Curahan

Buanglah Sisa Makananmu Pada Tempatnya

September 13, 2018

author:

Buanglah Sisa Makananmu Pada Tempatnya


Sukma.co – Saya bersyukur sampai detik ini masih menjadi perantau, karena itu mengubah beberapa hal dalam hidup saya. Salah satunya adalah selera makan. Merantau nyaris membuat saya bergelar pemakan segalanya.

Saya ingat dulu saya tidak suka tempe, setelah merantau saya lumat segala olahan tempe; mulai dari tempe goreng biasa hingga tempe menjes. Jangankan makanan manusia umumnya, dikoyak sepi pun pernah jadi makanan sehari-hari.

Ada fase dimana, bisa makan saja sudah bersyukur. Hal ini bisa disebabkan beberapa faktor, namun secara garis besar karena saya hanya mengandalkan kiriman bulanan dari orang tua di tanah rantau. Nominalnya jauh dari kata bisa dipakai foya-foya. Ngepres.

Sumber https://goo.gl/images/qVgjBc

Kzl melihat sisa makanan

Mie rebus pakai telur, makanan bermicin tinggi dan makanan lain yang tidak direkomendasikan pakar gizi adalah menu makanan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Hal ini lumrah dalam seni bertahan hidup di tanah rantau.

Bagi saya yang sepanjang tahun melewati fase ngepres, gizi tidak berkaitan dengan lapar. Berkhidmat kepada caption tuan Puthut Ea bahwa lapar hanya berkaitan dengan kenyang. Kalau lapar ya makan, bukan menimbang kadar gizi makanan. Saya mengamini hal tersebut. Jikapun saya menimbang sesuatu dari makanan, itu hanya menyoal harga dan kehalalan.

Risau dengan kebiasaan Lucknuters

Pengalaman getir duniawi, membuat saya risih melihat orang makan dan menyisakan makanannya. Melihat hasil studi Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2016 mengatakan, setiap orang Indonesia bisa menghasilkan sampah makanan hingga 300 kg per tahun. Hal ini menempatkan kita diurutan kedua, kalah dikit dengan Saudi Arabia.

Begini dab, terlepas apakah saya pernah punya pengalaman susah mendapatkan makanan ketika pondok dulu. Namun ketika kita menyisakan makanan di piring, pernah tidak teringat omongan klise kalau “Buang (misalnya) nasi, nasinya bakal syedih”.

Meski pengalaman adalah guru terbaik, saya sih tidak pengen kita mengalami susah makan dulu biar memulai kebiasaan menghargai makanan. Kita mestinya bisa pandai bersyukur sejak dalam pikiran dan menjaga diri jadi lucknut.

Mengapa lucknut? Karena hanya Lucknuters yang tidak menghargai asa orang lain yang terlibat dalam tiap jenis makanan di piringnya. Ada keringat petani padi, usaha tukang sayur, doa peternak dan harapan pedagang dalam tiap jenis makanan. Gimana perasaanmu saat semua itu ujung-ujungnya berakhir ditempat sampah?

Makanan tempatnya di dalam perut, mari kita ‘buang’ makanan pada tempatnya, karena makanan tetap makanan, bukan sampah! Semoga kita tidak (lagi) menjadi lucknut-lucknut yang menyisakan makanan dalam kehidupan yang fana ini. Amin.


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!