Kesempatan dan Tanggung Jawab Sosial Pelaku StartUp (#Part2)
“ … dalam 10 tahun ke depan, kita akan membantu 10 juta perusahaan bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang, menciptakan 100 juta pekerjaan, menyediakan platform yang sangat murah dan baik bagi 1 miliar orang…” (Wei, 2017)
Sukma.co – Begitulah kutipan pidato Jack Ma, pelaku StartUp China yang bergerak di bidang perdagangan. Melalui Alibaba dan situs Taobao, Jack Ma mendapatkan kesempatan untuk mengubah hidup para pemilik bisnis kelas mikro dan makro di China. Para pemilik bisnis di China kini mendapatkan kemudahan untuk memasarkan produknya kepada masyarakat China dan masyarakat dunia melalui platform jual beli online yang diciptakan oleh Alibaba.
Setelah hampir satu tahun berkecimpung di dunia StartUp, saya banyak merenung. Pemikiran saya tertuju pada makna kenapa saya harus membuat produk StartUp bersama tim. Kesuksesan StartUp dari belahan dunia lain dan dari tanah air memberikan pemahaman bahwa Indonesia tidak membutuhkan StartUp atau perusahaan tambahan yang ingin menghasilkan uang. Indonesia tengah membutuhkan sebuah produk StartUp dan perusahaan yang lebih terbuka, peduli pada lingkungan sekitar, dan lebih bertanggung jawab pada inovasi yang dimiliki. Bahwa, Indonesia membutuhkan sebuah StartUp yang didirikan untuk masyarakat, dengan tujuan mulia untuk melayani masyarakat, dan berani bertanggung jawab untuk kehidupan masyarakat yang lebih baik di masa depan.
Kembali pada pertanyaan, mengapa ada StartUp yang berhasil dan ada StartUp yang gagal? Bagi saya, pelaku StartUp yang berhasil nampaknya berangkat dari proses empati yang mendalam. Masih ingat tahapan pertama untuk membuat StartUp? Yah, Ideation atau tahap pencetusan ide. Dalam proses membuat StartUp, pencetusan ide merupakan bagian dari proses design thinking. Proses ini terbagi atas 5 tahapan, yaitu tahapan emphatize, define, ideate, prototype, and test [1]. Proses design thinking merupakan sebuah metodologi untuk menghasilkan ide dan konsep. Proses ini juga dimaknai sebagai metode formal yang praktis, resolusi yang kreatif untuk menghadapi masalah atau isu tertentu dengan maksud mendapatkan hasil yang lebih baik di masa depan [2]. Satu aspek besar dari proses ini merupakan empati, yakni kepada siapa kamu tujukan desain tersebut.
Proses empati adalah bangunan awal proses desain yang berfokus pada manusia. Para tokoh dalam keilmuan psikologi sepakat bahwa empati sebagai unsur yang penting dalam aspek hubungan sosial antara manusia. Menurut (Davis, 1996) dalam (Viorensika & Sulaeman, 2013), empati sebagai sekumpulan konstruk yang berkaitan dengan respon seseorang terhadap pengalaman orang lain [3]. Selain itu menurut (Baron & Bryne, 2005) dalam (Fikrie, 2016), empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional individu lain, perasaan simpatik, dan mencoba menyelesaikan masalah melalui pemahaman perspektif orang lain [4].
Hemat penulis, para pelaku StartUp yang berhasil telah melalui proses empati yang mendalam dan mereka berhasil mengambil perspektif orang lain untuk menyelesaikan sebuah masalah, sehingga ide yang didapat juga bisa diaplikasikan dan mampu diterima oleh masyarakat. Tidak mudah untuk melakukan empati. Menurut saya empati adalah proses belajar dan perlu dilatih. Untuk berempati para pelaku StartUp perlu melakukan hal berikut: 1) Pengamatan. Lakukan proses pengamatan terhadap calon user serta perilaku kesehariannya, 2) Pelibatan. Lakukan interaksi dan wawancarai calon user pada waktu yang sudah dijadwalkan, 3) Renungkan. Rasakan atau coba bayangkan anda adalah user, cobalah mengalami apa yang user tengah alami.
Ingatan saya melayang pada sebuah StartUp besutan pemuda Indonesia yang dua tahun lalu berhasil keluar sebagai juara kedua dalam event Google Business Group Stories. Kreativitas dan sikap empati yang dimiliki oleh pemuda Indonesia ini, melahirkan aplikasi StartUp bernama Reblood. Aplikasi ini memberikan solusi pada bidang kesehatan dan sosial masyarakat Indonesia. Aplikasi Reblood buatan mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) merupakan aplikasi smartphone yang mampu meningkatkan kesadaran dan memudahkan mayarakat dalam pelaksanaan donor darah [5].
Proses empati telah menghasilkan pemahaman pada para user bahwa melaksanakan donor darah secara rutin dinilai sulit dilakukan oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kurangnya informasi dan pengetahuan terkait kegiatan donor darah. Dijelaskan oleh Faisal, salah satu anggota pembuat aplikasi Reblood, Indonesia dari tahun ke tahun selalu kekurangan pasokan darah. Survei yang dilakukan oleh tim menemukan bahwa kurangnya ketersedian pasokan darah disebabkan oleh banyaknya pendonor yang ditolak. Berangkat dari hasil amatan, interaksi dan perenungan para anggota tim, aplikasi Reblood pun berhasil dibuat pada 2015 lalu [6].
Karena dibuat di Surabaya, maka sasaran user Reblood sejauh ini berfokus pada masyarakat Surabaya. Reblood telah memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Kini pendonor di ITS yang jumlah biasanya kurang dari 100 orang telah meningkat mencapai angka 200 pasca Reblood di launching. Proses pembuatan Reblood memiliki misi sosial, dimana pembuat StartUp ini berharap tidak ada lagi orang yang kehilangan nyawanya akibat kekurangan darah. Sebuah harapan yang sangat mulia.
Berkaca pada StartUp Reblood, saya tak henti-hentinya mengagumi rasa empati dan kreativitas para pemuda Indonesia. Saya jadi tertantang. Menggeluti dunia StartUp awalnya saya berpikir murni untuk membangun bisnis yang tujuannya untuk keuntungan pribadi. Ternyata melalui StartUp kita bisa meraih kesempatan untuk membantu orang lain. StartUp Reblood, Alibaba, Go-Jek, atau Google yang memfasilitasi individu untuk mencari informasi, dari tidak tahu menjadi tahu adalah bagian dari empati yang merupakan tindakan sederhana tapi dapat membuka kesempatan yang mengantarkan masyarakat pada sebuah perubahan positif dalam hidupnya.
Saya berharap akan lebih banyak StartUp dalam negeri yang bisa menjadi jalan keluar untuk menyelasikan masalah atau kekurangan yang dihadapi masyarakat kita. Dengan banyaknya pelaku StartUp di Indonesia, semoga masalah di beragam aspek kehidupan bangsa bisa diatasi. Selama kita memiliki niat dan mencoba berempati, maka kita tentu bisa memberikan makna positif kepada kehidupan orang lain. Saya rasa tulisan ini memiliki spirit yang serupa dengan cara Jack Ma membangun dan mengembangkan StartUp miliknya. Ia menyatakan, “kami tidak peduli seberapa banyak yang anda tahu, tetapi kami ingin tahu seberapa banyak anda peduli”.
Yuk, mengambil tanggung jawab sosial sebagai pelaku StartUp yang peduli dengan masalah bangsa.
Referensi:
[1] Rahardjo, Budi. 2016. Starting Up. Pt Insan Infonesia
[2] Ramadhan, Hendry E., 2016. StartUp Preneur (Menjadi Enterpreneur StartUp. Indonesia: Penebar Plus
[3] Vioresika, Starlettia & Sulaeman, Julia., 2013. Gambaran Empati pada Mahasiswa Psikologi Jenjang Sarjana. Jakarta: Fakultas Psikologi UI. Hal. 1-18.
[4] Fikrie., 2016. Peran Empati dalam Perilaku Bullying. Seminar ASEAN 2nd Psychology Humanity. Malang: Psychology Forum UMM. Hal 160-164.
[5] Satria, 2016. StartUp, Solusi Berbagai Masalah di Masyarakat. Senin 19/09/2016. UGM [Versi PDF Online].
[6] Potensi, Reblood Aplikasi Donor Darah untuk Masyarakat. Edisi 61 Januari 2016. H. 39. Jawa Timur.
Prasetya. 2016. Belajar Membangun StartUp dari Ahlinya. 22/02/2016. UB [Versi PDF Online].
Purnawan, M. Edhie., & Iman, Nofie., 2016. Mendorong StartUp Digital Indonesia. SWA Edisi 18 terbit pada 1-14 Desember 2016. Jogjakarta.W
W⇓ei, Chen., 2017. Jack Ma : Sisi-Sisi Tak Terduga Sang Godfather Bisnis China, Indonesia: Penerbit Noura.
Originally posted 2018-09-09 15:34:56.