Mudik Tahun Ini; Antara Takut dan Rindu
SUKMA.CO – Pertama kali dalam hidup saya merasakan larangan pulang kampung atau mudik (bodo amat dengan perdebatan mudik bukan pulang kampung). Tentu keputusan pemerintah tersebut terasa berat, karena mudik adalah tradisi yang telah kita lakukan selama ini.
Alih-alih berkeluh, ada baiknya kita instropeksi bersama untuk gotong royong menghentikan kebebalan. Yup, saya yakin banyak diantara kita paham bahwa virus corona berbahaya, tetapi masih ada perasaan ‘ah masa sih saya kena’ di antara kita.
“Sejatinya kita semua telah positif terdampak virus, melalui aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi bahkan sosial”
Masalah kita bukan hanya berkaitan terinfeksi atau tidak melalui uji klinis. Meski kita negatif virus corona, namun ratusan ribu pekerja diantara kita dirumahkan bahkan PHK, jutaan siswa diantara kita tidak mendapatkan metode pendidikan yang efektif dan terlebih karena kebijakan tidak mudik, jutaan dari kita positif rindu kampung halaman. Maka sejatinya kita semua telah positif terdampak virus. Melalui aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi bahkan sosial.
Kita hanya takut, bukan rindu.
“Saya emang jarang mudik, tapi tinggal di zona merah, bikin was-was. Bener-bener menguras isi hati,” cerita seorang teman pada suatu waktu.
Baca Juga: Memahami Dinamika Perempuan Pembawa Anjing ke Masjid
Larangan mudik membuat hati teman saya semakin kacau. Meski sebelumnya pernah berlebaran di perantauan, namun larangan mudik seolah satu beban tambahan. Mengapa itu bisa terjadi? Albert Ellis, seorang psikolog kognitif, memperkenalkan metode terapi yang fokus pada kognitif, emosi dan tingkah laku. Ellis menciptakan format ABC: A = activating event; B = belief about the situation; C= consequence (emotions and behaviors) .
Jika kita menakar secara utuh pernyataan teman saya dalam format ABC, maka dapat kita lihat A: Teman saya tinggal Epicentrum virus corona, B: Akan mudah terjangkit pada zona merah, C: Ingin meninggalkan pusat penyebaran virus corona.
Jika kita perhatikan, A (peristiwa) tidak menyebabkan C (reaksi emosional), tetapi C lahir dari B (keyakinan). Kesimpulannya rasa tidak tenang dari hati teman saya, bukan karena ia bisa mudik atau tidak, dia hanya butuh rasa aman. Dia percaya mudik akan memberikan rasa aman, padahal itu suatu respon reaktif emosional dan langkah yang kurang bijak.
Baca Juga: Tekstual dan Taqlid Buta, Mahasiswa Berisiko Terpapar Radikalisme
Jika mudik, resiko penularannya lebih besar. Kita tidak tahu di jalan bertemu siapa dengan kondisi seperti apa. Kita tidak tahu terinfeksi dengan gejala ataukah tanpa gejala. Sedang Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Muhammad Faqih mengungkapkan, sekitar 80 persen dari mereka yang positif terjangkit COVID-19 tidak merasakan gejala gangguan kesehatan atau orang tanpa gejala (OTG). Ngeri!
Fakta tersebut membuat mudik bukanlah perilaku paling aman untuk saat ini. Perilaku terbaik saat ini yaitu tetap di rumah. Jika pun tidak bisa karena pelbagai hal, cobalah meminimalisir dan selektif aktivitas di luar rumah. Memang tidak mudah hidup dalam keterbatasan ruang gerak, namun tidak kemana-mana adalah pilihan paling logis, perilaku bermoral sekaligus memberikan harapan untuk kesembuhan bersama.
Mari fokus pada hal-hal logis yang bisa kita lakukan, bukan malah pada reaktif emosional semata.