Alih-alih Jadi Dokter, Sekarang Youtuber. Why not?
Sukma.co – Profesi dokter adalah profesi yang paling di impikan oleh setiap orang tua untuk anak-anaknya. Berharap ketika besar, anaknya mau menjadi dokter. Hingga sejak dini pun mereka sudah mendoktrin dengan bilang “anak pintar, kalau besar nanti jadi dokter”. Seringkali mendengar penuturan orang tua bilang seperti itu saat anak-anak mereka mulai berhenti menangis akibat sesuatu. Tidak ada yang salah dengan penuturan para orang tua seperti itu kok, malah bagus dan terkesan itu adalah sebuah doa untuk anaknya kelak. Namun, sayang disayang, sebagian dari orang tua tidak konsisten terhadap perkataannya sehingga di saat anak menginjak usia remaja, mereka seringkali bingung terhadap cita-citanya di masa depan kelak. Contoh yang sering kali saya hadapi, para remaja bingung akan apa yang akan di perbuat di masa mendatang. Hingga sering kali mereka putus asa dan bersekolah hingga sampai tamat SMA atau SMK saja.
Namun, ada pula tipe orang tua yang amat menginginkan anaknya benar-benar jadi dokter di masa depan. Hingga anaknya di push untuk selalu menjadi juara kelas. Matematika, IPA, Bahasa Inggris dan mata pelajaran lainnya harus bernilai sempurna. Jika meleset dan tidak sesuai harapan, maka orang tua akan kecewa terhadap anak dan tak sedikit mereka memberikan punishment.
Apakah keduanya dibenarkan? Jelas tidak. Para orang tua memang bagus memiliki cita-cita terhadap seorang anak untuk masa depannya kelak. Namun, orang tua juga harus menyadari bahwa mereka tidak bisa di doktrin dengan arogansi yang ada. Bagaimanapun, para orang tua juga harus memahami anak sejak dini. Karena bakat setiap orang itu sering kali muncul sejak dini. Jika orang tua memahami bakat anak, maka di masa depan tidak ada kekecewaan yang terjadi antara orang tua kepada anaknya. Jika dalam hal akademik seorang anak lemah, mungkin dalam hal non akademik mereka unggul ataupun sebaliknya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga, seoarang anak memiliki bakat multitalent baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Tergantung para orang tua memahami karakter, bakat dan minat seorang anak.
“Lalu bagaimana kasus anak saya ketika kecil dia amat aktif, SD selalu juara kelas tapi kenapa saat SMP dia sudah mulai jenuh dan menjadi anak yang sangat malas?”
Sudah jelas, disini ada kata jenuh di dalamnya. Usia remaja itu usia dimana mereka akan melakukan hal baru dan mereka akan merasakan kejenuhan terhadap sesuatu yang berulang. Seperti kegiatan sehari-hari mereka. Dari umur 6 tahun atau bahkan umur 2 tahun mereka sudah mulai disekolahkan. Pagi berangkat sekolah pulang sekolah ada les akademik, setelahnya ada mengaji, kemudian ada les non akademik, begitu terus berulang hingga bertahun-tahun. Sehingga saat mereka mulai mengenal apa itu pergaulan, mereka akan melakukan sesuatu yang bagi mereka hal baru.
Pada era 4.0 ini, seorang anak tidak bisa di tuntut untuk menjadi seperti para orang tua inginkan. Tugas para orang tua hanya sebagai kontroler, fasilitator dan motivator. Karena itu, orang tua harus mampu menjadi seseorang yang terbuka bagi seorang anak. Jika anak memimpikan untuk menekuni bidang lain, tidak serta merta para orang tua menolak. Alih-alih menjadi dokter, malah menjadi youtuber. Why not?