist Literary Study” dalam World Conference on Gender Studies, KnE Social Science, hal 390-411.