Kolumnis Opini

Bisakah Relasi di MedSos Menjadi Pengganti Sosialisasi?

Maret 9, 2022

author:

Bisakah Relasi di MedSos Menjadi Pengganti Sosialisasi?


“Sosialisasi virtual dapat menggantikan dunia nyata, meskipun tidak secara utuh, tetapi telah dialami oleh generasi yang melek digital.”

Sebuah peristiwa nyata menunjukkan, seorang remaja yang dianggap kurang gaul (tidak mudah bergaul dengan orang lain) di dunia nyata, ternyata di media sosial dia memiliki banyak teman dan aktif berinteraksi dengan orang lain. Dia memiliki follower yang banyak dan dapat menjalin interaksi sehingga dia terlihat mewakili dirinya yang aktif dan memiliki teman baik di media maya. Dia mengatakan, “bagi saya, lebih mudah menjalin interaksi di dunia media sosial, karena kita bisa menyiapkan informasi atau pesan ke orang lain dengan bebas dan terencana. Cara ini lebih membebaskan saya untuk berinteraksi dengan orang lain tanpa beban. Saya juga mudah berinteraksi dengan berbagai kalangan tanpa ada batas tertentu.” Nampaknya, kasus ini menunjukkan fenomena baru bahwa sebagian orang merasa terwakili sosialisasinya di dunia maya daripada di dunia nyata.

Ketika seseorang merasa diterima di dunia maya presentasi dirinya, apakah realitas ini merupakan fakta baru bahwa representasi digital telah memberikan ruang siapapun sebagai tempat bersosialisasi. Pada kenyataannya seseorang dapat menuangkan berbagai unek-unek dirinya lebih cepat ke dalam status media sosial. Bahkan kita dapat melihat siapa saja orang yang berhubung dengan kita. Ada yang hanya melihat status saja, membuat respon ikonik, sampai mengomentari, dapat juga digunakan sebagai diskusi (repply comment), dan sampai terjadi perdebatan. Kita bahkan dapat menghitung jumlah respon status kita. Bahkan vendor banyak yang memberi fasilitas tersebut (jumlah viewer, interaksi, komentar, share dll). Ruang maya menjadi ruang sosialisasi baru yang bisa menggantikan relasi sosial di dunia nyata. Setiap orang yang aktif bermedia sosial, selalu menggunakannya dalam menguatkan interaksi sosial atas produksi pesan kita.

Ruang Sosialisasi Virtual sebagai Pilihan?

Generasi sekarang tidak dipungkiri telah banyak memroduksi pesan pribadinya sebagai bagian yang mewakili pikiran mental untuk disampaikan pada teman lain nun jauh di lain lokasi. Fenomena ini memberikan sebaran informasi dan pertukaran pikiran yang lebih cepat, mudah, dan lebih banyak memenuhi konten sosialisasi. Media ini begitu membantu proses sosialisasi sehingga pesan dalam pikiran-pikiran, ide, sapaan, pertanyaan, diskusi, bergurau, bermain, lebih cepat terhubung dengan teman pilihannya tanpa menunggu waktu bertemu. Media sosial sebagai tempat bersosialisasi merupakan pilihan hibridity generasi karena lebih banyak mencairkan berbagai pikiran yang terpendam sehingga sosialisasi dapat dicipta secara instan dan real time.

Bahkan, melalui media sosial, berbagai perasaan yang menekan pun sangat liar diekspresikan oleh banyak orang. Kita lihat sejumlah status whatsapp hari ini, seorang sedang menyampaikan hari ini penuh gembira karena mendapat hadiah pulsa dari teman baiknya. “Uhui, alhamduliah seneng banget dapat pulsa gratis.” Kemudian ditanggapi oleh 34 orang dengan salah satu chat masuk, “wow, seneng, bagi-bagi dong.” Ini memberikan bukti nyata bahwa media sosial menjadi perantara mengekspresikan perasaan terkini seseorang dan mendapatkan umpan balik positif dari teman-temannya. Situasi ini menambah perhatian (simpati, dan empati) dari teman-temannya. Berdasarkan fenomena ini, media sosial bertumbuh menjadi ruang ekpresi emosi dalam mengisi proses sosialisasi generasi.

Media sosial juga menjadi arena menggalang perilaku berkelompok sebagai konsekuensi terjadinya proses sosialisasi. Suatu contoh, anak saya memiliki grup kelompok lulusan madrasah tsanawiyah. Dari situ mereka memiliki inisiatif membuat kenang-kenangan berupa video perpisahan yang mengharukan. Mereka berkomunikasi membangkitkan perilaku kelompok produktif. Imajinasi mereka dirawat dalam proses interaksi kreatif sehingga tersusun sebuah ide yang menjembatani perjumpaan virtual di antara mereka. Mereka bisa mengatur tugas, membagi, dan mendistribusikan peran untuk mengumpulkan sumberdaya dari masing-masing temannya. Melalui pertemuan virtual melahirkan perjumpaan kreatif ke sebuah tindakan nyata. Bahkan transfer data pun dilakukan melalui media sosial. Interaksi non-fisik nyatanya dapat dibangun melalui pertukaran pesan sehingga perjumpaan nyata terkurangi tetapi efektif untuk menuntaskan proses produksi sebuah ide yang tidak terwakili oleh pertukaran virtual. Tidak dipungkiri, ada pilihan ruang sosialisasi dalam dunia virtual.

Sosialisasi Virtual adalah Niscaya

Sosialisasi virtual dapat menggantikan dunia nyata, meskipun tidak secara utuh, tetapi telah dialami oleh generasi yang melek digital. Kenyataan tersebut sebagai konsekuensi perkembangan masyarakat informasi atau disebut sebagai masyarakat berjejaring oleh Manuel Castell (Gottdiener, 2007), yang mana hubungan dekat antarorang dimediasi menggunakan jaringan mikroelektronik sebagai basis aktifitas mereka. Penelitian Puchkova, dkk di jurnal Psychology in Russia: State of the Art (2017) juga menginformasikan seorang gadis menggunakan realitas virtual untuk berkomunikasi dan interaksi interpersonal, sedangkan untuk laki-laki lebih condong untuk game.  Namun bagi anak-anak, realitas virtual tersebut tidak digunakan untuk mencari teman baru. Mereka juga kurang percaya terhadap informasi baru di internet. Penelitian terkini yang dilaporkan Pronina, dkk (2020) di jurnal Propósitos y Representaciones menginformasikan, justru menguatkan bahwa proses sosialisasi memang bergeser dari model tradisional ke digital bagi siswa yang berada di jenjang pendidikan menengah pertama. Sosialisasi mereka mengintegrasikan dan mengombinasikan antara model sosialisasi tradisional dan digital.  Dengan demikian sosialisasi dalam dunia digital (virtual) menjadi fenomena yang terjadi bagi anak-anak dan remaja menjadi fenomena tak terbantahkan.

Sosialisasi dalam realitas virtual pun dapat mampu melahirkan gerakan sosial baru. Sejumlah kelompok game telah menjamur di beberapa remaja usia sekolah. Mereka ikut kompetisi dan mengorganisir dirinya secara independen dalam berbagai kompetisi e-sport (olah raga digital). Mereka juga bertransformasi menemukan profesi dan nilai baru sebagai akibat dari ruang sosialisasi baru di dunia virtual tersebut (Chvanova et al., 2020).  Arena baru sosialisasi ini juga meningkatkan resiko mereka menjadi subyek dan obyek ujaran kebencian (Piñeiro-Otero & Martínez-Rolán, 2021), perundungan siber (Park et al., 2021), perubahan sikap dan perilaku konsumtif (Lee & Conroy, 2005), dan kejahatan lain (Zunic & Vilic, 2018) akibat kehilangan kendali relasi dan keyakinan semu para peselancar maya. Oleh karena itu, meski sosialisasi di dunia virtual niscaya diakusi sebagai medan sosial generasi, mereka tetap membutuhkan kematangan diri dan sosial untuk menyeimbangkan perkembangan mereka tetap menjadi generasi yang kreatif dan produktif.

Sosialisasi virtual menjadi irisan perkembangan manusia yang perlu dibangun dengan keberpihakan dan mensuport perkembangan generasi.  Pengakuan realitas virtual sebagai media sosialisasi memberikan kesempatan akses generasi lebih luas. Mereka butuh dipandu dan diasuh agar matang dan mendapatkan peluang hidup sehingga membantu kesejahteraannya menjadi lebih baik. Oleh karena itu, selancar di media sosial sebagai gejala baru abad teknologi dan informasi telah jelas menjadi irisan yang menggantikan karakteristik model sosialisasi generasi hari ini yang tidak semata tradisional dalam perjumpaan tatap muka. Siapkah kita?

Silahkan download tips jitu dan sederhana, teknik menulis di media massa, cukup dengan delapan langkah, pasti akan termuat di media massa ternama. Semoga sukses!

Penulis : Mohammad Mahpur, Dosen Psikologi Sosial Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dan Founder Kampus Desa Indonesia (kampusdesa.or.id) dan Sukma.co.

Bahan bacaan

Chvanova, M. S., Shlenov, Y. V., & Molchanov, A. A. (2020). The impact of internet socialization on changing the professional and value orientations of young people. Proceedings of the 2020 IEEE International Conference “Quality Management, Transport and Information Security, Information Technologies”, IT and QM and IS 2020. https://doi.org/10.1109/ITQMIS51053.2020.9322851

Gottdiener, M. (2007). Manuel Castells: The Theory of the Network Society. Contemporary Sociology: A Journal of Reviews. https://doi.org/10.1177/009430610703600354

Lee, C. K. C., & Conroy, D. M. (2005). Socialisation through Consumption: Teenagers and the Internet. Australasian Marketing Journal. https://doi.org/10.1016/S1441-3582(05)70064-1

Park, M. S. A., Golden, K. J., Vizcaino-Vickers, S., Jidong, D., & Raj, S. (2021). Sociocultural values, attitudes and risk factors associated with adolescent cyberbullying in east asia: A systematic review. Cyberpsychology. https://doi.org/10.5817/CP2021-1-5

Piñeiro-Otero, T., & Martínez-Rolán, X. (2021). Step outside and say that: Analysis of hate speech against women on twitter. Profesional de La Informacion. https://doi.org/10.3145/epi.2021.sep.02

Pronina, A. N., Merenkova, V. S., & Popov, S. E. (2020). Features of digital socialization of primary school students in the context of different levels of Internet involvement. Propósitos y Representaciones. https://doi.org/10.20511/pyr2020.v8nspe3.713

Puchkova, E. B., Sukhovershina, Y. V., & Temnova, L. V. (2017). A study of Generation Z’s involvement in virtual reality. Psychology in Russia: State of the Art. https://doi.org/10.11621/pir.2017.0412

Zunic, N., & Vilic, V. (2018). Internet and female victimization. Temida. https://doi.org/10.2298/tem1802229z


Silahkan login di facebook dan berikan komentar Anda!